Nurma Zakiyah adalah seorang siswi Sekolah Menengah Umum (SMU) yang ceria, namun hidupnya seketika dilanda tragedi. Sang ayah terbaring sekarat di rumah sakit, dan permintaan terakhirnya sungguh mengejutkan yakni Nurma harus menikah dengan pria yang sudah dipilihnya. Pria itu tak lain adalah Satria galih prakoso , guru matematikanya yang kharismatik, dewasa, dan terpandang.
Demi menenangkan hati ayahnya di ujung hidup, Nurma yang masih belia dan lugu, dengan berat hati menyetujui pernikahan paksa tersebut. Ia mengorbankan masa remajanya, impian kuliahnya, dan kebebasannya demi memenuhi permintaan terakhir sang ayah.
Di sekolah, mereka harus berpura-pura menjadi guru dan murid biasa, menyembunyikan status pernikahan mereka dari teman-teman dan rekan sejawat.
Bagaimanakah kelanjutan rumah tangga Nurma dan Satria?
Mampukah mereka membangun ikatan batin dari sebuah pernikahan yang didasari keterpaksaan, di tengah perbedaan dunia, harapan, dan usia, bisakah benih-benih cinta tumbuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernyataan cinta di balik luka
Motor sport Satria berhenti mulus di depan rumah Nurma. Satria mematikan mesin. Keheningan yang menyelimuti lingkungan terasa asing setelah badai yang baru saja mereka lalui. Ia membantu Nurma turun. Gadis itu berjalan dengan langkah lunglai, masih dalam kondisi shock dan kelelahan mental.
Satria lega melihat rumah itu masih sepi. "Syukurlah, Ibu sepertinya masih di tempat Bude Minah," gumamnya. Peristiwa di gudang, identitas aslinya, dan ancaman Douglas—semua harus dirahasiakan dari Ibu mertuanya, setidaknya untuk saat ini.
Begitu mereka masuk, Nurma langsung ambruk di sofa ruang tamu. Ia memeluk lututnya, wajahnya yang pucat menengadah ke Satria. Pria itu segera duduk di sampingnya, meraih kotak P3K untuk membersihkan luka di sudut bibirnya.
Namun, alih-alih merintih kesakitan, Nurma kembali menangis. Kali ini, tangisannya lebih dalam dan pilu daripada ketakutan di gudang. Ini adalah tangisan karena merasa dikhianati dan dijadikan barang.
"Nurma, kamu kenapa?" tanya Satria panik, meletakkan kapas dan antiseptik. Ia memegang wajah Nurma dengan kedua tangannya, memaksanya menatap.
"Douglas sudah diamankan. Kau aman sekarang. Apa yang dia katakan padamu? Katakan padaku, apa yang membuatmu sesedih ini?"
Nurma menggelengkan kepala, air matanya membanjiri jari-jari Satria. "Ayah... Ayahku, Satria. Dia tega... dia menjadikan aku jaminan pelunasan hutang 50 miliar. Dia menjualku, Satria. Aku... aku barang!" isaknya, suaranya tercekat. Ia merasa malu dan terhina untuk mengucapkan kebenaran memalukan itu.
"Dia tertawa. Douglas mengatakan aku adalah calon istri keempatnya! Dan dia akan membunuh Ibu kalau aku mencoba lari atau... atau meminta bantuanmu..." Nurma menutup wajahnya, tak sanggup melanjutkan.
Satria menarik napas panjang, tatapan matanya mengeras, bukan karena marah pada Nurma, tetapi karena kemarahan yang tertahan pada Prasetyo (ayah Nurma) dan sistem yang memaksa orang-orang seperti Douglas berkuasa.
"Aku tahu, Nurma," ucap Satria lirih, suaranya tenang namun mengandung otoritas.
Nurma segera mengangkat kepalanya, matanya membelalak.
"Apa? Tahu apa?"
"Aku tahu tentang utang mendiang Ayahmu, Nurma. Aku tahu tentang Tuan Douglas, dan aku tahu tentang surat perjanjian yang menjadikanmu... jaminan," ucap Satria.
Dunia Nurma terasa runtuh untuk kedua kalinya hari itu. Keterkejutan itu segera berubah menjadi amarah.
"Kau tahu?! Kau tahu semua ini dan kau tidak pernah memberitahuku?! Kenapa, Satria?! Kau membiarkan aku hidup dalam kebohongan, membiarkan aku berpikir Ayahku adalah orang baik, sementara dia menjualku?!"
Nurma mendorong dada Satria, air mata kesal dan pengkhianatan membasahi pipinya.
"Aku minta maaf, Nurma. Aku terikat janji," Satria berusaha menenangkan. Ia memegang tangan Nurma erat-erat.
"Dengarkan aku. Itu semua berawal ketika Ayahmu tahu dia tidak punya banyak waktu lagi. Kanker paru stadium empat sudah menggerogoti tubuhnya, dan dokter bilang usianya tinggal hitungan bulan."
Nurma terdiam, kenangan akan Ayahnya yang selalu batuk parah dan terlihat lemas melintas.
"Ayahmu datang ke Ayahku, Pak Prakoso," lanjut Satria, suaranya melembut. "Bukan untuk memohon uang, tapi memohon perlindungan. Dia tahu Douglas akan menuntut mu segera setelah Ayahmu meninggal. Ayahmu memohon agar aku menikahimu secepatnya. Hanya itu satu-satunya cara bagimu untuk memiliki perlindungan hukum, memiliki suami yang bisa melindungi mu dari jaminan utang itu."
Satria menunjuk luka di bibirnya. "Dan dia benar. Dia tahu aku harus melindungi mu dengan cara apa pun."
Nurma mendengarkan semua itu dengan hati hancur. Ayahnya sudah tidak punya pilihan, dan Satria adalah satu-satunya pelindungnya. Namun, kenyataan bahwa pernikahan mereka didasari oleh paksaan utang dan ancaman, bukan cinta, terasa lebih menyakitkan daripada ancaman Douglas.
"Jadi..." bisik Nurma, suaranya patah. "Kau terpaksa menikahiku?"
Satria terkejut dengan pertanyaan itu. Ia tidak menyangka Nurma akan menyimpulkan hal tersebut.
"Kau tidak harus mengorbankan masa depanmu, Satria. Kau adalah seorang... seorang Kapten," kata Nurma, nama pangkat itu terasa asing di lidahnya. "Kau punya karier. Kau punya hidup. Aku adalah beban utang lima puluh miliar yang diwariskan oleh Ayahku. Aku tidak mau kau menderita karena ini."
Nurma menarik napas panjang, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. Ia menatap mata Satria dengan kesungguhan yang menyakitkan.
"Aku memberimu kebebasan, Satria. Ceraikan aku. Aku akan hadapi Tuan Douglas. Aku tidak mau kau terikat pada janji seorang pria yang sudah meninggal. Pergilah dan lanjutkan hidupmu."
Kini giliran Satria yang merasakan sakit yang menusuk. Bukan dari Douglas, tapi dari Nurma. Ia menarik Nurma dari sofa, memeluknya kuat-kuat hingga gadis itu tak bisa bergerak.
"Bodoh! Jangan pernah ulangi kata-kata itu lagi!" raung Satria, suaranya dalam dan penuh emosi. Ia memaksakan jarak agar mereka bertatapan, matanya memancarkan ketulusan yang belum pernah Nurma lihat.
"Memang benar aku menikahimu karena janji. Aku menikahimu untuk melindungimu. Tapi..." Satria menangkup pipi Nurma, menyentuh bibir gadis itu dengan ibu jarinya.
"Saat aku melihatmu, saat kita tinggal bersama, saat aku melihat senyummu yang polos di sekolah setiap hari, aku jatuh cinta padamu, Nurma."
"Perasaan ini... ini bukan karena tugas, Sayang. Aku mencintaimu. Aku ingin menjadi suamimu, bukan hanya pelindungmu. Jangan pernah berpikir aku akan menceraikan mu. Kau adalah rumahku, dan tidak ada utang di dunia ini yang bisa membuatku meninggalkanmu," ucap Satria, nadanya tidak lagi berupa perintah militer, melainkan janji seorang suami.
Nurma menatap Satria, air mata yang tersisa kini berkilauan di matanya, memantulkan ketulusan mendalam yang terpancar dari wajah suaminya. Kapten, guru, suami—tiga identitas itu kini melebur dalam satu sosok yang baru saja menyelamatkannya dari neraka dan kini mengucapkan kata-kata terindah yang pernah ia dengar.
"Apa... apa ini nyata?" bisik Nurma, bibirnya bergetar. Ia tak menyangka, pernikahan yang dimulai dari transaksi utang bisa berkembang menjadi benih cinta.
Satria tersenyum lembut, senyum yang sama yang selalu ia tunjukkan saat mengajar, namun kali ini penuh makna.
"Sangat nyata, Sayang. Aku mencintaimu. Dan aku tahu, perbedaan usia itu tidak berarti apa-apa saat aku melihatmu."
Mendengar konfirmasi itu, hati Nurma yang hancur perlahan terobati. Ia tidak bisa lagi membohongi dirinya sendiri. Selama ini, perasaan nyaman dan aman yang ia rasakan setiap kali berada di dekat Satria adalah cerminan dari perasaannya sendiri.
"Aku..." Nurma menahan napasnya, menatap Satria. "Aku juga mencintaimu, Satria. Aku merasa sangat aman dan nyaman saat bersamamu. Kau adalah orang yang paling bisa aku percaya di dunia ini."
Pengakuan itu seperti kembang api bagi Satria. Ia tidak menyangka penantian dan perasaan terpendamnya akan terbalaskan secepat ini. Satria meraup wajah Nurma, menatap mata istrinya yang indah untuk memastikan semua itu.
"Terima kasih, Sayang," bisiknya, suaranya serak karena emosi.
Tanpa menunggu lebih lama, Satria menundukkan kepalanya, mencium lembut bibir Nurma. Ciuman itu awalnya hanyalah sentuhan, ucapan syukur atas terbalasnya cinta, namun perlahan berubah menjadi ekspresi gairah yang lama terpendam. Nurma membalasnya dengan segenap kerinduan dan ketakutan yang ia lepaskan.
Ciuman itu semakin dalam, semakin liar. Satria mendorong Nurma hingga tubuh gadis itu terbaring di sofa ruang tamu. Nurma membiarkan dirinya pasrah. Malam ini, setelah melewati ancaman maut, ia hanya ingin merasa dicintai, dilindungi, dan menjadi sepenuhnya milik suaminya. Janji Satria untuk tidak menyentuhnya sampai Nurma lulus sekolah seolah lenyap dihempas badai emosi dan pengakuan cinta.
Napas keduanya memburu. Bibir Satria beranjak, meninggalkan ciuman di dahi, pipi, lalu turun ke leher jenjang Nurma. Setiap sentuhan meninggalkan sensasi membakar.
Satria menarik beberapa kancing kemeja sekolah Nurma yang kusut, memperlihatkan sedikit kulit leher dan tulang selangkanya. Tanda merah samar mulai terlihat di leher Nurma, saksi bisu betapa besarnya gejolak yang mereka rasakan.
Tepat saat Satria hendak melepaskan kancing berikutnya, sebuah suara memecah keheningan.
Klek!
Suara kunci yang diputar, diikuti dengan bunyi pintu dibuka. Ibu Nurma telah pulang.
Satria dan Nurma seketika membeku. Mereka seperti tersambar petir. Satria langsung menarik dirinya menjauh dari Nurma, gerakannya cepat dan panik.
Nurma segera duduk tegak, tangannya gemetar berusaha menutupi kemejanya yang terbuka dan merapikan rambutnya yang berantakan. Mereka berdua terengah-engah, dengan wajah memerah karena ciuman dan ketakutan tertangkap basah.
Bersambung...