Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Jawaban itu bukanlah jawaban. Tapi itu adalah segalanya.
Bunga memejamkan matanya rapat-rapat. Malam itu, ia tidak tidur. Ia hanya berbaring, mendengarkan detak jantungnya sendiri, sementara di belakangnya, laki-laki yang menjadi suaminya itu juga berbaring, tidak tidur.
Hitungan mundur mereka hampir selesai. Besok lusa... panggung pertunjukan akan dibuka. Dan 'Benteng Guling' itu kini teronggok di pinggir ranjang, telah kehilangan semua fungsinya.
Pagi harinya adalah pagi yang paling aneh.
Bunga terbangun bukan karena alarm. Ia terbangun karena... hangat. Ia merasa sangat nyaman dan hangat. Ia mengerjapkan matanya, kesadarannya terkumpul perlahan. Ini bukan kamarnya. Ini kamar Arga.
Lalu ia sadar.
Ia tidak berada di "sisinya".
Dalam tidurnya, tubuhnya yang mencari kehangatan secara tidak sadar telah bergerak. Ia bergeser, melintasi batas tak kasat mata di tengah kasur. Ia kini tidur meringkuk, badannya menempel erat pada sesuatu yang kokoh dan hangat. Sesuatu yang bernapas dengan teratur.
Jantung Bunga serasa berhenti berdetak.
Itu punggung Arga.
Dan yang lebih parah, satu tangannya tergeletak di atas pinggang Arga, seolah sedang memeluk laki-laki itu dari belakang.
Bunga membeku. Ia tidak berani bergerak. Ia tidak berani bernapas. Berapa lama ia tidur dalam posisi ini? Apa Arga menyadarinya?
Ia merasakan Arga bergerak sedikit. Laki-laki itu berdeham, suaranya serak khas bangun tidur.
Bunga menarik tangannya secepat kilat, seolah baru saja menyentuh bara api. Ia berguling menjauh ke sisinya, menciptakan jarak sejauh mungkin. Wajahnya memerah padam hingga ke akar rambut.
Arga tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya diam selama beberapa detik. Lalu, ia duduk di tepi ranjang, membelakangi Bunga.
"Jam setengah lima," gumamnya. "Alarmnya belum bunyi."
Suaranya tenang. Terlalu tenang. Seolah ia tidak baru saja dipeluk oleh istri pura-puranya dalam tidur.
"M... Mas," cicit Bunga. "Maaf. Bunga... Bunga nggak sengaja. Bunga tidurnya emang suka gerak."
Arga mengusap wajahnya. "Mas tahu," katanya.
"Mas Arga... tahu?"
"Kamu nendang Mas jam dua pagi tadi," katanya datar.
Bunga ingin sekali menenggelamkan dirinya di Samudra Hindia.
"Mas mandi dulu," kata Arga, bangkit dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Ia tidak menoleh.
Bunga menutupi wajahnya dengan bantal dan menjerit tertahan. Ini seratus kali lebih memalukan daripada insiden cobek di bandara.
Ritual pagi mereka kini dipenuhi kecanggungan level baru. Saat Bunga masuk ke kamar mandi, uap panas masih mengepul, sisa dari mandinya Arga. Aroma sabun musk laki-laki itu begitu pekat. Ia menyikat giginya di depan cermin, di samping sikat gigi Arga, dan merasa seperti seorang penyusup.
Saat ia keluar, Arga sudah rapi dengan kemeja kantornya, sedang berdiri di depan lemari mereka, memilih dasi.
"Sarapan roti, ya," kata Arga, tanpa menoleh.
"Iya, Mas."
Bunga bergegas bersiap. Ia mengambil baju gantinya dari lemari yang sama. Jarak mereka hanya satu langkah. Bunga bisa merasakan kehangatan tubuh Arga di sampingnya saat ia meraih blusnya.
Ini gila. Ini adalah kehidupan domestik yang tidak pernah ia minta.
Di kampus hari itu, Bunga seperti zombi. Ia kurang tidur, malu, dan otaknya terus-menerus memutar ulang kejadian pagi tadi.
"Lo kenapa, sih?" tanya Vina saat mereka makan siang di kantin. "Muka lo kusut banget. Habis dimarahi wali galak lo lagi?"
"Bukan," kata Bunga lesu. "Cuma... kurang tidur."
"Kurang tidur kenapa? Kalian sekamar?" goda Vina.
Wajah Bunga langsung memucat. "Nggak! Maksudku... 'wali' aku itu lagi banyak kerjaan. Dia ngetik semalaman di ruang tamu. Berisik. Aku jadi nggak bisa tidur di kamar."
Kebohongan itu keluar begitu saja. Kebohongan baru untuk menutupi kebenaran yang terlalu rumit.
"Oh, kirain," Vina terlihat kecewa.
Saat Bunga sedang melamun, sesosok bayangan berhenti di depan mejanya. Kak Reza.
"Hai, Melati, Vina," sapanya. Senyumnya masih ramah, tapi ada jarak yang jelas di matanya.
"Hai, Kak," sapa Bunga.
"Melati, soal revisi desain itu... aku udah pelajari," katanya. "Jujur, idemu soal sambungan itu brilian. Tapi aku ada beberapa pertanyaan teknis. Kamu... sibuk banget, ya, minggu ini?"
"Eh... iya, Kak. Agak. Wali saya lagi... mau ada tamu dari luar kota. Jadi saya harus bantu-bantu di rumah." Kebohongan lagi.
Reza tersenyum maklum. "Oke. Kelihatannya walimu benar-benar ngandalin kamu, ya."
"Bisa dibilang gitu, Kak."
"Ya sudah," kata Reza. "Nanti aku kirim pertanyaannya via WA aja. Nggak usah buru-buru dijawab. Santai aja."
"Makasih, Kak."
Reza mengangguk, lalu berlalu. Ia tidak lagi mencoba mengajaknya ngopi. Ia tidak lagi mencoba bercanda. Pertemuan di lobi marmer itu, dan reputasi Bunga yang dijaga "wali galak", benar-benar berhasil membangun tembok di antara mereka.
Bunga menatap punggung Reza. Fantasi romansa kampusnya resmi berakhir. Anehnya, ia tidak merasa sesedih yang ia bayangkan. Ia hanya merasa... lelah. Dan ia ingin cepat pulang. Pulang ke apartemen.
Pulang ke Arga.
Malam itu, H-2. Malam terakhir mereka sebelum badai datang.
'Jam Bimbingan' selesai lebih cepat. Tugas Bunga sudah beres, dan Arga sepertinya sengaja menyelesaikan pekerjaannya lebih awal.
Pukul setengah sepuluh malam. Mereka duduk di sofa, menonton berita. Jarak mereka masih terjaga. Satu meter. Seolah insiden pagi tadi tidak pernah terjadi.
"Bunga," Arga mematikan suara televisi.
"Ya, Mas?"
"Besok orang tua Mas datang jam tiga sore. Mas akan jemput mereka di Stasiun."
"Oke, Mas. Bunga harus siapin apa? Masak?"
"Nggak usah. Mas pesan katering aja hari pertama. Terlalu berisiko," kata Arga. "Tapi ada yang lebih penting yang harus kita siapkan."
Jantung Bunga berdebar. "Apa lagi?"
"Panggilan kita," kata Arga datar.
Bunga mengernyit. "Panggilan?"
"Iya." Arga menatapnya lekat. "Kamu manggil Mas, 'Mas Arga'. Mas manggil kamu, 'Bunga'. Di depan orang tua kita, itu terdengar kaku. Seperti orang asing."
Bunga sadar ke mana arah pembicaraan ini.
"Ibuku," lanjut Arga, "berharap kita... ya... kamu tahu. Pengantin baru. Beliau akan sangat curiga kalau kita bicara seformal itu."
"Jadi..." Bunga menelan ludah. "Bunga harus panggil Mas... apa?"
Arga terlihat sedikit tidak nyaman. Ini adalah bagian tersulit dari rencananya. "Cukup... 'Mas'," katanya. "Tanpa 'Arga'."
Itu tidak terlalu buruk. Bunga sudah sering memanggilnya 'Mas' saat mereka sedang santai.
"Oke. Mas," Bunga mencoba. Terdengar normal.
"Dan saya..." Arga berdeham. "Mas akan panggil kamu... 'Dek' atau... 'Sayang'."
Bunga nyaris tersedak ludahnya sendiri. "A-APA? SAYANG?!" pekiknya.
"Sst!" Arga memberi isyarat agar Bunga diam. "Akting, Bunga. Cuma akting. Biar meyakinkan." Ia mengatakannya dengan wajah lurus, tapi Bunga bisa melihat telinganya sedikit memerah.
"Nggak bisa, Mas! Geli!" protes Bunga. "Bunga nggak mau! 'Dek' aja! 'Dek' aja, ya?"
"Akan tetap aneh," kata Arga, kembali ke mode sutradara. "Panggilan 'Sayang' itu... standar. Itu yang diharapkan Ibu."
"Tapi Bunga nggak bisa!"
"Harus bisa," kata Arga. "Kita latihan."
"Latihan?! Sekarang?!"
"Iya." Arga menatapnya. "Coba... kamu minta tolong Mas ambilkan minum."
Bunga menatap Arga. Ini konyol. "Mas Arga, tolong..."
"Ehem," potong Arga.
Bunga menghela napas. "Mas..." ia memulai, pipinya terasa panas. "Tolong ambilin Bunga minum, dong."
"Oke," kata Arga. Ia bangkit, berjalan ke dapur, mengambil sebotol air, dan kembali ke sofa. Ia menyodorkannya pada Bunga.
"Makasih... Mas," kata Bunga.
Arga duduk di sebelahnya. "Makasih kembali... Sayang."
Kata itu diucapkan dengan nada yang sangat datar, sangat kaku, seolah Arga baru saja membacakan daftar belanjaan.
Bunga langsung menyemburkan tawa yang ia tahan. "Pfft... HAHAHAHA!"
"Kenapa ketawa?" tanya Arga, terlihat kesal.
"Mas Arga lucu banget!" kata Bunga di sela-sela tawanya. "Geli banget dengarnya! Kayak robot!"
Wajah Arga memerah. "Ya, kan, latihan! Mas juga nggak biasa!"
"Ini nggak akan berhasil, Mas!" kata Bunga sambil menyeka air mata tawanya. "Nanti Ibumu malah curiga kita aneh!"
Arga terdiam. Ia terlihat berpikir. "Oke. Kamu benar. Terlalu dipaksakan."
Bunga berhenti tertawa, lega.
"Kita ganti," kata Arga. "Mas akan tetap panggil kamu 'Bunga'. Tapi... dengan nada yang berbeda. Dan kamu panggil Mas 'Mas'."
"Oke. Itu Bunga bisa."
"Dan..." kata Arga. "Kalau Ibuku manggil kamu 'menantu Ibu', atau 'istrinya Arga', kamu nggak boleh kelihatan kaget. Kamu harus senyum dan terima itu. Paham?"
"Paham."
Latihan itu membuat suasana di antara mereka sedikit lebih ringan. Tapi malam itu, saat mereka kembali ke kamar tidur, ketegangan itu kembali seratus kali lipat.
Ini adalah malam terakhir mereka sebagai "diri sendiri". Besok malam, mereka akan mulai berakting 24 jam penuh.
Mereka berbaring di ranjang. Tidak ada lagi guling. Hanya ada jarak kosong di antara mereka.
Bunga berbaring membelakangi Arga, seperti semalam. Ia menunggu.
Ia merasakan kasur bergerak. Arga bergeser mendekat. Punggung Bunga kini bisa merasakan hawa hangat dari tubuh Arga, meski mereka tidak bersentuhan.
"Mas..." bisik Bunga.
"Hmm?"
"Besok... Bunga takut."
"Takut apa? Takut salah ngomong?"
"Takut... semuanya," aku Bunga jujur. "Takut ketahuan. Takut Bunga nggak bisa akting. Takut Ibu... Tante... Ibunya Mas Arga kecewa."
Hening sejenak.
Lalu Bunga merasakan sesuatu yang tak terduga. Sebuah tangan yang hangat dan berat mendarat di bahunya. Tangan Arga.
Laki-laki itu mengusap bahunya pelan. Satu kali. Dua kali. Gestur yang menenangkan.
"Nggak usah takut," bisik Arga, suaranya rendah di kegelapan, tepat di belakang telinga Bunga. "Ada Mas di sini."
Bunga memejamkan mata. Sentuhan itu terasa sangat nyata.
"Kamu nggak sendirian," lanjut Arga. "Kita tim. Ingat?"
Bunga mengangguk pelan.
"Kalau kamu gugup," kata Arga, "kamu pegang tangan Mas. Atau kamu lihat Mas. Mas akan kasih kode."
"Kode apa?"
"Kode... apa aja. Nanti Mas pikirin," katanya. "Yang penting, kamu tahu Mas ada di sana."
Tangan Arga masih di bahunya. Tidak pergi.
"Mas..."
"Ya?"
"Mas Arga juga takut?"
Lama sekali Arga tidak menjawab. Bunga mengira ia tidak akan menjawab.
"Lebih dari yang kamu bayangkan," akhirnya Arga berbisik. "Ibuku... beliau segalanya buat Mas. Mas nggak mau mengecewakan beliau."
Itu adalah pengakuan paling rapuh yang pernah Bunga dengar dari Arga. Laki-laki ini, yang begitu kuat dan logis, ternyata punya kelemahan. Ibunya.
Perasaan Bunga pada Arga berubah. Itu bukan lagi sekadar kagum. Bukan sekadar bergantung. Itu... sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membuatnya ingin melindungi Arga, sama seperti Arga melindunginya.
"Kita pasti bisa, Mas," kata Bunga, suaranya kini lebih mantap. "Bunga akan akting sebaik mungkin. Demi Mas. Dan demi Ibu."
Tangan Arga di bahunya sedikit meremas, seolah berterima kasih. "Makasih, Bunga."
Malam itu, Bunga akhirnya tidur. Ia tidur nyenyak, merasa aman di bawah sentuhan tangan Arga yang tidak kunjung beranjak dari bahunya.
Besoknya, hari-H.
Pukul tiga sore. Apartemen itu sudah kinclong. Katering sudah dipesan. Bunga mengenakan dress rumahan yang sopan, wajahnya dipoles riasan tipis. Ia gugup bukan main.
Arga sedang dalam perjalanan ke stasiun.
Pukul setengah empat, ponsel Bunga berdering. Dari Arga.
"Mas?"
"Bunga," suara Arga terdengar di seberang. "Kami sudah di perjalanan. Sepuluh menit lagi sampai."
"Oke, Mas!" jantung Bunga berdebar.
"Tarik napas," kata Arga. "Ingat. Kita tim. Kamu bisa."
"Iya, Mas."
"Mas tutup teleponnya. Sampai ketemu."
Sepuluh menit terasa seperti sepuluh tahun. Bunga merapikan bantal sofa tiga kali. Ia mengecek kamar tidur mereka sekali lagi. Semuanya sempurna. Novel romantisnya ada di nakas Arga. Sikat gigi mereka berdampingan.
Lalu, bel pintu berbunyi. Ding-dong.
Jantung Bunga serasa melompat ke tenggorokannya.
Mereka tiba.
Bunga berlari kecil ke pintu, merapikan rambutnya. Ia menarik napas dalam-dalam. Akting. Ini akting.
Ia membuka pintu.
Di depannya, berdiri Arga. Ia terlihat tampan dan lelah, sedang tersenyum. Di sampingnya, berdiri seorang wanita paruh baya yang sangat cantik dan anggun, mirip sekali dengan Arga. Ibu Arga. Dan di belakang mereka, Ayah Arga tersenyum ramah.
"Assalamu'alaikum, Nduk..." sapa Ibu Arga, senyumnya begitu hangat.
"Wa'alaikumsalam... Ibu... Ayah..." kata Bunga, suaranya sedikit gemetar. Ia menyalami kedua mertuanya.
"Aduh, menantu Ibu cantik sekali," puji Ibu Arga, langsung memeluk Bunga erat.
Saat Ibu Arga memeluknya, Bunga melihat Arga. Laki-laki itu sedang menatapnya. Ia tidak tersenyum. Ia hanya menatap Bunga dengan pandangan yang dalam, seolah berkata, 'Jangan gugup.'
Lalu, di depan kedua orang tuanya, Arga melangkah maju. Ia meletakkan kopernya, dan di depan pintu apartemen mereka, ia melakukan sesuatu yang tidak ada dalam latihan.
Ia mengulurkan tangannya... dan dengan lembut mengusap puncak kepala Bunga.
"Masuk, yuk," katanya. Lalu ia menoleh ke Bunga. "Maaf, ya, Sayang. Bikin kamu nunggu lama. Tadi macet banget."
Bunga membeku.
Kata itu. Kata yang mereka sepakati tidak akan dipakai.
Arga mengucapkannya. Dengan natural. Dengan lembut. Di depan ibunya.
Itu bukan akting. Itu terdengar... nyata.
Ibu Arga yang melihat adegan itu tersenyum begitu lebar. "Aduh, aduh. Masih mesra aja kalian. Ibu jadi iri."
Bunga hanya bisa tertawa kaku. Ia menatap Arga, yang kini sedang sibuk mengambil koper orang tuanya, seolah ia tidak baru saja meledakkan bom di telinga Bunga. Laki-laki itu... licik sekali.
Pertunjukan telah dimulai. Dan Arga baru saja menaikkan levelnya.