NovelToon NovelToon
WOTU

WOTU

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Kutukan / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:853
Nilai: 5
Nama Author: GLADIOL MARIS

Di kota kecil Eldridge, kabut tidak pernah hanya kabut. la menyimpan rahasia, bisikan, dan bayangan yang menolak mati.

Lisa Hartman, gadis muda dengan kemampuan aneh untuk memanggil dan mengendalikan bayangan, berusaha menjalani hidup normal bersama dua sahabat masa kecilnya-Ethan, pustakawan obsesif misteri, dan Sara, sahabat realistis yang selalu ingin mereka tetap waras.

Namun ketika sebuah simbol asing muncul di tangan Lisa dan bayangan mulai berbicara padanya, mereka bertiga terseret ke dalam jalinan rahasia tua Eldridge: legenda Penjaga Tabir, orang-orang yang menjadi pintu antara dunia nyata dan dunia di balik kabut

Setiap langkah membawa mereka lebih dalam pada misteri yang membingungkan, kesalahpahaman yang menimbulkan perpecahan, dan ancaman makhluk yang hanya hidup dalam bayangan. Dan ketika semua tanda mengarah pada Lisa, satu pertanyaan pun tak terhindarkan

Apakah ia pintu menuju kegelapan atau kunci untuk menutupnya selamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GLADIOL MARIS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MAWAR HITAM DI AMBANG PINTU

Sara terbangun karena rasa sesak di dada.

Bukan sesak biasa—seperti saat asma kambuh atau terlalu banyak minum kopi. Ini sesak yang datang dari dalam tulang, seolah paru-parunya dipenuhi pasir basah. Ia membuka mata, napasnya pendek, jantungnya berdegup kencang meski tubuhnya belum bergerak.

Mimpi itu lagi.

Mimpi tentang mawar hitam yang tumbuh dari dadanya, akarnya menembus tulang rusuk, daunnya berbisik.

“Kau tidak akan selamat jika tetap di sisinya.”

Ia menoleh ke samping. Ranjang kosong. Lisa sudah bangun—lagi. Sejak malam di perpustakaan, Lisa jarang tidur. Dan ketika tidur, ia tidak pernah bermimpi seperti manusia normal. Ia dipanggil.

Sara mengusap wajahnya, jari-jarinya gemetar. Ia ingin marah. Tapi yang muncul justru rasa bersalah. Karena di balik ketakutannya, ada keinginan kecil untuk kabur. Untuk kembali ke hidup sebelum semua ini: toko bunga, kencan gagal, dan keluhan tentang gaji yang kecil. Hidup yang membosankan… tapi aman.

Ia bangkit, kaki telanjangnya menyentuh lantai kayu yang dingin. Di luar jendela, kabut Eldridge tebal seperti kain kafan.

---

Ditempat lain Ethan tidak tidur sama sekali.

Ia duduk di meja kecil dekat jendela, buku catatannya terbuka di halaman kosong. Tapi ia tidak menulis apa-apa. Tangannya menggenggam pena erat-erat, ujungnya menekan kertas hingga hampir sobek. Matanya menatap ke luar — ke arah pintu depan rumah bu Redfield.

Sejak tadi malam, ia merasa ada yang mengawasi.

Bukan bayangan. Bukan suara. Tapi kehadiran yang tenang, sabar, dan… mengenalinya.

Ia mengeluarkan ponsel lama dari saku—ponsel yang tidak pernah ia gunakan untuk menelepon, hanya untuk menyimpan foto. Ia membuka galeri, menatap satu foto: mawar hitam yang tumbuh di sudut pemakaman Blackthorn. Foto itu diambil diam-diam tiga hari lalu, saat ia menyelidiki sendirian.

Ia menghapusnya.

Lalu menghapus riwayat pencarian: “mawar hitam ritual custodian”, “bunga tanpa duri legenda Eldridge”, “simbol undangan dari tabir”.

Ia menutup ponsel, menyimpannya kembali. Napasnya berat. Ia tahu sesuatu akan datang hari ini. Dan ia tidak siap menjelaskan pada Lisa… atau pada dirinya sendiri.

---

Lisa terbangun karena rasa dingin di lehernya.

Bukan dari udara. Bukan dari jimat batu hitam yang tergantung di sana. Tapi dari sesuatu yang menyentuhnya — halus, seperti jari bayangan yang menggesek kulitnya sebelum menghilang.

Ia membuka mata perlahan. Di sudut kamar, bayangannya tidak diam. Ia bergerak sendiri — melambai pelan, seolah mengajak.

Lisa tidak takut. Ia sudah terbiasa. Tapi hari ini berbeda. Ada sesuatu di udara. Sesuatu yang menunggu.

Ia bangkit, memakai jaket tipis, lalu berjalan ke pintu depan. Instingnya mengatakan: ada sesuatu di luar.

Ia membuka pintu kayu perlahan.

Dan di sana, tepat di ambang pintu, tergeletak satu bunga.

Mawar hitam.

Tidak berduri. Tidak berbau. Kelopaknya pekat seperti kain beludru yang direndam dalam tinta malam. Di salah satu kelopaknya, tertulis dengan huruf kuno:

“Kami menunggumu.”

Lisa menahan napas. Kata-kata itu bukan ancaman. Bukan perintah. Tapi undangan—dari sesuatu yang sudah lama mengenalnya.

Ia merasakan simbol di telapak tangannya berdenyut—bukan karena takut, tapi karena pengenalan.

Sara muncul di ambang pintu dapur, rambut acak-acakan, masih mengenakan jaket tidur yang lusuh. Matanya langsung menangkap mawar itu. Ia membeku.

“Jangan sentuh itu,” bisik Lisa pelan.

Tapi Sara tidak mendengar. Ia berlutut, menatap tulisan di kelopak itu seperti menatap kuburan seseorang yang ia cintai.

“Ini… ini sudah terlalu jauh,” katanya, suaranya pecah. Air matanya jatuh—bukan karena takut, tapi karena ia tahu.

Lisa menatap sahabatnya. “Kau pernah lihat ini sebelumnya, ya?”

Sara tidak menjawab. Tapi matanya berbicara: Ya. Di mimpi. Di masa kecil. Di hari terakhir kita merasa aman.

“Kau ingat waktu kita berusia sepuluh tahun?” tanya Sara tiba-tiba, suaranya serak. “Kau bikin bayangan di dinding kelas, semua anak takut… dan aku bilang: ‘Itu nggak normal, Lis.’”

Lisa mengangguk pelan. “Aku ingat.”

“Tapi kau tahu kenapa aku bilang itu?” Sara menatapnya, matanya penuh luka. “Bukan karena aku takut pada bayangan. Tapi karena aku takut… kau akan dijauhi. Aku takut kau akan sendirian. Jadi aku berjanji: ‘Aku nggak akan biarkan kau sendirian.’”

Lisa menelan ludah. “Dan sekarang?”

Sara menunduk, suaranya hampir tak terdengar. “Sekarang… aku takut aku yang akan sendirian. Karena kau… kau sudah berubah jadi sesuatu yang asing. Sesuatu yang aku tidak mengerti. Sesuatu yang… tidak butuh aku lagi.”

Lisa terhuyung. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada bayangan mana pun.

“Kau pikir aku tidak butuhmu?” tanya Lisa, suaranya gemetar. “Kau pikir aku tidak takut kehilanganmu? Tapi aku tidak bisa lari, Sar! Aku tidak bisa pura-pura ini tidak nyata!”

“Tapi kau menikmatinya!” Sara membentak, air matanya mengalir deras. “Aku lihat matamu saat kau menggunakan kekuatan itu. Kau tidak lagi takut. Kau… kau bangga!”

Lisa membeku. Di balik amarah Sara, ia mendengar kebenaran yang menyakitkan: ia memang mulai menerima dirinya. Dan itu membuat Sara merasa ditinggalkan.

Sebelum Lisa sempat menjawab, Ethan muncul di ambang pintu. Matanya langsung tertuju pada mawar itu. Ia tidak bicara. Tidak menganalisis. Ia hanya menatap terlalu lama—lalu menunduk cepat, seolah menahan sesuatu.

“Kita harus bawa ini ke bu Redfield,” katanya pelan, suaranya datar.

Sara menoleh, matanya menyipit. “Kau tahu sesuatu, ya? Kau tahu tentang mawar ini.”

Ethan menggeleng. “Aku hanya tahu ini bukan kebetulan.”

Tapi Lisa melihatnya—Ethan berbohong. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa curiga.

Bu Redfield muncul beberapa menit kemudian, tongkat kayunya mengetuk lantai dengan ritme yang tenang. Ia menatap mawar itu tanpa berkedip.

“Ah,” katanya, suaranya serak tapi tenang. “Mereka mulai berbicara dengan bahasa bunga.”

Sara menoleh cepat. “Kau tahu tentang ini?”

Bu Redfield mengangguk pelan. “Dulu, custodian pertama menerima mawar hitam sebelum Ritual Penutupan pertama dilakukan. Bukan sebagai ancaman. Tapi sebagai… undangan terakhir.”

Lisa menatap mawar itu lagi. “Kenapa sekarang?”

“Karena kau sudah menerima takdirmu,” jawab bu Redfield. “Malam lalu, saat kau berkata ‘aku tidak bisa lari’, mereka mendengar. Dan mereka tahu: kau siap.”

Sara menggigit bibirnya. “Jadi ini… ujian?”

“Bukan ujian,” jawab bu Redfield. “Ini peringatan. Mereka tahu kau akan datang. Tapi mereka juga tahu… kau belum siap sepenuhnya.”

Lisa menatap Ethan. Ia melihatnya—Ethan menatap mawar itu dengan ekspresi yang bukan takut, bukan kagum, tapi… rindu.

Seolah ia pernah melihatnya sebelumnya.

Seolah ia menunggunya.

Lisa tidak berkata apa-apa. Tapi di dalam hatinya, benih kecurigaan mulai tumbuh.

Malam itu, di kamar, Sara mengemas tas.

Lisa duduk di tepi ranjang, menatapnya tanpa berkata apa-apa.

“Ini bukan kabur,” kata Sara pelan, suaranya patah. “Aku hanya… butuh waktu. Aku takut kehilanganmu… tapi aku juga takut jadi bagian dari ini.”

Lisa mengangguk. Ia tidak marah. Ia mengerti.

Tapi di luar jendela, kabut Eldridge bergerak perlahan—seolah menunggu.

Dan di ambang pintu, mawar hitam masih tergeletak.

Masih menunggu.

1
~abril(。・ω・。)ノ♡
Saya merasa seperti berada di dalam cerita itu sendiri. 🤯
GLADIOL MARIS: Semoga betah nemenin Lisa di Wotu dalam perjalannya 🤗
total 2 replies
Không có tên
Kocak abis
GLADIOL MARIS: Waduh, susah nih bikin kakak takut pas baca kayaknya⚠️
total 1 replies
GLADIOL MARIS
Halo teman-teman yang sudah menyempatkan mampir. Aku harap WOTU bisa nemenin kalian nantinya😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!