Beberapa bulan setelah ditinggalkan kedua orang tuanya, Rama harus menopang hidup di atas gubuk reot warisan, sambil terus dihantui utang yang ditinggalkan. Ia seorang yatim piatu yang bekerja keras, tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi dunia yang kejam.
Puncaknya datang saat Kohar, rentenir paling bengis di kampung, menagih utang dengan bunga mencekik. Dalam satu malam yang brutal, Rama kehilangan segalanya: rumahnya dibakar, tanah peninggalan orang tuanya direbut, dan pengkhianatan dingin Pamannya sendiri menjadi pukulan terakhir.
Rama bukan hanya dipukuli hingga berdarah. Ia dihancurkan hingga ke titik terendah. Kehampaan dan dendam membakar jiwanya. Ia memutuskan untuk menyerah pada hidup.
Namun, tepat di ambang keputusasaan, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[PEMBERITAHUAN BUKAN SISTEM BIASA AKTIF UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA TUAN YANG SEDANG PUTUS ASA!
APAKAH ANDA INGIN MENERIMANYA? YA, ATAU TIDAK.
Suara mekanis itu menawarkan kesepakatan mutlak: kekuatan, uang,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 menahan kesal
"Bu polisi, bukankah ini masih terlalu pagi untuk mengunjungi rumah seseorang?" Rama melangkah mendekat, berdiri di samping Bu Maya yang tampak gelisah di hadapan petugas berseragam itu.
Sherline tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Justru waktu pagi adalah waktu yang tepat untuk menjemput seseorang, bukan?" Ia menatap pemuda di depannya dengan pandangan yang penuh perhitungan, dari ujung kaki hingga kepala.
"Tapi... saya tidak melihat Anda memiliki niat untuk menjemput seseorang demi penyelidikan," balas Rama santai, namun matanya mengamati setiap detail gerak-gerik Sherline. "Yang saya lihat, Anda lebih mirip seorang gadis yang mendatangi rumah pasangannya untuk mengajaknya berjalan-jalan."
Seketika, tatapan tajam Sherline menghujamnya. Ekspresi tenangnya pecah, tergantikan oleh kekesalan yang kentara.
"Kau...! Apa maksudmu?" Sherline tersulut. "Aku jelas datang sesuai dengan kesepakatan kita kemarin. Kamu sendiri yang menyuruhku datang ke rumahmu dengan membawa surat izin panggilan resmi, bukan?"
"Apakah Anda datang seorang diri?" tanya Rama, memperjelas alasannya. Polisi wanita itu datang tanpa ditemani dua polisi yang sebelumnya menemuinya.
"Ya, memangnya kenapa jika aku datang sendiri?" Sherline melipat kedua tangan di dada. "Aku sudah membawa surat izin resmi untuk membawamu. Aku tidak punya banyak waktu sekarang. Harap kamu ikut denganku, dan kita bicarakan masalah lebih lanjut di kantor."
Ada nada urgensi dalam suaranya. Setelah berulang kali menonton video perkelahian di pasar, Sherline merasa harus berbicara empat mata dengan pemuda itu secepat mungkin.
"Bagaimana jika aku tidak mau ikut?" Rama menantang.
"Kamu akan dianggap tidak mematuhi aturan dan akan dicap sebagai seseorang yang tidak mau memenuhi panggilan secara sengaja," ujar Sherline tegas, namun ada semburat kekesalan yang ia sembunyikan. "Dan, mungkin aku akan memaksamu."
Kring!
Tepat pada saat itu, ponsel Sherline berdering. Ia meraihnya. "Maaf... tunggu sebentar," ucapnya datar pada Rama.
Rama tampak santai. Hanya alisnya sedikit terangkat mendengar ancaman akan dipaksa ikut.
"Nak Rama, ada apa ini sebenarnya?" Bu Maya berbisik cemas. "Kenapa ada polisi mencari kamu? Kamu tidak melakukan sesuatu yang menentang hukum, kan?"
"Tidak, Bu. Polisi ini hanya datang untuk meminta keterangan," jawab Rama menenangkan.
"Keterangan apa?" kekhawatiran Bu Maya semakin menjadi.
Rama tidak tahu harus menjawab apa. Menjelaskan yang sebenarnya hanya akan menambah kebingungan dan kekhawatiran Bu Maya. "Itu... sebenarnya ketika aku pergi waktu itu, ada sebuah kejadian pencurian, tetapi pencuri itu berhasil melarikan diri. Dan waktu itu aku kebetulan berada di tempat kejadian."
Mendengar penjelasan yang samar-samar, Bu Maya menghela napas lega. "Syukurlah... Jika memang seperti itu, sebaiknya kamu ikuti saja apa kata Bu Polisi itu. Setelah kamu menerangkan semuanya, Ibu yakin mereka akan mengantarmu pulang kembali."
[ Sherline menempelkan ponselnya ke telinga, fokusnya teralihkan sepenuhnya pada panggilan. Itu dari Sersan Hadi.
"Lapor Kapten, kami sudah menyelidiki tentang preman pasar itu, dan kami juga telah berhasil membawa bos mereka untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut," laporan Sersan Hadi terdengar tergesa-gesa.
"Saya harap Kapten segera kembali dan Kapten sendiri yang menginterogasinya, karena saya merasa bos dari preman itu memiliki status yang cukup berpengaruh di desa ini."
"Selain itu... kami juga mendapat petunjuk tentang hilangnya ketiga orang di desa ini."
Sersan Hadi menjelaskan semua temuannya di seberang sana.
"Baik... terima kasih atas kerja kerasnya, Sersan. Saya akan segera ke sana dalam waktu sepuluh menit," jawab Sherline, mengakhiri panggilan. ]
Ia kembali menatap Rama dengan ekspresi yang jauh lebih tegang dari sebelumnya. "Ikut denganku sekarang juga."
"Bu Polisi," Rama berbicara dengan nada penuh pertimbangan. "Sejujurnya aku sama sekali tidak ingin terlibat dengan kasus yang sedang Anda selidiki. Tetapi jika hanya untuk sekadar memberi keterangan, aku sudah menjelaskan sebelumnya."
Kring!
"Kamu...!" Tepat ketika Sherline hendak menjawab, ponselnya kembali berbunyi. Ini cukup membuatnya kesal. Ia menatap Rama sekilas, lalu beralih ke layar ponselnya. Nama sang ayah tertera di sana. Keningnya sedikit berkerut; tidak biasanya ayahnya menghubunginya di jam kerja kecuali ada kepentingan mendadak.
"Halo... Ayah, ada apa?" tanyanya setelah panggilan terhubung.
["Sherline, apa yang kamu lakukan? Cepat selesaikan tugasmu di sana. Jangan membuang waktu untuk hal yang tidak berkaitan dengan kasus yang Ayah berikan!"] Suara pria paruh baya di seberang sana terdengar datar, penuh tekanan, dan tidak menerima bantahan.
["Ayah, apa yang Ayah bicarakan? Aku—aku juga sedang menyelidiki kasus itu, dan sekarang aku..."] Belum sempat Sherline menyelesaikan ucapannya, suara ayahnya memotong.
["Sherline, Ayah hanya memberi kamu waktu lima hari untuk mengungkap kasus di desa itu. Jika kamu tidak bisa menyelesaikan tugas dari Ayah dengan baik, sebaiknya kamu segera kembali ke kota dan biarkan Kapten Rendra yang mengambil alih!"]
["Tapi, Ayah, aku..."]
Tuttt.
Panggilan langsung diputuskan secara sepihak. Amarah dan kekesalan Sherline memuncak. Ia kembali menatap Rama yang masih berdiri dengan acuh tak acuh.
"Kamu mau ikut aku atau tidak...?" tanyanya, suaranya kini terdengar sangat datar, menahan ledakan emosi.
Rama agak heran. Entah kenapa, ia merasa sikap polisi wanita itu seperti polisi yang sedang magang, tertekan oleh seniornya. "Bu Polisi, maaf sebelumnya. Saya merasa tidak akan bisa membantu apa pun terkait kasus yang Anda selidiki, dan lagipula... sepertinya ada hal yang lebih penting sedang menanti Anda."
Sherline menghembuskan napas kasar. Ia menatap pemuda itu sesaat, kekesalan perlahan tergantikan oleh frustrasi. "Baiklah... aku tidak akan memaksamu. Kalau begitu, maaf karena telah mengganggu waktu kalian."
Usai berkata demikian, Sherline langsung berbalik pergi, melangkah cepat menuju motor yang terparkir di depan.
"Ah... terima kasih, Bu Polisi. Kalau begitu, semoga tugas Anda segera selesai," ucap Rama, agak tidak menyangka polisi wanita itu tidak memaksanya dan pergi begitu saja.
Bahkan Bu Maya sendiri merasa sedikit heran. "Nak, apa kamu yakin tidak berbohong sama Ibu? Kamu sungguh tidak terlibat dengan hal yang melanggar aturan, kan?" Bu Maya kembali bertanya untuk memastikan.
Rama tersenyum lembut menatap wanita paruh baya itu dan menjawab, "Bu, jika aku terlibat dengan hal yang melanggar hukum, polisi itu tidak akan mungkin datang seorang diri. Dan mereka pasti akan langsung menangkapku begitu tahu aku tinggal di rumah ini."
Bu Maya terdiam menatap Rama sesaat, ia melihat tidak ada kebohongan di matanya. Akhirnya, Bu Maya tersenyum lega dan berkata, "Maafkan Ibu ya, Nak. Ibu hanya takut kamu terlibat dengan hukum."
"Tidak apa, Bu. Rama mengerti," jawab Rama, tatapannya menyiratkan pemahaman yang dalam. "Untuk seorang rendahan seperti kita, memang akan sangat sulit ketika sudah berhadapan dengan hukum negara. Apalagi terkadang, meski kita tidak salah sekalipun, akan sangat sulit untuk kita keluar dari penjara, terkecuali kita memiliki cukup uang."
Ya, memang itulah yang Bu Maya pikirkan. Ia tidak akan tahu apakah Rama bersalah atau tidak. Dan yang pasti, Bu Maya dan keluarga tidak akan bisa berbuat apa-apa untuk membantu membebaskannya.
"Ya sudah," Bu Maya kembali memberi nasihat. "Ibu hanya berpesan sama kamu, ketika nanti sudah tinggal di Jakarta, usahakan untuk tidak terlibat dengan hal-hal yang akan berurusan dengan polisi... apalagi nanti kami di sini tidak tahu."
"Iya, Bu," jawab Rama mengangguk patuh.
lanjut thorrrr💪💪💪