Truth Or Dare?
Permainan yang sudah tidak asing lagi kita dengar.
Lalu bagaimana jika yang dipilih adalah tantangan dan isi tantangan nya adalah "Menaklukkan Hati Seorang Pembunuh"?
Itulah yang di alami oleh Barbara Alexio. Di malam acara perpisahan kampusnya, ia terjebak dalam permainan yang menguji adrenalin itu dan mendapatkan tantangan yang tidak masuk akal.
Ia diberi waktu tiga bulan oleh teman-teman nya.
Mampukah ia menyelesaikan tantangan tersebut?
Atau justru dirinya yang terjebak dalam permainan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZmLing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku pergi Fel.
"Aku nggak mau punya anak. Gugurkan." Felix berucap dengan nada datar menatap tajam pada Barbara.
"Bercanda aja." Barbara mengira suaminya itu sedang bercanda, mengingat terakhir kali bagaimana suaminya membuatnya menangis hanya untuk melamar nya.
Felix mendekat pada istrinya dan mencengkeram kedua bahu istrinya dengan sangat kuat.
"Aku mau kamu gugurkan bayi sialan itu." Felix menekan setiap katanya.
Barbara tidak terima, kali ini ia yakin suami nya tidak main-main.
"Aneh kamu Fel, kita lakuin itu hampir tiap malam dan sekali nya bisa sampe beronde tapi kamu larang aku hamil? Kamu punya otak nggak sih?" Barbara bertanya dengan suara datar namun penuh luka.
Felix diam.
"Aku pikir kamu kayak gitu, hampir tiap malam nggak pernah bosan itu karena kamu emang pengen cepat punya anak." Barbara kembali melanjutkan perkataannya.
"Aku nggak pernah bilang aku pengen punya anak. Dari awal pun aku nggak pernah nyebut tentang anak dalam hubungan kita." Felix kini mencengkeram kuat dagu istrinya.
Barbara meringis, tapi ia tidak berusaha melepaskan tangan suaminya.
"Kamu sendiri yang gugurkan atau aku yang bantu kamu gugurkan?" Felix kembali menekan setiap katanya.
Barbara menggeleng kuat hingga tangan Felix terlepas dari dagu nya.
Tampak dagu Barbara terluka mungkin karena terkena kuku Felix hingga tampak berdarah.
"Kasih aku satu alasan kenapa aku harus bunuh bayi kita? Darah daging kita?" Barbara bertanya sambil turun dari ranjang nya dan meraih tangan Felix dalam genggaman nya.
"Aku nggak mau anak itu jadi kayak aku nanti nya. Nggak terurus, kurang kasih sayang, dan akhirnya jadi pembunuh gila juga." Felix berusaha meyakinkan istrinya.
Barbara menepis kasar tangan suaminya.
"Itu semua nggak akan terjadi. Kamu tau kan, itu cuma masa lalu kamu. Dan kita bisa menjadi orang tua yang lebih baik, belajar dari masa lalu kamu. Aku nggak nyangka, mentang-mentang kamu pembunuh, seenak nya kamu minta aku buat bunuh bayi aku." Barbara berucap sambil duduk kembali diatas ranjang.
Ia sangat lemah rasanya.
"Pokok nya aku nggak mau. Aku nggak pernah mau punya anak." Felix tetap kekeh dengan pendiriannya.
"Aku kira kamu nikahin aku karena emang kamu cinta sama aku dan pengen bangun rumah tangga sama aku. Tapi nyatanya aku salah. Kamu bahkan lebih bangsat dari Frans tau nggak." Barbara berucap dalam lemah nya, menatap suaminya dengan tatapan terluka serta air mata yang tidak berhenti mengalir.
"Aku emang cinta sama kamu sayang. Aku emang pengen bangun rumah tangga sama kamu ... "
"Bohong Fel. Itu semua bohong. Kamu sebenarnya nggak pernah cinta sama aku. Kamu nikahin aku cuma karena pengen milikin aku. Milikin tubuh aku aja. Bukan untuk membangun rumah tangga. Kamu cuma terobsesi karena aku satu-satunya orang yang nggak takut sama kamu." Barbara memotong perkataan Felix dengan cepat.
Felix menunduk merenungi apa yang dikatakan istrinya, namun tetap saja egonya sangat besar.
"Aku mohon ya sayang, gugurkan. Aku cuma mau kamu, aku nggak mau punya anak. Aku nggak bisa." Felix memohon dengan lembut dan berjongkok di depan istrinya.
Barbara menatap dalam mata tajam nya, mencoba mencari satu kebohongan atau pun tawa yang ditahan, namun nihil. Felix serius mengatakan itu.
"Aku tahu sekarang Fel. Dari awal kamu nggak pernah cinta sama aku. Aku cuma butuh aku, butuh badan aku buat muasin hasrat kamu doang. Kamu nggak mau anak kita punya masa kecil kayak kamu? Alasan macam apa coba. Berarti kamu emang punya rencana nyari wanita simpenan atau selingkuhan satu hari nanti kalo kamu udah mulai ngerasa nggak puas sama aku. Makanya kamu bisa sampe ngomong kaya gitu. Ngomong nggak pengen anak kamu punya masa kecil kayak kamu." Barbara memberi tuduhan yang menohok pada suaminya.
Felix terdiam.
"Benarkah?" Felix bertanya dalam hati merenungkan setiap perkataan istrinya.
Namun sekali lagi, ego yang menguasainya terlampau besar.
Felix bangkit dari jongkoknya.
"Aku kasih kamu waktu dua jam buat mikir. Kamu pilih aku atau gugurkan dan kita pisah. Terserah kamu." Felix berucap dengan santainya lalu berjalan keluar meninggalkan Barbara.
Sepeninggal Felix, Barbara menangis sejadi jadinya.
Barbara kini berada di titik terendah dalam hidupnya.
Bagaimana bisa pria yang begitu ia cintai tega sekali menyuruhnya membunuh janin nya, buah cinta mereka.
Barbara menangis sejadi jadinya mengeluarkan semua rasa sakit yang bahkan terasa lebih sakit dari apapun.
Harus membunuh janin nya sendiri, sama saja membunuh hidup nya sendiri.
Barbara menangkup kedua kakinya, menenggelamkan wajahnya diantara lutut nya.
Memilih pria yang sangat ia cintai namun harus membunuh bayinya dan mempertahankan bayinya namun harus kehilangan pria yang sangat ia cintai.
Pilihan yang seolah sedang berada di ambang kematian.
Tidak, secinta apapun ia pada pria itu, ia tidak akan bisa membunuh janin nya sendiri.
Bayi yang tidak berdosa, bayi yang tidak pernah meminta untuk hadir di rahim nya.
Janin itu hadir bukan atas keinginannya namun atas hubungan kedua orang tua nya yang tidak kenal bosan dan lelah.
Lebih baik Barbara kehilangan pria yang ia cintai, daripada harus kehilangan bayi nya, janin yang sedari awal tidak pernah memohon untuk berada dalam rahim nya.
Dengan sisa tenaga nya ia turun dari ranjang nya lalu berjalan ke arah lemari nya, perlahan ia membuka lemari nya, mengambil koper nya dan mulai menata pakaian nya dan barang-barang yang dianggapnya berharga.
Ia tidak membawa satu pun barang-barang pemberian Felix.
Hanya pakaian nya dan barang-barang hasil kerja keras nya.
Setelah selesai, ia mengganti pakaiannya menjadi pakaian lebih rapi memoles sedikit wajahnya agar tidak terlalu pucat.
Setelah dirasa cukup, ia pun mulai melangkah keluar sambil menyeret koper nya.
Tidak perlu menunggu waktu hingga dua jam ia sudah bisa membuat keputusan.
Saat ia membuka pintu kamar nya, rupanya Felix sedang menunggu di sana.
Ia berhenti tepat di depan Felix, menatap dalam mata tajam itu berharap Felix berubah pikiran dan mencegah nya pergi, namun nyatanya Felix hanya diam.
Ia melepas cincin pernikahan nya, meraih tangan Felix dalam memberikan cincin itu kedalam tangannya.
Ia kembali memeluk erat tubuh kekar yang selama ini selalu melindungi dan menjaganya.
"Aku pergi Fel. Ini keputusan aku. Aku nggak bisa dan nggak mau kehilangan bayi aku yang nggak berdosa." Ucap Barbara tegar. Ia tidak menangis lagi seakan air matanya sudah habis.
"Jaga diri kamu baik-baik setelah ini, jaga kesehatan kamu. Haha aku lupa, kamu yang selalu jagain dan ngurusin aku selama ini yah." Barbara menahan luka nya.
"Makasih buat semuanya Fel. Makasih buat kado perpisahan terindah ini. Aku janji aku akan jagain dia, rawat, dan didik dia dengan baik. Setelah ini, kamu bisa bebas dengan cewek lain. Tapi satu pesan aku, pake pengaman kalo nggak pengen cewek itu hamil."
Barbara melepaskan pelukan nya dan meraih pegangan koper nya lalu mulai menyeret koper nya berbalik meninggalkan Felix.
"Kejar aku Fel." Barbara membatin dan masih sedikit berharap.
Namun kenyataannya Felix hanya mematung melihat kepergian nya.
"Kamu benar-benar nggak mau mencoba kah Fel?" Barbara kembali membatin sebelum ia melangkah kakinya keluar dari rumah itu dan benar-benar pergi.
Namun nyatanya Felix tetap tidak bergeming.
"Selamat tinggal Fel." Barbara membatin sekali lagi dan akhirnya ia mulai meninggalkan rumah itu.
Membawa segala rasa sakit dan kebahagiaan yang pernah ia rasakan.
Rumah itu cukup jauh dari jalan raya, sehingga ia harus berjalan kaki cukup jauh.
Dengan segala tenaga yang tersisa ia berusaha terus melangkah, walau beberapa kali berhenti untuk sejenak menghirup udara segar dan oksigen karena memang sekitar jalanan rumah Felix masih dikelilingi pepohonan hijau yang menjulang tinggi.
Barbara tersenyum kecil saat ia sudah bisa melihat keberadaan jalan raya didepan nya.
Dengan semangat ia melangkah, tanpa menyadari ada sebuah mobil hitam yang melaju dengan kecepatan tinggi dari arah kanan nya.
Hingga akhirnya.
Kyattttt
Brakk
...~ **To Be Continue ~...
********
Ampun, mewek beneran aku ngetik part ini.
Like dan komentar jangan lupa yah. Makasih**.