NovelToon NovelToon
Jodohku Ternyata Kamu

Jodohku Ternyata Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Office Romance
Popularitas:581
Nilai: 5
Nama Author: Yoon Aera

Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kemungkinan Pemulihannya Akan Lama

Rizal keluar dari ruang perawatan Yuna. Begitu dia keluar sosok Eyang Jihan muncul dengan balutan kebaya biru tua dan selendang batik lawasan di pundaknya. Meski usia hampir 65 tahun, tubuhnya masih tegap, wajahnya anggun, dan sorot matanya tajam menusuk.

Di sampingnya, berjalan seorang pria muda berwibawa, Raden, anak bungsunya, hampir sebaya dengan Rizal, dengan aura tenang namun berbahaya.

Indra yang sedari tadi mondar-mandir langsung terdiam. Nafasnya tercekat begitu melihat mertua almarhumahnya datang.

“Ibu… kenapa sampai datang jauh-jauh? Sebenarnya...”

“Kalau menyangkut cucuku, tidak ada yang namanya jauh, Indra.” Suara Eyang terdengar lembut, namun menyimpan tajamnya pisau.

“Lagipula, kalau bukan aku yang menjenguk… siapa lagi yang bisa menjaga darah daging putriku?”

Indra menunduk. Hatinya tertusuk.

Sania yang sedari tadi diam, buru-buru mencoba menyela.

“Mas, ini siapa?” Sania bertanya pada suaminya.

Tatapan Jihan beralih ke arahnya, dingin.

“Oh, jadi ini perempuan yang kau bawa masuk ke rumah tidak lama setelah Pitaloka dikubur? Hmmm...” Ia tersenyum tipis, sinis.

“Cepat juga, Indra, kau belajar melupakan.”

Suasana lorong makin kaku. Kevin sampai menelan ludah, sementara Rizal berdiri kaku di sudut, menyaksikan semuanya.

“Bu, saya hanya ingin Yuna tumbuh dengan sosok ibu..." Indra mengepalkan tangannya.

“Dengan menikahi perempuan lain?” Jihan menyela, nada suaranya tenang tapi menusuk.

“Lucu sekali alasanmu. Kalau niatmu benar, harusnya Yuna, dia tidak sampai begini.”

Raden maju satu langkah, pandangan tajamnya mengarah pada Indra.

“Bu, jangan habiskan energi untuk orang yang bahkan tidak bisa menjaga anaknya sendiri. Lebih baik kita fokus pada Yuna.”

Eyang menatap pintu ICU dengan wajah bergetar.

“Benar, Raden. Kita fokus pada Yuna. Tapi ingat satu hal, Indra... seberapa pun kau berusaha, Yuna akan selalu jadi bagian dari keluarga Wangsakara. Dia cucuku, darah dagingku. Bukan milikmu seorang.”

Indra tak sanggup membalas. Kalimat itu seperti tamparan telak.

Rizal, yang sejak tadi diam, mendekat perlahan. Ia menunduk hormat pada Eyang.

“Eyang... saya Rizal, tunangan Yuna.” Rizal mengulurkan tangan untuk menyalimi Jihan.

Jihan menatapnya lama. Meski tidak hadir di pertunangan cucunya, dia sudah tahu menahu tentang calon cucu menantunya.

Senyumnya samar, berbeda dengan tatapan dingin yang ia berikan pada Indra.

“Hmmm... Setidaknya ada seseorang yang mau berdiri di sisinya. Jangan buat Yuna menanggung luka yang sama dua kali.”

*****

Lampu ICU redup, suara mesin monitor berdetak monoton, seolah ikut menguji kesabaran setiap orang yang menunggu. Eyang Jihan duduk di kursi kecil di samping ranjang, tak bergeming sedari tadi. Jemarinya yang renta menggenggam tangan cucunya erat-erat, seakan dengan begitu Yuna tidak akan pergi lagi.

Lalu, tiba-tiba jari Yuna bergerak. Kelopak matanya pelan-pelan terbuka.

“Yuna…” Suara Jihan tercekat.

“Nak, kamu udah sadar sayang? Ya Allah, syukurlah…”

Namun, tatapan Yuna kosong. Matanya terbuka, tapi tidak memandang. Ia mencoba bicara, suara lirih keluar.

“Eyang… ini… kenapa gelap?”

Deg.

Hati Jihan langsung terasa diremas. Ia buru-buru menekan tombol panggil. Dokter dan perawat datang, melakukan pemeriksaan intens. Beberapa menit kemudian, dokter menarik napas berat dan berbicara pelan kepada Jihan.

“Untuk sementara… pasien mengalami kehilangan penglihatan. Ada trauma pada saraf optik. Selain itu… benturan juga membuatnya mengalami kelumpuhan di tubuh bagian bawah. Kami akan observasi lebih lanjut, tapi… kemungkinan pemulihannya akan lama.”

Kata-kata itu bagai petir menyambar. Jihan menutup mulutnya, bahunya bergetar menahan tangis.

Sementara itu, Yuna mendengarnya jelas. Ia hanya diam. Tak ada jeritan, tak ada protes. Hanya bulir air mata yang jatuh satu-satu dari sudut matanya. Bibirnya tetap rapat, seolah mencoba menahan suara hatinya sendiri.

Justru Jihan yang pecah, menangis sambil memeluk tangan cucunya.

“Kenapa harus kamu, Nak… kenapa bukan Eyang saja?”

Yuna menggeleng pelan, meski matanya tetap kosong. Suaranya lirih tapi mantap.

“Eyang… aku mohon jangan biarkan orang lain tahu. Cukup Eyang dan dokter saja. Mas Rizal juga, jangan sampai tahu...”

“Yuna...” Jihan terisak.

“Aku tidak ingin mereka melihatku… lemah.” Air mata kembali mengalir di pipinya.

“Kalau semua tahu aku lumpuh… aku buta… aku hanya akan jadi beban. Biarkan mereka berpikir aku baik-baik saja… sampai aku siap.”

Jihan menutup wajahnya dengan tangan, tak mampu membendung tangis. Lalu ia mengangguk, menunduk mencium dahi cucunya.

“Baik, Nak… Eyang akan simpan rahasia ini. Tapi janji pada Eyang… jangan pernah menyerah. Kamu bukan beban. Kamu… harapan mami kamu.”

Yuna menggenggam tangan Eyang lemah, bibirnya melengkung tipis dalam senyum yang penuh luka.

*****

Yuna dipindahkan ke ruang perawatan VVIP siang itu. Tempat tidur berlapis putih, meja kecil dengan vas bunga dan sofa empuk membuat ruangan terasa seperti kamar hotel, bukan rumah sakit. Namun bagi Yuna, semua itu tak berarti apa-apa.

Ia berbaring diam, matanya terpejam rapat. Dari luar, orang mungkin mengira ia sedang tidur, tapi sebenarnya ia sadar penuh. Hatinya hanya belum siap untuk membuka mata, belum siap menghadapi respon mereka, terutama Rizal.

Di sisi ranjang, Eyang Jihan tampak tenang meski wajahnya menyimpan kegelisahan. Usia 65 tahun tak mengurangi kewibawaannya. Balutan kebaya biru tua yang melekat di tubuhnya membuatnya tampak anggun, seperti bangsawan Jawa masa lampau.

Tak lama, pintu terbuka. Indra masuk dengan langkah kaku, wajahnya kusut. Rizal berada tepat di belakangnya, wajah letih namun matanya tak lepas dari Yuna.

Raden ikut bersama mereka, menatap Yuna lama-lama, seolah tak percaya melihat gadis yang dikenalnya kini terbaring rapuh.

“Bagaimana keadaannya, Dokter?” Suara Indra tercekat, menahan harapan sekaligus ketakutan.

“Stabil...” Jawab dokter singkat.

“Namun kondisinya masih butuh pengawasan ketat. Pasien harus banyak istirahat.”

Setelah dokter keluar, ruangan hening.

Eyang Jihan menghela napas panjang, lalu menatap semua yang ada di sana.

"Aku ingin membawanya ikut ke Singapura. Biar tinggal bersamaku. Di sana dia bisa berobat dengan lebih baik. Rumah sakitnya lengkap, dokternya juga lebih berpengalaman.”

Ucapan itu langsung membuat ruangan menegang.

Rizal refleks menoleh cepat.

“Eyang, apa tidak bisa tetap di sini saja! Yuna masih dalam perawatan di sini, saya akan mengusahakan yang terbaik. Setelah Yuna membaik, saya akan membawanya pulang ke Jakarta. Saya yang bertanggungjawab...”

“Singapura lebih baik daripada disini ataupun Jakarta!” Raden menyahut dengan nada dingin.

Rizal mengepalkan tangan, wajahnya menegang, tapi ia memilih diam.

Indra mengusap wajahnya, lalu menatap mantan mertuanya.

“Bu… jangan bawa Yuna pergi. Dia anakku. Dia tetap harus bersama keluarga.”

Tatapan Jihan tajam, penuh luka lama yang belum sembuh.

“Keluarga? Kau ingat kapan terakhir kali kau sungguh-sungguh ada untuknya, Indra? Kau lebih sibuk dengan rumah barumu, dengan istri barumu. Yuna ini cucuku. Aku tidak akan tinggal diam melihat dia menderita.”

Suasana makin panas.

Di ranjang, Yuna mendengarkan semuanya dengan hati bergetar. Air matanya jatuh pelan, tapi ia tak bergerak sedikit pun. Ia masih berpura-pura tidur, takut bila matanya terbuka, mereka semua akan tahu, bahwa dirinya kini kehilangan penglihatan, juga tak lagi mampu menggerakkan tubuhnya seperti dulu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!