Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Pagi itu, udara Jakarta terasa lebih panas dari biasanya. Tapi bukan karena cuaca. Dewi berjalan cepat menyusuri trotoar depan kantor firma hukum Cakra & Partners. Di tangannya ada map cokelat berisi semua dokumen transaksi yang bisa membuktikan bahwa usaha mereka tidak pernah didanai secara curang.
Hari itu, Dewi datang sendiri.
Tanpa memberitahu Dewa.
Ia tahu risikonya. Tapi ia juga tahu, Dewa sedang terlalu emosional, dan jika dibiarkan, pria itu mungkin akan menyerang balik Nadine tanpa rencana. Dan dunia keluarga Wicaksono... tidak bisa dihadapi dengan emosi.
Dewi disambut oleh seorang wanita muda di meja depan.
“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya ingin bertemu dengan Pak Arfan. Saya sudah buat janji semalam. Namanya Dewi Ayu Ningrat.”
Wanita itu tersenyum sopan dan mempersilakannya masuk ke ruang konsultasi.
Pak Arfan, seorang pengacara senior yang terkenal membela kasus independen dari tekanan korporasi besar, membaca seluruh dokumen yang Dewi sodorkan.
“Saya mengerti niat Anda. Dan sejauh dari bukti-bukti ini, bisa dibuktikan bahwa dana awal tersebut memang digunakan tanpa unsur penipuan.”
Dewi mengangguk.
“Tapi,” lanjut Pak Arfan, “jika mereka bersikeras mengajukan gugatan, kita harus menyiapkan argumen hukum yang sangat kuat.”
“Dan saya siap,” jawab Dewi tenang. “Saya tidak ingin hidup kami dipermainkan oleh orang yang tidak tahan melihat kami bahagia.”
Pak Arfan mengangguk kagum. “Anda memiliki keberanian dan ketenangan yang jarang saya temui.”
Dewi tersenyum lemah. “Saya tidak bisa mundur. Tidak kali ini.”
Sementara itu...
Dewa mondar-mandir di dalam studio, gelisah. Sudah hampir dua jam ia tidak melihat Dewi. Ponselnya tak aktif. Dan yang lebih membuatnya khawatir adalah: map cokelat di rak dokumen juga menghilang.
Naya masuk dari belakang, membawa segelas kopi. “Lo kelihatan kayak singa dikurung.”
“Dewi ke mana?” tanya Dewa tanpa basa-basi.
“Gue pikir bareng lo. Gak di rumah.”
Dewa langsung meraih jaketnya. Tapi saat itu juga, pintu studio terbuka.
Dewi masuk, wajahnya lelah tapi tetap tenang.
“Dewi! Kamu dari mana?” Dewa menghampirinya, suara meninggi. “Kenapa kamu pergi tanpa bilang apa-apa?”
“Aku ke kantor pengacara.”
Dewa terdiam.
“Sendiri?” tanyanya pelan.
“Iya.”
“Kenapa tidak ajak aku?”
Dewi menatapnya lurus. “Karena aku tahu kamu akan melarang. Atau lebih parah—menghadap Nadine sendiri, dengan kepala panas.”
Dewa menghela napas panjang, menahan diri. “Aku... hanya ingin melindungimu.”
“Aku tahu. Tapi kadang, aku juga ingin melindungimu. Bukan dengan kekuatan... tapi dengan kepala dingin.”
Dewa tertunduk. “Aku hanya takut kehilanganmu.”
Dewi menyentuh bahunya. “Kita tidak sedang saling meninggalkan, Dewa. Kita sedang belajar berdiri sejajar. Aku bukan anak kecil yang butuh dijaga terus-menerus. Aku pasanganmu.”
Hening sesaat mengisi ruangan.
Dewa menatap mata Dewi. “Apa kamu marah?”
Dewi tersenyum. “Tidak. Tapi jika nanti kamu pergi ke medan perang tanpa ajak aku, baru aku akan marah.”
Dewa tertawa kecil. “Baik. Kita hadapi semua... bersama.”
Hari berikutnya...
Dewi menerima surat resmi dari kantor hukum bahwa pengajuan pengamanan hak usaha mereka sedang diproses.
Namun kabar itu belum selesai menyebar, saat sebuah berita lain muncul:
“Skandal Bisnis Dewa Satria: Siapakah Perempuan di Baliknya?”
Berita itu menggunakan potongan foto Dewi dan Dewa sedang duduk berdua di taman sekolah tempat mereka mengajar. Dipelintir sedemikian rupa hingga seolah Dewi adalah 'pengendali di balik layar', perempuan ambisius yang ‘memanfaatkan’ cinta Dewa.
Dewi menatap layar ponselnya dengan tenang.
“Aku tahu ini akan datang,” gumamnya.
Dewa, yang berdiri di belakang, mengepalkan tangan. “Ini sudah keterlaluan.”
“Kita tidak bisa kendalikan apa yang mereka tulis,” kata Dewi, menoleh, “tapi kita bisa kendalikan bagaimana kita meresponnya.”
“Apa yang akan kamu lakukan?”
Dewi tersenyum kecil. “Menulis artikel balasan. Tapi bukan untuk mereka. Untuk masyarakat. Tentang bagaimana usaha kami dibangun, nilai yang kami bawa, dan bahwa tidak semua perempuan yang berdiri di samping pria adalah oportunis. Kadang... dia adalah alasan pria itu tetap berdiri.”
Malam itu, Dewi membuka laptop, dan mulai mengetik dengan tenang.
"Kalian bisa merendahkan kami dengan berita.
Tapi kami tidak tumbuh dari pujian.
Kami tumbuh dari kepercayaan—dan dari luka yang tidak kami jadikan alasan untuk membenci.
Kami tidak sempurna. Tapi kami jujur. Dan itu lebih dari cukup untuk memulai segalanya dari awal."
Bersambung