NovelToon NovelToon
Dewa Alkemis Pengurai Jiwa

Dewa Alkemis Pengurai Jiwa

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Epik Petualangan / Iblis / Balas Dendam / Mengubah Takdir / Perperangan
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Nugraha

“Yang hidup akan ditumbuk menjadi pil, yang mati akan dipaksa bangkit oleh alkimia. Bila dunia ingin langit bersih kembali, maka kitab itu harus dikubur lebih dalam dari jiwa manusia…”

Di dunia tempat para kultivator mencari kekuatan abadi, seorang budak menemukan warisan terlarang — Kitab Alkimia Surgawi.
Dengan tubuh yang lemah tanpa aliran Qi dan jiwa yang hancur, ia menapaki jalan darah dan api untuk menantang surga.

Dari budak hina menuju tahta seorang Dewa Alkemis sekaligus Maharaja abadi, kisahnya bukanlah tentang keadilan… melainkan tentang harga dari kekuatan sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nugraha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2 : Batu, Darah dan Dendam yang Membara

Di malam yang sunyi, hanya suara serangga dan napas berat para budak yang tertidur terdengar dari balik tenda-tenda lusuh. Udara lembap dan pengap, berbau besi karat yang menyengat, bercampur dengan keringat dan debu yang menempel di kulit.

Uhuk! Uhuk! Uhuk!

Terdengar suara batuk yang kasar. Li Yao terkejut. Ia langsung menoleh cepat ke arah tenda sebelah yaitu tenda yang ditempati oleh kakek Qiao.

Di ranjang bambu yang nyaris rubuh di pojok kanan, tubuh kurus dan renta milik Kakek Qiao menggigil hebat. Dadanya naik turun tak beraturan, seperti berjuang melawan sesuatu yang tak terlihat. Darah hitam mengalir dari sudut mulutnya, membasahi dagu dan lehernya yang keriput.

Lan Ci yang tidur di tenda sebelah ikut terbangun. Suara batuk itu terlalu keras untuk diabaikan. Dengan langkah yang tergesa gesa, ia keluar dan langsung menuju tenda Kakek Qiao. Tangannya gemetar saat menyibak tirai kain, lalu berlutut di sisi ranjang bambu yang reyot.

“Kakek Qiao…” bisiknya, nyaris tak terdengar.

Mata Kakek Qiao terbuka setengah, berair dan kosong. Ia mencoba berbicara tapi tak ada suara. Hanya desisan lemah dan batuk berdarah yang menyembur dari mulutnya, mengotori dagu dan lehernya yang kurus.

Lan Ci menunduk dan menempelkan telinganya ke dada sang kakek. Ia diam beberapa saat untuk mendengarkan detak jantungnya. Lalu menoleh ke Li Yao yang kini berdiri kaku di ambang tirai tenda, wajahnya pun ikut tegang.

“Racun batu roh...” bisik Lan Ci dengan suara yang serak. “Kayaknya udah sampai ke paru-parunya. Dia mungkin sudah ga bisa diselamatkan.”

Air mata mulai menggenang di matanya.

Li Yao mengepalkan tangannya. Pandangannya terpaku pada tubuh renta itu. Di benaknya, terpikir kembali percakapan mereka seminggu yang lalu. Kakek Qiao duduk sendirian di luar perkemahan menatap langit kelabu yang tak menjanjikan apa-apa.

“Nak… kalau kamu ingin hidup lebih lama jangan cuma memukul batu. Pukullah waktu. Pukullah nasibmu sendiri.”

Kata-kata itu terngiang samar di kepala Li Yao saat ini. Ia berdiri di sisi ranjang menatap tubuh renta yang menggigil itu. Ketika Kakek Qiao melirik ke arahnya, Li Yao bisa melihat kecemasan yang mengendap di balik tatapan itu.

Tangan sang kakek terangkat pelan, gemetar, seperti ingin meraih sesuatu. Li Yao langsung menyambutnya dan menggenggam tangan itu dengan kedua tangannya.

“Kakek…” bisiknya, nyaris tak terdengar.

Kakek Qiao menatap wajah pemuda itu. Ada senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya, nyaris tak terlihat tapi mengandung makna yang dalam.

“Kau… masih muda… jangan… jadi… seperti… aku…” katanya terbata-bata, setiap kata seperti perjuangan.

Lan Ci yang berdiri di belakang mereka melangkah maju dan berlutut di sisi ranjang. Ia menyentuh lengan sang kakek dengan lembut.

“Sudah, Kek… jangan terlalu banyak bicara. Istirahat dulu ya. Nanti aku carikan obat herbal…” ucap Li Yao pelan, suaranya bergetar dan matanya mulai basah.

Kakek Qiao cuman bisa tersenyum kepada Li Yao.

"Iya ke, nanti aku dan Li Yao akan carikan obat herbal untukmu."

Mereka akhirnya kembali ketempat tidurnya masing masing setelah membaringkan kembali kakek Qiao.

*****

Keesokan paginya, kabut tipis masih menggantung rendah di atas tambang. Udara dingin bercampur bau tanah basah, keringat, dan sisa abu arang yang menempel di kulit. Para budak mulai berkumpul perlahan, tubuh mereka kurus, tulang menonjol, mata kosong seperti tak lagi mengenal harapan.

Li Yao berdiri di barisan tengah. Tapi pagi ini menurutnya terasa ganjil.

Ia menoleh ke kiri, lalu ke kanan. Seperti ada yang hilang. Seseorang yang biasanya berdiri di ujung barisan tidak ada di sana.

Belum sempat pikirannya menyusun teka-teki, suara langkah berat bergema di antara celah batu.

DUK. DUK. DUK.

Pengawas He muncul. Wajahnya keras dan dingin seperti batu yang tak pernah mengenal senyum. Di belakangnya, seorang pria besar berambut ikal berjalan dengan dada membusung dan senyum sinis di wajahnya.

Li Yao menelan ludahnya. Itu adalah Mo Huo.

Dulu dia hanya budak senior. Sering memukul Li Yao di tambang, dan menindas yang lemah. Tapi hari ini... di pinggangnya melingkar ikat kulit dengan lambang ular hijau.

Simbol pengawas junior.

Bisik-bisik langsung menyebar di antara para budak.

“Mo Huo? Dia diangkat jadi pengawas?”

“Sejak kapan?”

“Kenapa bisa? Bukannya Sekte Langit Beracun sangat anti sama budak jadi pengawas?”

Pengawas He mendengar bisik-bisik yang mulai menyebar di antara para budak. Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

Seketika, suasana menjadi hening. Tak ada yang berani bersuara.

“Diam semuanya,” ucapnya dingin. “Hari ini kita bersih-bersih. Budak yang suka bikin kacau, akan disingkirkan.”

Ia menoleh ke samping. “Mo Huo. Cepat bicara.”

Mo Huo melangkah maju, dan langkahnya mantap seperti seorang pemimpin. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi sorot matanya tajam.

“Pengawas He,” katanya lantang. “Aku tahu siapa yang mencuri air herbal semalam.”

Suara gemuruh kecil langsung terdengar. Para budak saling pandang dan berbisik dengan panik. Isu pencurian air herbal memang sudah menyebar sejak pagi. Semua tahu, hukuman untuk pencuri bukan main-main—lidah bisa dipotong, atau nyawa bisa melayang.

Mo Huo mengangkat tangannya, lalu menunjuk lurus ke arah Li Yao.

“Dia orangnya.”

Li Yao terkejut.

“Apa maksudmu?!”

Mo Huo menyeringai, senyumnya miring dan penuh kemenangan.

“Kau memang pintar menyembunyikannya Li Yao. Tapi aku tahu. Aku lihat kau malam itu di dekat ruang penyimpanan.”

Li Yao memang sempat berniat mencuri air herbal malam itu. Tapi ia mengurungkan niatnya. Ia tak tahu kalau ada orang lain yang sudah lebih dulu menyelinap masuk.

“Omong kosong! Itu bohong!” teriak seseorang dari belakang.

Lan Ci melangkah maju. Wajahnya pucat tapi matanya menyala.

“Kami semua tahu dia nggak...”

Crakkk!

Cambuk Pengawas He melesat seperti kilat. Ujungnya mendarat tepat di pipi Lan Ci.

“aarggh!”

Jeritannya memecah udara. Tubuh mungil itu terhuyung lalu jatuh tersungkur ke tanah. Darah mengalir dari bibirnya dan membasahi tanah yang dingin dan berdebu.

Li Yao maju setengah langkah, tapi tiba tiba tertahan. Ia ingin berteriak tapi suaranya tercekat di tenggorokan.

Beberapa budak pun terkejut. Tapi mereka cepat-cepat menunduk. Tak ada yang berani menoleh apalagi menatap Pengawas He.

Pengawas He menyeringai dengan dingin. “Siapa lagi yang mau membela tikus ini?”

Tak ada jawaban. Bahkan napas pun terasa tertahan.

Li Yao mengepalkan tinjunya. Matanya terpaku pada tubuh Lan Ci yang tergeletak di tanah. Darah mengalir dari bibir gadis itu, membasahi rambutnya yang kusut dan pipi yang mulai membiru.

Ia ingin maju. Ia ingin melawan. Tapi...

“Belum saatnya.” gumamnya dalam hati. Amarahnya membakar, tapi ia paksa tetap diam.

Perlahan, ia mengangkat wajahnya menatap Mo Huo lurus-lurus.

“Jadi ini caramu naik pangkat? Menjilat dan menjebak?”

Mo Huo hanya mengangkat bahunya. Senyum sinis masih terpancar di wajahnya. Ia tak menjawab. Tapi sorot matanya berkata: 'aku menang hari ini.'

Pengawas He menunjuk Li Yao. “Bawa dia ke tambang bawah. Suruh dia hancurkan batu roh hari ini. Tanpa sarung tangan dan alas kaki”

Beberapa budak mengangkat kepalanya dan terkejut. Tambang bawah, adalah tempat paling panas dan paling kejam. Menghancurkan batu roh tanpa pelindung berarti kulit akan melepuh, jari bisa hancur. Itu bukan kerja. Itu namanya penyiksaan.

Dua penjaga langsung bergerak dan menarik lengan Li Yao.

“Tidak! Dia tidak...” suara Lan Ci pecah, tubuhnya maju setengah langkah.

Pengawas He menoleh tajam. “Tutup mulutmu. Atau kau yang kuturunkan ke dasar tambang.”

Lan Ci ketakutan, ia tak berani lagi untuk berbicara.

Li Yao akhirnya berjalan dan didorong oleh dua penjaga. Ia tetap tegak dan tidak mengeluh sedikitpun. Bahkan ketika batu-batu tajam menusuk telapak kakinya yang tanpa alas kaki ia tetap berdiri tegak.

Bahkan ketika semua mata tertunduk, pura-pura tidak melihat. Ia tetap diam. Menyimpan semuanya. Membiarkan amarahnya mendidih pelan di dalam dada.

1
Green Boy
mantap thor
Eko Lana
alur cerita yang bagus dan menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!