Maura seorang asisten pribadi, mendapati dirinya terperangkap dalam hubungan rumit dengan atasannya, Marvel-seorang CEO muda yang ambisius dan obsesif. Ketika Marvel menunjukkan obsesi terhadap dirinya, Maura terperangkap dalam hubungan terlarang yang membuatnya dihadapkan pada dilema besar.
Masalah semakin pelik ketika Marvel, yang berencana bertunangan dengan kekasihnya, tetap enggan melepaskan Maura dari hidupnya. Di tengah tekanan ini, Maura harus berjuang mempertahankan batas antara pekerjaan dan perasaan, sekaligus meyakinkan keluarganya bahwa hubungannya dengan Marvel hanyalah sebatas atasan dan bawahan.
Namun, seberapa lama Maura mampu bertahan di tengah hasrat, penyesalan, dan rahasia yang membayangi hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oveleaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Maura terdiam kaku di dalam mobil. Ia kira dirinya akan duduk di samping kemudi, ternyata tidak. Rio tidak datang sendiri, ia bersama Sam, dan pria itu yang mengemudi. Mengingat ucapan Rio tadi membuat Maura malu dan berakhir memejamkan mata, pura-pura tidur. Sedangkan kepalanya tidak bisa berhenti memikirkan Sam yang kemungkinan melihat apa yang dilakukan Marvel padanya. Maura menggeram tertahan, ia jadi kesal sendiri.
Tingkahnya itu tidak luput dari penglihatan Rio yang diam-diam memperhatikannya melalui kaca spion di atasnya.
Lelah bergulat dengan dirinya sendiri, akhirnya Maura benar-benar tertidur. Rio mengembuskan napas panjang melihat Maura sudah tidak bergerak. "Good job, Sam! Tugas kita selesai," ucapnya sambil menepuk pelan pundak Sam.
"Belum selesai. Mungkin setelah ini tugas kita akan bertambah berat," balas Sam, teringat apartemen baru itu cukup dekat dengan rumah Jesica, mungkin hanya lima menit dengan berjalan kaki. Ditambah lagi, status Jesica yang menjadi tunangan Marvel. Sudah tergambar jelas di kepalanya, semua akan menjadi serba merepotkan.
Rio terkekeh walau tidak begitu mengerti maksud Sam. "Tenanglah, kita hadapi semua itu bersama-sama."
Setelah hampir satu jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Sam segera memarkirkan mobilnya di basement. Setelah melepaskan seatbelt ia menatap Rio, pria itu juga sedang menatapnya. "Aku tidak mau membangunkannya," ucapnya cepat.
Rio mendesah pasrah, dan akhirnya menoleh ke belakang. Suara dengkuran cukup keras dari wanita di belakang menusuk telinganya. Sebelumnya ia tidak pernah melihat wanita itu tidur, dan setelah melihatnya, ia seperti tidak percaya dengkuran seorang Maura Adriana tidak secantik wajahnya.
"Aku tidak tahu kenapa Pak Marvel bisa tahan dengannya," gumam Sam yang juga cukup terganggu dengan suara dengkuran itu.
"Karena dia penurut dan mudah diatur."
Sam terkekeh sumbang. Rio tidak tahu apa yang dilakukan Maura saat di rumah Marvel cukup membuatnya menderita. "Dia bukan tipe wanita penurut, tapi licik. Mungkin dia reinkarnasi wanita pembangkang di masa lalu."
Rio tergelak cukup keras. "Aku tidak tahu apa yang kau lewati beberapa hari ini, pasti itu sangat berat. Kamu bisa bernapas lagi sekarang, semuanya sudah berakhir," ucapnya di sela tawa dan hanya dibalas dengusan oleh Sam.
Tidak ingin membuang waktu lebih banyak, Rio meraih menggaruk punggung yang ada di dashboard dan mengarahkannya ke paha Maura. Mengetuk-ngetukkannya beberapa kali. "Bangun, kita sudah sampai!" ucapnya dengan suara keras.
Maura hanya melenguh dan membalikkan badan ke samping, masih dalam posisi duduk.
Rio mengetuk-ngetukkan penggaruk punggung itu lagi. "Maura, bangun!" sentaknya.
Maura langsung menghirup napas dalam dan membuka mata, ia tampak linglung karena terkejut.
"Cepat turun, kita sudah sampai."
Sam keluar terlebih dahulu, lalu diikuti Rio setelah memastikan Maura benar-benar sadar. Tidak lama kemudian wanita itu ikut keluar.
Maura tampak kebingungan melihat sekelilingnya, basement itu lebih besar dari basement apartemen sebelumnya. "Ini di daerah mana?" tanyanya. Namun, tidak ada yang menjawab. Dua pria itu fokus menggiringnya menuju lift.
Maura mendengus. "Aku harus tahu tempat ini ada di mana agar tidak kebingungan kalau ingin pergi-pergi!" sungutnya.
Di dalam hati Sam tertawa jahat, "Memangnya siapa yang akan membiarkanmu pergi lagi!"
"Nanti juga tahu sendiri," jawab Rio.
Maura hanya pasrah saat Sam menekan angka tiga puluh lima, yang berarti, unitnya ada di lantai 35. "Apa Pak Marvel sudah ada di dalam?" Ia kembali bertanya.
Namun, lagi-lagi tidak ada yang menjawab karena sejujurnya Sam dan Rio juga tidak tahu, tetapi kalau dipikir-pikir seharusnya Marvel masih berada di acara pertunangan mengingat acara itu ditutup dengan party hingga pagi.
Lift yang membawa mereka ke lantai tiga puluh lima berhenti dan pintunya terbuka. Sam langsung keluar diikuti Maura dan Rio di belakangnya. Mereka berhenti di salah satu pintu yang letaknya berada di tengah-tengah unit lain. Rio maju untuk membuka pintu itu menggunakan kartu yang ia miliki, lalu mempersilakan Maura untuk masuk, sedangkan dirinya dan Sam akan berjaga di luar.
Tidak bisa berbohong, Maura cukup takjub dengan interior apartemen itu, sangat mewah dan berkelas. Terlebih, lampu gantung yang menghiasi ruang tamu, menambah kesan mewah nan elegan.
"Lelah bermain-main, hem?"
Suara berat dan datar masuk ke pendengarannya. Karena terlalu asik mengagumi kemewahan ruangan itu ia sampai tidak melihat ada orang duduk di sofa ruang tamu.
Maura melihat pria itu sebentar dan membuang wajah ke sembarang arah. "Kenapa ada di sini, bukannya seharusnya ikut berpesta ... merayakan pertunangan?" tanyanya acuh tak acuh.
"Karena saya merindukan asisten pribadiku. Kemarilah." Marvel menggerakkan jarinya, memberi isyarat agar wanita itu mendekat.
Namun, Maura mengabaikannya. Ia malah berkeliling memperhatikan satu persatu benda-benda yang ada di sana. "Bukankah berlebihan membeli apartemen semewah ini kalau fungsinya hanya untuk tidur selama beberapa jam, lalu menghabiskan seluruh waktunya di luar?" tanyanya sambil memperhatikan guci berukuran besar yang ada di sudut ruangan. Ia yakin harga guci itu sangat mahal.
"Kita bisa tidur di tempat ini sepanjang waktu kalau begitu." Marvel berjalan mendekat dan memeluk Maura dari belang, menghirup kuat-kuat aroma wanita itu.
"Aku belum mandi selama tiga hari. Jadi, sebaiknya jangan menempel padaku kalau tidak ingin seluruh isi perutmu keluar." Maura menggoyangkan bahunya dengan perlahan, berharap pria itu melepaskannya. Tubuhnya sangat lengket karena belum mandi dan semakin terasa tidak nyaman karena pelukan itu.
Menyetujui ucapan wanitanya, Marvel melepaskan diri dan berjalan ke arah pintu paling besar. "Kamu benar. Sebaiknya segera mandi dan mengganti pakaian." Ia membuka pintu itu dan mempersilakan Maura untuk masuk.
Sama seperti yang ia rasakan saat masuk ke apartemen, Maura tidak bisa menutup mulut karena kagum. Kamar itu sangat luas dan memiliki kaca jendela yang sangat besar. Selama enam tahun bersama Marvel, ia tidak pernah melihat apartemen semewah ini, kecuali saat bermalam di hotel mewah ketika dalam perjalanan bisnis.
"Kamar mandinya ada di sana. Saya akan menyiapkan bajumu," kata Marvel, menunjuk sebuah pintu yang ada di kamar itu.
Tidak ingin dianggap norak, Maura segera masuk ke dalam kamar mandi. Di dalam, ia duduk di balik pintu sambil mengumpat dan memukul-mukul kepalanya sendiri.
"Dasar bodoh kamu Maura! Tidak seharusnya kemewahan ini membuatmu luluh, bodoh!" makinya pada dirinya sendiri.
Dulu ia menerima segala perlakuan Marvel dengan lapang dada juga karena semua yang pria itu berikan. Kesempurnaan, kemewahan, uang, perhatian dan kebahagiaan semu. Kadang ia bertanya-tanya, kenapa harus dirinya? kenapa harus memilih dirinya di antara ribuan wanita?
Ia tidak tahu apa yang ada di kepala Marvel saat melakukan semua itu pada orang asing sepertinya.
"Apa karena aku miskin dan terlilit banyak hutang, makanya dia kasihan padaku?" gumamnya bertanya-tanya.