NovelToon NovelToon
MONOLOG

MONOLOG

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda
Popularitas:493
Nilai: 5
Nama Author: Ann Rhea

Kenziro & Lyodra pikir menikah itu gampang. Ternyata, setelah cincin terpasang, drama ekonomi, selisih paham, dan kebiasaan aneh satu sama lain jadi bumbu sehari-hari.

Tapi hidup mereka tak cuma soal rebut dompet dan tisu. Ada sahabat misterius yang suka bikin kacau, rahasia masa lalu yang tiba-tiba muncul, dan sedikit gangguan horor yang bikin rumah tangga mereka makin absurd.

Di tengah tawa, tangis, dan ketegangan yang hampir menyeramkan, mereka harus belajar satu hal kalau cinta itu kadang harus diuji, dirombak, dan… dijalani lagi. Tapi dengan kompak mereka bisa melewatinya. Namun, apakah cinta aja cukup buat bertahan? Sementara, perasaan itu mulai terkikis oleh waktu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann Rhea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kesempatan Kedua

Motor yang dikendarai Rania melaju kencang di jalanan sepi, sisi-sisinya dipenuhi tebu yang bergoyang diterpa angin malam. Rania berteriak sekencang-kencangnya, tertawa histeris, mengoceh seenaknya.

"WOOHOO! HIDUP BEBAS, BEBAS SEBEBAS-BEBASNYA!"

Sementara di belakang, Romeo seperti menyesali seluruh keputusan hidupnya. Tangannya mencengkram bahu Rania erat-erat. "RA! AWAS! ADA LUBANG DI DEPAN!" teriaknya panik, menepuk-nepuk bahunya seperti memukul alarm darurat.

Rania kaget, menoleh refleks. "Hah? Mana? Mana?"

"TUH DI DEPAN! LIAT DEPAN, BUKAN LIAT GUE!" Romeo panik, sampai kepalanya ikut menunduk, mencoba mengarahkan tubuh Rania ke jalur aman.

Begitu melihat lubang itu, Rania melotot. "ASTAGA GEDE BANGET!" Ia langsung banting setir ke kanan, motor oleng, dan keduanya hampir terguling sebelum kembali stabil.

Romeo mendekap pinggang Rania kencang-kencang. "GUE GAK MAU MATI MALAM INI, RAN!"

Rania malah tertawa ngakak. "HAHA! SERU KAN? ADRENALIN BOY!"

"SERU APANYA?! JANTUNG GUE NYARIS COPOT!"

Rania menyeringai. "Santai aja, gue pro, Bro!"

Romeo menatap langit dengan pasrah. Dalam hati, ia antara mau marah dan… entah kenapa, ikut ketawa kecil. Mungkin, sudah lama ia tidak merasakan hidup sesederhana ini, takut, tapi ada yang peduli.

Romeo menghela napas panjang, mencoba tetap waras. "Rania, lo tuh gimana sih? Kalo jatoh gimana coba?"

"Ya cium aspal paling," jawabnya santai, seolah itu hal biasa.

Romeo mendesah. "Ini orang..."

Tapi bukannya fokus, Rania malah sibuk nengok kiri-kanan kayak lagi jalan-jalan sore. Romeo akhirnya geram, refleks meraih tangannya. "FOKUS, RAN!"

Dan justru… itu jadi awal malapetaka.

"Aduh kepencet salah kopling!" teriak Rania panik. Motor langsung ngelintir masuk ke kebun tebu. BRUK! Mereka nyungsep.

Motor tergeletak tak berdaya seperti ikan terdampar. Romeo meringis sambil memegangi sikunya. "Astaga... tulang gue masih lengkap gak, ya?" gumamnya lirih.

Dia menoleh mencari Rania. "RAN?!"

Gak ada. Hening. Sampai tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara.

"ROMEOOO! TOLOOONG! GUE NYALIP DI DAPURAN TEBU!" jerit Rania.

Romeo mendengus pasrah, meraih ponselnya dan menyalakan senter. Dengan langkah pincang, ia menyibak batang tebu. "Nih orang bisa-bisanya nyemplung ke dalam..."

Begitu ketemu, Rania terlihat dengan tangan kejepit di sela batang tebu, wajahnya konyol tapi ketakutan. "TANGAN GUE KEJEPIT! SAKIT ROMEO!"

Romeo langsung nyengir miris. "Habis lo bilang paling cium aspal."

"Bercandanya nanti ajaaa, tolongin dulu!"

Romeo akhirnya menggeser batang-batang tebu, menarik Rania keluar. Begitu bebas, mereka berdua terduduk di tanah, napas ngos-ngosan.

Rania melirik Romeo, lalu... ketawa. "HAHAHAHA! GILA SERU BANGET! Ulang lagi yuk?"

Romeo hanya menatap kosong. "Gue nyesel kenal lo." Tapi sudut bibirnya naik tipis. Entah kenapa, chaos ini… rasanya bikin dia hidup lagi.

"Kenapa bisa sih lo nyasar sampe situ?" Romeo menatapnya setengah heran, setengah kesal.

Rania mengelus tangannya yang lecet. "Ya mana gue tau, tau-tau aja udah nyemplung. Alam semesta yang bawa, Rom."

Romeo mendesah berat. "Mana yang sakit?" tanyanya, nada suaranya mereda.

Rania menunjukkan tangannya. "Nih. Sakit banget tau."

Romeo mendengus, lalu menggandengnya menjauh dari kebun. "Udah, ayo pulang. Lo tuh gak usah sok-sokan mau bawa motor. Gak becus. Mending duduk manis di rumah daripada nyari mati."

Rania manyun, suaranya lirih. "Bukannya apa, malah gue dimarahin..."

Romeo merapikan motornya, lalu melirik sinis. "Cepet naik, sebelum ada yang ngira kita abis ngapain di semak-semak!"

Rania jalan pelan sambil cemberut. Sampai akhirnya Romeo hilang sabar, langsung mengangkatnya bridal style. "Ya Allah, lama amat. Naik!"

Begitu di jok belakang, Rania memeluk pinggang Romeo erat-erat. "Sakit, tau!" protesnya sambil nahan pegal.

Mereka berhenti di depan rumah sakit. Rania langsung melotot. "Apa-apaan? Gue mending jalan kaki pulang daripada ketemu jarum suntik!" Bibirnya monyong parah.

Romeo menatapnya datar. "Gak bakal disuntik. Cuma dikasih obat biar gak infeksi."

"Enggaaaaaaa!"

Romeo mengusap wajahnya, pasrah. "Udah, diem lo." Ia melepas helm, lalu… menggendong Rania masuk. "Sus, tolong. Diperiksa, takutnya ada yang keseleo. Obatin aja, kasih apa kek."

Perawat nyengir melihat keduanya. "Siap, Mas."

Rania mendesis pelan. "Dasar penculik..." tapi diam-diam, genggamannya di baju Romeo gak mau lepas.

Rania meraung-raung di atas brankar, pegang pegangan besi sampai hampir copot, berusaha bangkit kabur. "Gue gak mauuu!" teriaknya, tapi suster dan Romeo keburu dorong masuk ruang periksa.

Begitu duduk di kasur periksa, Rania pucat. Tangannya gemetar. "Gue sumpah kalo ada jarum suntik, gue lempar nih kursi!" ancamnya, tapi cuma berbisik sendiri.

Beberapa menit kemudian, Romeo masuk sambil bawa plester di sikut. "Tuh kan, gak disuntik. Makanya gak usah lebay."

"Siapa yang lebay? Gue trauma woiii!" bantah Rania, suara cemprengnya memecah ruangan.

Suster tersenyum ramah. "Lukanya sudah kami obati. Mas dan Mbak bisa pulang, ya."

"Tuh, udah beres," kata Romeo santai.

Rania langsung lompat turun, keluar duluan dengan wajah cemberut. Sampai di jalan, dia diam total. Di motor pun gak ngomong sepatah kata.

Romeo sempat melirik. "Laper? Haus?"

Hening.

Dia berhenti di tukang jajanan, beli es krim, permen kapas, gulali. Rania tetap diem. Sampai rumah pun duduk kaku kayak patung di sofa.

Romeo nyengir, mendekat. 'Kenapa sih?"

Rania cuma lirikin sekilas, lalu balik lagi manyun.

"Marah?"

Ia malah geser menjauh.

"Oke…." Romeo mengangkat alis, buka kotak es krim. "Tuh es krimnya udah mau cair, gue makan aja deh," katanya pura-pura cuek sambil jalan ke halaman belakang.

Rania mendelik, bibirnya maju. "Ihhhhh!"

Romeo sengaja melirik balik sambil nyuap es krim. "Giliran gue yang makan, marah. Lah, maunya apa sih?"

Dia duduk di kursi rotan, es krim di tangan, pandangan menerawang. Dalam hati, mendesah panjang. "Kev, lo liat nih. Gue udah nurutin maunya lo. Ternyata cewek lo bukan ‘rada’, emang gila. Lo mati di tangan dia. Apa gue juga bakalan nyusul, hah?"

"Dan gue gak lupa pengkhianatan lo, Kev. Lo janji mau kerja sama bangun resort, eh malah tikung gue. Gara-gara lo gue rugi besar."

Romeo melirik sekilas ke arah Rania yang diam-diam intip dari balik pintu dengan mata berbinar karena… es krim. Romeo mendengus geli. "Tapi, ya… gila-gila gini, kok gue gak tega ninggalin, ya?"

Romeo mendengar suara cewek mendengkus pelan. Ia menoleh ke jendela samping, sendok es krim masih nyangkut di bibirnya.

"Kenapa?" tanyanya.

Bibir Rania mengerucut, matanya berkaca-kaca, lalu ia mengetuk kaca pelan-pelan… dan meraung dramatis.

Telunjuknya menunjuk kotak es krim di tangan Romeo.

"Oh… mau ini? Dikulkas abis, apa?"

Rania mengangguk, super dramatis, seolah tragedi dunia. "Iya." Suaranya serak, lebay.

"Oh yaudah nih… nih… gausah mewek jelek," ledek Romeo sambil menyerahkan kotak itu. "Mau sekalian sendoknya? Tapi baunya jigong dikit, gapapa lah."

Rania mendelik, makin manyun. Ia merebut kotaknya, masuk ke dapur, ngambil sendok bersih, dan duduk anteng. Tapi di balik sikapnya yang childish, ada rasa hangat. Mungkin… kesempatan kedua masih ada. Terlepas dari semua salah gue, dia masih anggap gue ada.

Romeo juga meliriknya diam-diam. Gila bener, tapi… entah kenapa, dia bikin gue pengen bertahan. Mungkin ini kesempatan gue juga.

"Gue malem ini nginep di sini," kata Romeo tiba-tiba.

Rania kaget sampai sendoknya jatuh. "Hah? What??"

"Gak boleh?"

"Boleh! Boleh banget!" Rania mengangguk cepat, langsung loncat memeluknya. "Akhirnya gue punya temen, gak kayak zombie sendirian!"

"Ntar gue dibunuh lagi," gumam Romeo pura-pura takut.

Rania menggeleng cepat-cepat. "Engga! Lo udah kasih gue kesempatan kedua jadi pengangguran tajir, sumpah gue gak bakal bunuh lo, gak bakal jahat lagi. Iya kan? Deal?"

Romeo nyengir tipis. "Deal."

Rania mendadak penasaran. "Eh… ibu lo orangnya gimana sih? Serius gue penasaran. Selama ini gak pernah tau, gak pernah ketemu. Dia bakal benci gue gak kalo tau kita udah nikah siri? Malu gak sih punya menantu kriminal, kere, terus… ya gini?"

Romeo terdiam, lalu menangkup wajah Rania, menatapnya dalam. "Gak seburuk yang lo pikirin… tapi juga gak sebaik yang lo harapkan."

Rania tertegun, untuk pertama kalinya malam itu dia gak bisa ngebales pake candaan.

1
douwataxx
Seru banget nih cerita, aku gk bisa berhenti baca! 💥
Ann Rhea: makasihh, stay terus yaa
total 1 replies
menhera Chan
ceritanya keren banget, thor! Aku jadi ketagihan!
Ann Rhea: wahh selamat menemani waktu luangmu
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!