NovelToon NovelToon
Cinta Terlarang Dengan Abang Tiri

Cinta Terlarang Dengan Abang Tiri

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Cinta Terlarang / Cintapertama
Popularitas:49.7k
Nilai: 5
Nama Author: mama reni

“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”

Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.

Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.

Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.

Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab Dua Puluh Tujuh

Dokter menutup map hasil pemeriksaan, lalu menatap Davina dengan ekspresi yang sulit ditebak.

“Mbak Davina,” ujar dokter perlahan, “Boleh saya tanya sesuatu dulu?”

Davina menelan ludah. Jemarinya menggenggam tangan Kevin makin kuat. “Iya, Dok.”

“Kamu akhir-akhir ini minum obat apa? Obat apa pun. Termasuk obat telat haid, pelancar, atau apa pun yang katanya bisa mencegah kehamilan?”

Davina mengerutkan kening. “Obat …?” Ia menggeleng cepat. “Nggak, Dok. Saya nggak minum apa-apa.”

Dokter menaikkan alis, seolah tak yakin dengan jawabannya. “Tidak minum obat apa pun? Bahkan yang tanpa resep?”

Davina kembali menggeleng. “Tidak, Dok.”

Kevin menoleh pelan ke arahnya. Tatapannya bertanya, tapi ia diam. Begitu dokter mengulang pertanyaan, suara Kevin ditelan utuh oleh ketegangan.

“Davina, ini penting. Kamu yakin tidak minum obat apa pun yang dikasih orang? Atau kamu beli sendiri?”

Davina memejamkan mata, mencoba mengingat. Tapi ia benar-benar tidak merasa pernah minum apa pun.

“Nggak pernah, Dok. Saya nggak minum apa-apa,” ujarnya pelan.

Dokter mendesah, lalu menatapnya dengan serius.

“Begini,” ucap Dokter. “Gejala yang kamu rasakan,mual, pusing, telat datang bulan, memang mirip gejala awal kehamilan. Tapi, dari pemeriksaan fisik dasar barusan, tanda-tandanya tidak mengarah ke kehamilan.”

Davina menatap dokter tanpa berkedip. “Maksudnya, saya nggak hamil?”

Dokter mengangguk. “Tidak. Dari pemeriksaan awal, kamu tidak hamil, Davina.”

Tangis kecil lolos dari bibir Davina. Ia spontan memegang dada, seperti baru bisa bernapas lagi setelah berjam-jam menahannya. Kevin, di sampingnya, langsung menunduk, menghembus napas lega yang tidak kalah heboh. Tapi sebelum rasa lega itu sempat benar-benar menjadi lega, dokter kembali berbicara.

“Tapi .…” Dokter menatap keduanya, terutama Davina. “Ada sesuatu yang membuat saya khawatir.”

Davina langsung tegang kembali. Kevin refleks menggenggam bahunya, memastikan ia tetap stabil.

“Dari pemeriksaan tadi,” dokter melanjutkan, “Rahim kamu menunjukkan reaksi seperti seseorang yang mengonsumsi obat kontrasepsi dengan dosis sangat tinggi.”

Hening. Davina membeku. Kevin perlahan menurunkan tangannya dari bahu Davina, lalu menatap dokter dengan tatapan yang berubah lebih gelap.

“Obat kontrasepsi?” ulang Davina, suaranya nyaris hilang. “Tapi saya … saya nggak pernah minum itu.”

Dokter menautkan jari di atas meja. “Obat jenis ini dulunya banyak dijual bebas, biasanya berbentuk pil, kapsul, atau bahkan jamu, yang katanya bisa ‘mencegah’ kehamilan atau mempercepat haid. Tapi sekarang sudah banyak yang dilarang karena efek sampingnya berat, terutama kalau diminum tanpa pemantauan dokter.”

Davina menggeleng cepat, makin panik. “Tapi saya beneran nggak minum apa-apa, Bu.”

Dokter menatapnya lagi, lebih lembut. “Davina … gejalanya terlalu kuat. Kamu pasti minum sesuatu.”

Davina membuka mulut, ingin membantah, tapi kemudian terdiam. Ia mencoba mengingat lagi.

"Sarapan? Tidak ada. Obat apa pun? Tidak. Suplemen? Tidak. Ada yang memberinya minum? Tidak. Selain susu yang diberikan ibu tirinya setiap mau tidur."

Ia menoleh ke Kevin dengan wajah ketakutan. “Bang … aku nggak minum apa-apa. Beneran.”

Kevin mengangguk cepat. “Aku percaya. Aku percaya kamu.”

Dokter memberi jeda beberapa detik sebelum melanjutkan.

“Dengarkan saya baik-baik, ya. Apa pun penyebabnya, kamu harus berhenti mengonsumsi obat itu. Total. Efek sampingnya bisa merusak fungsi rahim kalau dipakai terus-menerus.”

Davina menatap dokter dengan mata melebar. “Rusak …?”

“Bisa, kalau dipakai lama dan tidak terkontrol,” jawab dokter jujur. “Tapi kamu datang di waktu yang tepat. Kita bisa atasi. Saya akan berikan obat untuk meredakan efek sampingnya. Kamu harus minum ini dengan aturan jelas, dan kamu harus kontrol lagi dua minggu dari sekarang.”

Davina mengangguk lemah, seperti otaknya sulit memproses semua informasi itu.

Dokter menulis resep. “Sementara itu, kamu harus cukup istirahat. Jangan stres. Jangan minum obat apa pun tanpa bertanya dulu ke dokter. Dan .…” ia menatap Davina dengan tegas, “Cari tahu siapa yang memberikan kamu obat itu. Karena tubuh kamu bereaksi jelas terhadap sesuatu.”

Davina menunduk. Kevin hanya menatap dokter tanpa mengubah ekspresinya, tapi ada ketegangan yang merayap pelan di rahangnya.

Setelah menerima resep dan penjelasan tambahan, mereka keluar dari ruangan. Kevin memegangi pundak Davina, menuntunnya pelan karena langkahnya terlihat tidak stabil.

Begitu pintu klinik kandungan tertutup, Kevin berhenti. Ia menatap Davina dengan wajah yang tidak bisa ia sembunyikan, khawatir dan bingung, tapi ada juga sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih tajam.

“Davi,” katanya pelan. “Kamu yakin … kamu nggak minum apa-apa?”

Davina langsung mengangguk. “Bang, aku sumpah. Aku nggak minum obat apa pun.”

Kevin menatapnya lama. Lalu mengangguk. “Oke. Aku percaya.”

Kevin meraih pinggang Davina perlahan, menahannya karena gadis itu tampak limbung beberapa detik. “Ayo, kita ke apotek dulu.”

Keluar dari rumah sakit, angin sore menyapa wajah Davina. Tapi tenangnya angin itu tidak cukup untuk menenangkan degup jantungnya.

Kevin berjalan sedikit lebih cepat menuju apotek, seolah paniknya belum surut. Setelah resep ditebus dan obat dimasukkan ke kantong plastik kecil, mereka berjalan menuju halte taksi di depan rumah sakit.

Davina masih belum banyak bicara. Ia sibuk memikirkan satu hal, kalau bukan dia yang minum obat itu … siapa?

“Bang …,” panggil Davina pelan.

“Hm?” Kevin menoleh.

“Dokternya pasti salah lihat, kan?”

Kevin menggeleng perlahan. “Dokter nggak mungkin asal ngomong soal hal begitu.” Lalu ia menatap Davina lagi, menunduk sedikit agar wajah mereka sejajar. “Tapi bukan berarti kamu salah. Kamu bilang kamu nggak minum apa-apa. Aku percaya.”

Davina mengembuskan napas lega sedikit. Tapi Kevin belum selesai.

“Yang jadi pertanyaan adalah .…” Suara Kevin menurun, lebih dalam, “Kalau bukan kamu yang minum, siapa yang ngasih kamu obat itu?”

Davina membuka mulut, tapi tertutup lagi. “Aku nggak tahu, Bang. Aku nggak merasa ada yang ngasih apa-apa.”

Kevin terlihat berpikir. Alisnya bertaut, rahangnya mengeras. Itu ekspresi Kevin kalau ia sedang menghubungkan banyak hal sekaligus. Dan Kevin sangat jarang terlihat seperti itu.

“Bang?” Davina memegang tangannya, sedikit takut. “Kamu kenapa?”

Kevin menatap jalanan, seolah mencoba mencari logika dari sesuatu yang tidak punya logika.

“Davi .…” suaranya rendah. “Obat yang kamu minum itu bukan obat biasa. Dan itu bukan obat murah. Itu obat keras. Harusnya cuma bisa didapat lewat resep atau lewat jalur ilegal.”

Davina merinding mendadak. “Jalur ilegal?”

Kevin mengangguk. “Obat itu dulu dipakai sembarangan sama banyak orang. Makanya sekarang dilarang. Tapi bukan berarti nggak ada orang yang masih jual.”

Davina memegang dadanya. Perutnya mual lagi, tapi bukan karena efek obat tapi karena ketakutan.

“Bang … kamu kirain siapa yang kasih aku obat? Masa ada yang sengaja?”

Kevin menatapnya. “Davi, aku nggak mau nuduh siapa-siapa.” Suaranya lembut, tapi nadanya sangat serius. “Tapi dokter bilang reaksi di tubuh kamu nggak kecil. Ini seperti kamu minum obat itu berkali-kali.”

Davina menelan ludah. “Tapi aku nggak ....”

“Aku tahu.” Kevin meraih kedua tangan Davina. “Aku percaya kamu. Seratus persen.”

Namun setelah itu, Kevin menatap jauh ke arah parkiran rumah sakit. Tatapannya berubah. Ada kilatan kemarahan di sana, tapi juga kehati-hatian.

“Yang bikin aku kepikiran adalah .…” Kevin berhenti sejenak, suaranya menurun nyaris seperti gumaman, “Kalau obat itu bisa sampai masuk ke tubuh kamu, tanpa kamu tahu. Berarti ada orang yang sengaja ngasih.”

Davina terbelalak. “Bang .…”

Kevin menggenggam tangannya makin erat. “Davi, mulai sekarang kamu nggak boleh minum apa pun kalau bukan aku yang lihat. Bahkan jamu, minuman sachet, apa pun. Ngerti?”

Davina mengangguk kaku. “Tapi siapa, Bang? Siapa yang bakal… ngelakuin itu ke aku?”

Kevin tidak menjawab. Ia terus menggenggam tangan Davina sambil menuntunnya ke pinggir jalan, menunggu taksi.

Matanya tidak tenang. Matanya bergerak, seperti sedang menghitung sesuatu yang tidak mau ia ucapkan.

"Bang, aku tak pernah keluar rumah. Siapa yang mau mencelakai aku. Kalau bukan Abang, hanya Mama yang selalu membuatkan aku minum."

"Mama ...," ulang Kevin. Ia tampak berpikir.

1
Eva Rosita
sangat bagus
Fitria Syafei
Kk yang baik kereen 😍😍 terima kasih 😘
Siti Amyati
mendingan jujur sama Shaka siapa Thu bisa bantuin
shenina
apa shaka masi mau melanjutkan pertunangan itu...lanjut mam...
Teh Euis Tea
bagus km jujur davi dari pd nanti kamu menyesal dan mungkin akan jd masalah besar nantinya, terserah shaka mau nerima atau ga nya yg penting km udah jujur
Cindy
lanjut kak
Eva Karmita
terserah apa tanggapan Shaka yg penting Davina udah jujur itu yg penting dalam sebuah hubungan kejujuran diatas segalanya
Eka ELissa
bgus kmu jujur dri awalnya ktimbang booong Ksian saka...
TPI kyaknya saka cinta kmu dri pndgn prtama deh Devi....dn mau trima kmu apa adanya.....TPI... entah lah hanya emak yg tau....
Nar Sih
setidak nya kmu udah jujur pda shaka ya davina ,jdi shaka tau biar keputusan pada nya
LB
Davina minta kamu keluar sakha, jangan masuk dalam hubungan mereka yg rumit dan kotor (dosa zina) kamu tidak perduli terlibat.
Marini Suhendar
bagus dev💪
Naufal Affiq
bagus
Rahma
bagus mending jujur davi
Linfaurais
Kasian davi dan kevin
Eva Karmita
dasar orang tua egois...jahat kamu pak ... kasihan Kevin dan Vina 😭😭😭💔
arienta fitriani
halahhh
ngapain juga kyk gitu ....kolot kuno egoisssss
Bunda Idza
coba si Dav....dilema mu sebenarnya sama yang dirasakan sama papamu, kalo dia tega sama Kevin bagaimana dia berhadapan dengan istrinya?? memang si harta menyilaukan mata...ntah lah, kalo kamu berani berontak lah sekuat -kuatnya Dav, jangan setengah2
Bunda Idza
egois sekali
Ilfa Yarni
hade ini ora gtuan kalian yg menyebabkan mereka ada perasaan kalian yg nyuruh mereka berdua kemana2 skrgiliran dewasa mereka punya rasa sebagai lawan jenis knp mrk disalahkan klo anda mau bunuh kevin coba aja pengen liat dan, davina km jgn mundur atau takut tegakkan bdnmu
🌷Vnyjkb🌷
jd ortu itu hrs spt layang²,, d tarik d ulur dan sesuai waktu yg tepat, bkn memaksakan kehendak merasa sdh paling benar, jaman sdh berbeda pak, tdk perlu arogan dlm memdidik anak, tp kasih u berjln d rel nya, klu anak berontak malah menimbulkan mslah baru yg akan d sesali sluruh klg


ternyata papa davin dan ibu kevin pasangan yg cocok sbg ortu yg tdk bijak bersikap!!! anak yg jd korban
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!