NovelToon NovelToon
Dear, Please Don'T Buffer In My Heart

Dear, Please Don'T Buffer In My Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Sistem / Cinta Seiring Waktu / Berondong
Popularitas:758
Nilai: 5
Nama Author: Bechahime

Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Office War Part 2 (Bagian 2)

Sore datang lebih cepat dari yang aku antisipasi. Entah karena aku menantikan pertemuan dengan Felix atau karena aku sibuk sepanjang hari sehingga waktu terasa berlalu dengan cepat.

Aku sampai di kantor Felix jam 17:35 dan Felix menyambutku di lobby.

“Akhirnya lo datang juga.”

“Iyalah. Ini demi cemilan gratis. Prinsip hidup gue, say yes ke orang yang ngasih makanan gratis.”

Felix hanya menggangguk. Tawa tipis muncul di wajahnya. Tapi hanya sebentar. Kemudian kembali ke mode serius. Diam. Cool. Tangan di saku. Jaket hitam. Pake sneaker putih yang bersihnya tuh lebih bersih dari hidupku. Aku jadi berpikir: dia ini kayak codingan java—strict, susah didekati, tapi elegan kalau ngerti caranya.

Felix mengarahkan aku duduk di depan laptop gede dengan dua monitor. Layar game udah terbuka, tampak karakter bernama MechaMeisya danZerof.

Zerof?

Kok kayak—kombinasi antara nama superhero dan Wi-Fi lemot?

“Zerof itu karakter utama cowok. Mirip gue sih. Tapi versi digital yang nggak terlalu banyak mikir.”

“Yang aslinya aja udah jarang mikir, apalagi versi digitalnya….”

“….”

“Hehe.” Aku nyengir.

Mulai permaianan. Aku di kasih control: emoji untuk komunikasi, objek yang bisa di kasih ke karakter lain, dan gesture absurd kayak ‘Melambai’, ‘peluk’, ‘lempar sandal’ (iya, ada, jangan tanya kenapa), dan fitur Trust Meter.

Tugas aku: membangun komunikasi dengan Zerof.

Masalahnya? Si karakter ini cuek banget, kayak—Felix. Kayak salju Norwegia. Kayak rice cooker yang gak dicolok.

Aku kasih emoji croissant: Trust meter -1

Aku kirim pelukan: layar blackout.

Aku kasih senyum manis: Zerof muter balik jalan ke pojok, lalu duduk menyedihkan.

“Felix, ini karakter lo kok sadboy banget?”

“Dia butuh waktu buat percaya.”

“Tapi ini udah 30 menit. Aku jadi inget mantan yang dulu bales WA seminggu sekali.”

Dia melirikku. Lama. Dahinya berkerut. Kemudian kembali ke depan laptopnya. Tanpa bicara. Tanpa solusi.

Setelah hampir satu jam aku stuck degan karakter Zerof. Felix datang dengan minuman boba rasa taro dan cemilan rasa coklat yang cukup banyak. Cukup membuatku diabetes.

“Felix, ini karakter lo tuh butuh komunikasi atau exorcism?”

“He’s coded that way. Gue desain system sinyal supaya ngukur siapa yang cocok sama dia. Siapa yang sabar.”

Aku diam. Lalu nyeletuk.

“Berarti… lo bikin game untuk nyari yang sabar sam lo? Kayak… uji coba calon pacar?”

Felix melirik. Bibirnya nyengir kecil. Tapi matanya masih cool, kayak layar loading yang stuck di 99%.

“Nggak gitu juga.”

“Nggak gitu juga tuh artinya, gitu juga kan?”

Aku pengen nyerah. Kayaknya aku nggak bakat buat game ini. Namun rasa tidak ingin menyerahku membuat ku kembali menyemangatkan diri.

Aku mencoba gesture baru—lempar cupcake virtual ke Zerof—tiba-tiba monitor Felix nunjukan trust meter naik.

“Lho, kok dia terima cupcake?”

“Mungkin—karena dia mulai terbiasa.”

“Wow. Akhirnya. Gue bikin NPC mirip lo bahagia. Game ini kayak simulasi hubungan real life kita ya?”

“Ya. Kadang kita gak butuh kata-kata buat ngerti orang.”

Felix tiba-tiba berdiri. Jalan ke mejanya. Lalu balik—bawa sticky note.

Dia tulis nomor WA dia (padahal udah punya), email dan satu catatan absurd.

“Kalau lo punya ide absurd buat system ini, kabarin. Gue butuh tester yang unpredictable.”

Aku ngeliat kertas itu.

Aku melongo.

Aku nyengir.

“Lo ngajak gue kerja bareng?”

“Lebih kayak… ngajak lo nge-crash system gue, tapi dengan control.”

‘DEMI APA. GUE… NPC SEKALIGUS BUG.’

Pas aku mau keluar kantor, aku balik badan.

Felix masih duduk dimejanya. Tapi dia melirik. Dan senyum. cuma setengah. Tapi setengah itu… mampu meruntuhkan pertahananku untuk nganggap dia cuma sebatas rekan beta testing.

‘Oke Meisya, kalau dia biarin lo pulang sendirian, berarti fix, lo dan dia ngak akan berubah status.’

Aku berhenti. Melirik Felix untuk kedua kalinya. Kemudian kembali melangkah keluar. Bersiap-siap untuk memesan taxi online.

Aku pernah nanya ke Mas Johan, ‘apakah kalau dia mengantar temen ceweknya pulang malam-malam, apa itu karena dia tertarik sama temannya?’

Tapi Mas Johan menjawab dengan tersenyum, ‘Tergantung, kalau cuma sekali-kali, itu mungkin karena dia cuma nganggep temen’.

Aku pikir mungkin Felix memang cuma menganggapku teman tapi tiba-tiba aku ngerasain ada yang ngikutin langkahku dari belakang.

“Langkah lo kecil banget,” katanya.

“Kalau gue jalannya biasa, nanti lo keseret.”

Aku noleh. “Ya emang ini ukuran kaki standar cewek, tahu. Lagian gue nggak minta lo jagain juga.”

Tapi di dalam hati aku berteriak, ‘APA INI? GUE KIRA DIA BAKAL MEMBIARKAN GUE PULANG SENDIRIAN’.

Dia menyusul ke sebelahku, terus tanpa bicara, tangannya nahan pundakku waktu nyaris kesandung pot tanaman dekat lobi.

“Nanti lecet, siapa yang mau pasang plesternya?”

Aku membalas, “Rumah Sakit,” dengan polos.

Dia cuma geleng-geleng.

“Plester hati lo perlu di beli dimana ya?”

‘APA BARUSAN FELIX BERCANDA? DENGAN GUE? FELIX?’

Aku jawab sambil nyengir, “Di toko bangunan kayaknya. Yang buat nutup dinding retak.”

Felix nunduk sambil ketawa pelan.

“Meisya, lo… ajaib banget.”

Aku ngedip. “Yang penting bukan ilegal, kan?”

Sepanjang perjalanan aku berfikir, kata Mas Pedro adalah tipe yang nggak akan membiarkan orang masuk ke hidupnya kecuali mamanya. Apa sekarang ini termasuk dia lagi buka pintu buat aku masuk ya? Tapi masa sih?

Mungkin dia cuma bercanda aja. Mungkin itu SOP cowok ganteng zaman sekarang. Sama kayak Mas Johan.

“Lo mau makan malam dulu?” ujar Felix saat kami sudah ada di dalam mobilnya yang penuh dengan wangi yang sama dengan wangi Felix.

Aku ngedip dua kali.

‘Felix ngajak gue makan malam?’

‘Gak. Ini tuh cuma formalitas Meisya. Gimana mungkin brondong manis kayak gitu punya selera Mbak-Mbak umur 30-an.’

“Gue tau tempat yang jual ramen enak.” Tambahnya.

“Well… gue gak masalah sih tapi apa ngak apa-apa sama lo? Lo harus balik lagi ke kantor lo kan?” ucap ku dengan nada khawatir padahal di dalam hati sudah bersorak kayak cheerleader basket.

“Nggak kok, gue langsung pulang. Apa lo pikir gue nginep di office?”

“Siapa tau kan? Gue nggak tau gimana jam kerja game developer.”

Dia tertawa. Bukan ketawa yang keras. Tapi ketawa yang memperlihatkan lesung pipinya.

“Lo terlihat manis saat ketawa.”

‘APA? APA YANG GUE BILANG? OH MY GOD. DIA PASTI MARAH.’

“Ma—maksud gue… lo—g—gue gak tau kalau lo ada lesung pipi. Kata orang lesung pipi itu cacat yang bikin terlihat manis” ujarku ngeles sambil kelabakan setelah sadar apa yang aku ucapkan barusan.

Bahkan kata-kataku makin pelan saat bilang ‘cacat yang bikin manis’.

Tapi yang bikin aku lebih kaget bukan mulutku yang tidak terkontrol, tapi jawaban Felix.

“Lo suka?” suaranya adem. Gak marah. Nggak dingin tapi datar.

‘TUHAN, COBAAN MACAM APA LAGI INI? GUE LEMAH SAMA KALIMAT-KALIMAT KAYAK GINI’.

Aku nge-lag.

Menelan ludahku dua kali.

“HAHAHA—gue suka sama semua yang terlihat cantik dan manis,” jawabku dengan ketawa yang canggung.

Aku kenal Felix udah beberapa bulan, tapi ini pertama kalinya dia menjatuhkan bom di depanku dan tentu saja membuat pertahanan yang sudah susah aku bangun dari beberapa waktu lalu perlahan ambruk.

Aku terbatuk kecil. “Gue denger dari Mas Pedro, lo baru 26 tahun tapi udah jadi CTO.”

Berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Lo ketemu Pedro?” tanyanya datar tapi juga sedikit dingin.

Atau cuma perasaanku aja?

“Iya, minggu lalu bareng Mbak Elga juga, gue nggak tau kenapa mereka akhirnya ketemu lagi. Apa mereka kencan buta lagi?”

Dia tidak menjawab. Bahkan sampai kami di restoran Jepang yang dia bilang. Tidak ada satu kalimat yang keluar dari mulutnya.

Aku nggak nyaman. Aku kembali memikirkan apa yang kami bicarakan sebelumnya.

‘Apa dia marah gara-gara komen manis gue tadi?’

Setelah dia order ramen, katsu dan dua hidangan lainnya. Dia melirik ke arahku. Aku menelan ludah.

‘Apakah sekarang saatnya? Apa gue akan menyaksikan wajah sesungguhnya saat Felix marah?’

“Dia nggak ngomong aneh-aneh kan?” akhirnya ada kalimat yang keluar dari mulutnya walaupun dengan nada pelan.

Aku lega. Benar-benar lega.

Aku ingin mengurut dada sambil bilang ‘Lo diam aja dari tadi, hampir jantung gue copot’

Tapi aku urungkan. “Nggak kok. Kami banyak cerita soal kencan buta gue yang gagal.”

Dia menggangukkan kepala. Makanan kami datang. Dia menyuruhku menikamti karena semua yang dia pesan adalah hasil observasi dia terhadapku selama ini.

Aku hampir keselek air.

“Terus Mas Pedro bilang mungkin kita cocok karena kita seumuran, pas Mbak Elga bilang gue udah 30, dia auto melongo.” Tambahku dengan nada ceria tapi ujung mataku melirik reaksi Felix.

“Nggak ada yang aneh dengan umur 30. Lagian itu cuma angka,” jawabnya yang membuatku merasa lebih lega.

Setelah makan malam yang tidak terduga itu. Felix mengantarku pulang.

Dan tentu saja membuatku semakin overthinking saat aku udah rebahan di kasur.

‘Sebenarnya kenapa tadi tuh nadanya terdengar marah?’

‘Sebenarnya apa sih yang ada di kepala Felix?’

‘Sebenarnya Felix mandang aku lebih dari sekedar rekan beta tester, atau hanya hubungan professional aja?’

Aku nggak tau.

Aku capek.

Belum lagi besok, entah drama apa lagi yang akan terjadi di kantor.

Aku menatap langit-langit kamar lama sebelum kemudian memejamkan mata.

**

1
nide baobei
berondong gak tuh🤣
kania zaqila
semangat thor💪😊
nide baobei
ya ampun meisya🤣🤣🤣
nide baobei
ngakak🤣🤣, semangat thor💪
nide baobei
🤣🤣🤭
nide baobei
udah pede duluan🤣🤣
nide baobei
🤣🤣🤣 si meisya lucu banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!