WOTU
Kabut selalu jadi bagian dari Eldridge. Sejak kecil Lisa Hartman terbiasa bermain petak umpet dengan Ethan dan Sara di jalan berbatu yang setengah tertutup kabut sore. Mereka sering bercanda, pura-pura dikejar “hantu kabut”, lalu lari sambil tertawa.
Sekarang, di usia dua puluh dua, Lisa tidak lagi tertawa setiap kali kabut turun. Kabut Eldridge sudah terlalu sering menyimpan rahasia.
Ia duduk di tepi ranjang kamarnya, memandangi jalan sepi dari jendela. Radio kecil di mejanya hanya memutar statis. Lampu kuning redup menyorot buku catatan penuh coretan simbol. Tangannya gelisah menggambar pola lingkaran dengan garis patah berulang-ulang.
Pintu kamar diketuk pelan. Suara Sara terdengar, agak kesal.
“Lis, kau belum tidur juga? Besok aku harus kerja pagi, tahu.”
Lisa mendesah, tapi tidak menjawab. Sara sudah terbiasa tidur di sofa ruang bawah saat bosan dengan apartemennya sendiri. Mereka memang tumbuh bersama—tetangga, teman sekolah, teman semua hal.
“Lis?” suara Sara lagi.
“Aku… sebentar lagi,” jawab Lisa akhirnya.
Sara menggerutu. “Kau pasti lagi menggambar simbol aneh itu, kan? Hati-hati, nanti otakmu benar-benar kebakar.”
Lisa tersenyum samar, menutup buku catatan. “Kalau memang terbakar, setidaknya aku tahu penyebabnya.”
Sara tidak menanggapi, mungkin sudah kembali ke sofa.
Lisa berdiri, berjalan ke jendela. Kabut menempel di kaca, membentuk bayangan samar. Ia mengangkat tangan, menempelkan jari ke kaca. Bayangan itu bergerak mengikuti, seperti refleksi… tapi berbeda.
Lisa menelan ludah, lalu menarik tangannya. Bayangan itu terlambat sepersekian detik, seolah enggan melepaskannya.
“Kenapa aku bisa melakukan ini…” bisiknya.
Dulu, saat mereka masih anak-anak, Lisa pernah membuat bayangan aneh di dinding ruang kelas. Semua anak ketakutan, tapi Ethan yang kecil justru mendekat, menatapnya dengan kagum. “Kau bisa menggerakkan bayangan. Itu keren!” katanya waktu itu. Hanya Sara yang melotot dan bilang, “Itu nggak normal, Lis.”
Sekarang, sepuluh tahun berlalu, semua masih sama. Ethan masih percaya, Sara masih menolak, dan Lisa masih tidak mengerti apa arti semua itu.
Ponsel flip di atas meja bergetar pendek. Pesan masuk dari Ethan:
From ETHAN: Kau merasakannya juga?
Lisa mengetik balasan cepat.
From LISA: Merasa apa?
Balasan datang segera.
Form ETHAN: Buku itu. Aku salah mengeluarkannya tadi siang. Rasanya… belum selesai.
Lisa menutup ponsel dengan jantung berdebar. Sejak siang tadi, ia memang merasa ada yang aneh. Saat Ethan secara tak sengaja menunjukkan buku tua bersampul kulit cokelat itu, hawa dingin langsung menempel di kulitnya. Dan simbol di sampul buku itu—mirip dengan yang selalu ia gambar di catatannya.
Ia meraih jaket jeans dari gantungan. Saat hendak pergi, Sara muncul di ambang pintu, menyilangkan tangan.
“Kau mau ke mana jam segini?” tanyanya curiga.
“Ke perpustakaan.”
“Dengan kabut setebal ini? Kau gila.”
Lisa ragu sebentar. “Aku cuma… aku merasa harus ke sana.”
Sara mendengus, lalu mendekat. “Ini pasti ada hubungannya dengan Ethan, ya?”
Lisa tidak menjawab.
Sara menghela napas panjang. “Kalian berdua, sejak kecil selalu punya ide-ide gila. Dan aku, entah kenapa, selalu terseret.”
Lisa menatapnya. “Jadi kau ikut?”
Sara terdiam sebentar, lalu meraih jaketnya sendiri dari kursi. “Ya, ikut. Biar ada satu orang waras yang memastikan kalian tidak benar-benar hilang ditelan kabut.”
Lisa tersenyum samar, lega. “Terima kasih.”
................
Mereka turun tangga bersama. Lonceng kecil di atas pintu toko roti berdenting nyaring saat Lisa membukanya. Udara malam langsung menyergap, dingin menusuk.
Kabut di luar begitu tebal, seolah menelan jalanan. Mereka berjalan berdampingan, langkah pelan, suara sepatu bergaung di antara bangunan tua.
“Lis,” kata Sara, menoleh dengan wajah serius. “Aku harus tahu. Apa yang sebenarnya kau rasakan akhir-akhir ini?”
Lisa menunduk. “Aku… aku bisa melihat bayangan yang orang lain tidak lihat. Kadang aku bisa menyentuhnya, bahkan menariknya keluar.”
Sara berhenti melangkah. “Kau… apa? Kau masih memilikinya?”
“Aku tidak tahu caranya menjelaskan. Tapi setiap kali aku melakukannya, rasanya seperti… aku menyentuh sesuatu yang seharusnya tidak ada di dunia ini.”
Sara memandangi Lisa lama, lalu menggeleng. “Aku nggak suka ini. Sama sekali.”
Lisa hanya diam, matanya menatap kabut. “Aku juga nggak suka. Tapi kalau ini terus datang padaku, aku nggak bisa pura-pura tidak ada.”
Sara tidak membalas lagi. Mereka melanjutkan langkah, hanya suara kabut yang berdesis pelan di telinga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
GLADIOL MARIS
Halo teman-teman yang sudah menyempatkan mampir. Aku harap WOTU bisa nemenin kalian nantinya😍
2025-09-23
0