Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.
Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
"Dai, mau ke mana?" tanya Larasati ketika dilihatnya Daisy berpenampilan rapi, jalan menuruni anak tangga.
"Ke acara premier film barunya Kak Armand."
"Mama temani." Larasati menutup majalah katalog produk fesyen.
Tak ada sahutan ataupun gumaman oke dari Daisy. Gadis itu hanya duduk menunggu mama berdandan sembari melihat-lihat majalah katalog yang tadi dibaca mama.
Tak perlu waktu lama bagi Larasati untuk berdandan. Biasanya sih menghabiskan waktu kurang lebih satu jam. Ada saja yang diributkan: sasak rambut kurang oke-lah; bulu mata kurang cetar-lah; baju kurang matching-lah.
Dan, entah ini kebetulan atau disengaja, tapi yang jelas kedatangan Rolan di siang itu menimbulkan kecurigaan di benak Daisy. Tiba-tiba tanpa angin, Rolan datang dengan buket mawar merah disertai dengan senyum yang merekah bak bunga. Sayang, trik pemikat itu tak mampu menarik perhatian Daisy. Justru Daisy memandang jijik pada Rolan.
"Kalian sudah janjian rupanya." Larasati semringah mengetahui alasan kedatangan Rolan. "Kenapa nggak bilang kalian mau pergi bareng?" lanjutnya pada Daisy. "Tahu begini kan, Mama nggak perlu buru-buru ganti baju."
Daisy hanya diam.
"Ya sudah. Buruan berangkat. Nanti jalanan macet."
Hm? Jalanan macet? Sejak kapan jalanan di Jakarta tidak macet? Palingan pas lebaran saja jalanan menjadi lengang. Saking lengangnya, Sofie pernah berfoto di tengah jalan raya, lalu mengunggahnya ke akun instagram. Alhasil, foto tersebut menuai pro dan kontra dari warganet. Yaah, dan hal-hal seperti itu sudah jadi makanan hari-hari bagi Sofie, dan Sofie tak terlalu memusingkannya. Andaikan ia bisa bersikap masa bodoh seperti Sofie.
Sebenarnya tidak masalah juga kali ini perginya dengan Rolan daripada dengan mama yang tentunya akan ada banyak larangan ini dan itu. Baru lima menit menjejakkan kaki di gedung bioskop dan langsung disuruh pulang. Pasti bilangnya: yang penting kan, sudah datang.
Mobil yang dikemudikan Rolan meluncur meninggalkan halaman rumah.
"Dari mana tahu aku mau pergi ke premier?"
"Apa sih yang nggak gue ketahui dari tunangan gue." Rolan mengulas senyum bangga.
"Kapan kita pernah tunangan?" Daisy tertawa pahit.
"Ya, ya, yaaa, tunangan gue kabur dengan cowok lain." Rolan melirik sekilas ke Daisy. "Ke mana saja kalian? Sejauh-jauhnya kalian kabur, kalian nggak akan bisa ke mana-mana. Orang-orang papa lo pasti akan langsung menemukan kalian." Tawanya puas.
"Mas Singgih bilang aku harus bicara dengan papa. Jadi―" mata Daisy melirik sekilas ke Rolan, "―aku pulang untuk bicara sama papa. Tentang pernikahan kita."
Rolan mengencangkan pegangan tangannya pada kemudi setir. "Bicara apa?"
"Macam-macam."
"Percuma aja, Dai. Orang tua kita udah menetapkan pernikahan kita. Papa lo nggak bakal batalin rencana pernikahan kita hanya karena omongan lo. Kalau pun papa lo ingin menantu Singgih, seenggaknya dia harus bersih dulu namanya dari catatan kriminal. Apa kata orang-orang kalau tahu menantu Romi Ekadanta seorang pembunuh."
"Di saat dua orang saling mencintai, menurutmu Mas Singgih akan diam saja melihat kekasihnya menikah dengan orang lain?"
Mobil yang dikemudikan Rolan melambat dan berhenti tepat saat lampu lalu lintas berubah merah.
"Seberapa pun Singgih berusaha buat ngedapatin lo, pada akhirnya yang dilakukannya hanya sia-sia saja. Lo pasti tahu maksud gue, kan?"
Daisy mengulum senyum tipis seraya menoleh ke Rolan. "Makasih nasihat dan tumpangannya." Lalu melompat keluar dari mobil.
Suara seruan Rolan memanggil nama Daisy tak lagi dipedulikannya. Tak peduli juga bagaimana orang-orang melihatnya, yang mungkin beranggapan telah terjadi pertengkaran antara sepasang kekasih. Ah, ia tak peduli dengan itu semua. Ia hanya ingin mengikuti kata hati meski terdengar sangat egois.
Daisy bergerak menuju ke taksi kosong yang akan melintas.
*
"Terlambat tiga puluh menit." Sofie melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya saat Daisy tiba di hadapan mereka.
"Sori. Sori," sesal Daisy. "Filmnya udah mulai?"
"Udah dari tadi. Tapi kita nungguin lo. Nggak ada lo, nggak rame." Sofie tersenyum pada penggemarnya sembari melambaikan sebelah tangan ala putri Indonesia.
Gendis tersenyum mendengar gombalan Sofie. "Mau masuk sekarang?" tanyanya pada Daisy.
"Nggak usah aja deh," tolak Daisy. "Filmnya juga udah mulai. Nonton setengah jalan juga udah nggak seru lagi."
"Kita cari makan aja, yuk?" ajak Gendis. "Sekalian ngobrol-ngobrol syantik."
"Oke." Daisy dan Sofie menyahut berbarengan.
Mereka keluar dari gedung bioskop, berjalan-jalan di dalam mall untuk mencari tempat makan. Lebih tepatnya mencari menu yang ingin dimakan. Setelah berkeliling sambil sesekali mampir ke butik untuk mengepas beberapa pakaian, dan Sofie sempat membeli dua potong dress, mereka pun memutuskan masuk ke restoran yang menyuguhkan berbagai macam menu olahan mi.
"Sekarang ceritain ke kita." Gendis menumpukan kedua tapak tangan di atas meja. "Kenapa kalian kembali?"
"Gue pikir kalian bakal kawin lari. Pulang-pulang udah bawa anak. Mama-papa lo akhirnya mau nggak mau, terpaksa deh, menerima kalian." Kekeh Sofie, pikirannya terlalu banyak drama.
"Sof, ampun deh. Kamu kebanyakan nonton sinetron," jengah Gendis.
"Iih, udah pekerjaan gue, kali."
Daisy tersenyum geli, lalu menyedot jus minumannya sebelum bersuara. "Aku nggak bisa terus-terusan lari. Kalau aku mau bersama Mas Singgih, aku harus menghadapi rintangan dan hambatan yang ada di depanku." katanya penuh tekad. "Aku udah hubungi Azka."
Gantian Daisy yang menumpukan kedua tapak tangan di atas meja. Menatapi tajam pada Sofie dan Gendis.
"Diam-diam kalian juga menyelidiki Mas Singgih."
Gendis ingin menyela, tapi Daisy terlebih dahulu memotong.
"Azka udah cerita. Kalian juga memaksa Azka buat berbagi info. Aku membayar mahal Azka, tapi kalian yang dengar infonya lebih dulu."
"Nggak semua info dia bagi," koreksi Gendis.
"Jadi, info terbarunya apa nih?" Sofie menumpukan sebelah tangan di dagu.
"Ada satu saksi lagi dan bukti rekaman. Azka lagi mencari tahu tentang keberadaan Cindy. Saksi itu―yang katanya pingsan di lokasi kejadian."
Pandang Daisy menumbuk pada seorang laki-laki yang sedari tadi ditunggunya berjalan masuk ke dalam restoran.
"Mas Singgih." Daisy mengangkat sebelah tangan memanggil Singgih.
Sofie merajutkan jari-jari tangannya sembari tersenyum jenaka. "Pasangan kita di tahun ini. Lebih hot dari pasangan Rangga dan Cinta."
"Dilan dan Milea. Yang kekinian, dong." Daisy mengulas senyum kasmaran.
"Si Doel dan Zaenab," koreksi Gendis lebih lanjut.
"Astaga." Sofie menggeram gemas. "Lo hidup di zaman bapak-ibu lo."
"Ramadhan dan Ramona?" Gendis memberikan contoh pasangan lainnya dengan seutas senyum jenaka, yang langsung membuat Sofie kian meledek.
"Fix! Lo angkatan tuwir, Sis."
Gendis dan Daisy tertawa. Tawa mereka mereda tatkala Singgih sudah berdiri di samping meja mereka.
"Duduk." Daisy menepuk-nepuk kursi kosong di sebelahnya.
Singgih menurut patuh dan duduk menyebelahi Daisy.
"Mau makan apa? Pesan aja," sila Daisy sembari menyodorkan buku menu pada Singgih.
"Aku sudah makan."
"Kalau gitu minum aja."
"Aku juga sudah minum."
"Masa cuma lihatin kita makan?"
"Pesankan saja dia sama seperti kamu," usul Gendis pada Daisy bersamaan dengan pesanan mereka yang diantar pramusaji ke meja.
Daisy pun meminta pramusaji memesankan menu yang sama sepertinya untuk Singgih. Pramusaji itu melihat menu pesanan Daisy, lalu mencatatnya segera di buku notes.
"Kita sangat berterima kasih, kamu udah bantu menyelamatkan Daisy," kata Gendis sembari mengaduk mi dengan sumpit. "Tapi bukan berarti kita bisa menerima kamu."
Kalimat yang diucapkan Gendis dapat langsung dimengerti oleh Singgih.
"Sampai benar-benar terbukti kamu nggak bersalah." Gendis melanjutkan kalimatnya yang terlalu berterus terang.
Daisy menghardik Gendis melalui tatapan matanya, kemudian beralih ke Singgih di sebelahnya dengan perasaan tak enak hati.
"Keadilan nggak berpihak pada orang rendahan sepertiku. Keadilan hanya milik mereka yang berkuasa. Untuk saat ini, bahkan seterusnya... aku nggak akan lagi berharap pada keadilan," ujar Singgih skeptis.
Terdiam para gadis mendengar jawaban Singgih.
"Seperti yang pernah kubilang padamu." Singgih menoleh ke Daisy. "Jangan sia-siakan waktumu buat menyukaiku. Kamu pasti akan bertemu dengan pria baik yang akan mencintaimu. Orang tuamu akan merestui kalian. Teman-temanmu juga dengan bangga mendukungmu."
Singgih menyerahkan kunci mobil milik Sofie yang dipinjamnya beberapa hari ini selama masa pelarian, beserta dengan STNK ke atas meja.
Menyadari kata-kata Singgih yang ganjal, dalam gerakan cepat Daisy mencengkeram lengan Singgih.
"Mas Singgih mau ke mana? Mau ninggalin aku?" gusar Daisy. "Nggak..." ia menggeleng. "Jangan pergi."
Singgih menumpukan sebelah tangan di atas punggung tangan Daisy, coba untuk melepaskan cengkeraman tangan gadis itu. "Jalan kita berbeda."
Daisy menggeleng keras. Sebisa mungkin menahan kaca-kaca bening yang menggenangi pelupuk matanya. "Nggak masalah Mas Singgih nggak menyukaiku... asal jangan pergi..." air matanya tak dapat ditahannya lagi.
"Lo kan, bodyguard-nya. Masa lo mau ninggalin Daisy gitu aja?" Sofie tak bisa diam saja menyaksikan sahabatnya menangis. "Di mana tanggung jawab lo?"
"Kalau namamu dibersihkan, nggak ada lagi yang akan menentang kalian." Gendis ikut bersuara untuk menstabilkan keadaan. "Kalian bisa bersama."
"Itu yang kalian pikirkan?" Singgih menatapi satu per satu teman Daisy, lalu beralih menatap ke Daisy dengan hati yang berkecamuk perih. "Bagaimana kalau aku benar-benar bersalah? Kamu mau hidup denganku? Bagaimana dengan anak-anak kita nantinya? Semua orang akan memandang rendah kita."
"Pemikiran itu terlalu jauh." Gendis menghentikan Singgih yang mungkin sebentar lagi akan meramalkan masa depan.
"Jadi, aku hanya akan pacaran, lalu putus? Jika seperti itu maksudmu, aku bisa saja mencari cewek lain, bersenang-senang, lalu putus. Bagiku, hubungan harus dipertahankan. Tapi, hubungan yang ingin kujalin bukan bersamamu, Daisy."
Singgih melepaskan paksa cengkeraman tangan Daisy dari lengannya. "Jaga dirimu baik-baik."
"Mas Singgih..." air mata Daisy berderai jatuh.
Singgih pergi meninggalkan Daisy seperti tak peduli pada tangisan serta sakit hati yang didera Daisy.
"Nggak bisa ini!" Sofie menggebrak meja kesal. "Dasar jangkrik nggak bertanggung jawab!"
Pelanggan yang berada di meja sisi kiri dan kanan sontak menoleh kaget ke arah meja mereka.
*
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨