"Jika memang kamu menginginkan anak dari rahim ku, maka harganya bukan cuma uang. Tapi juga nama belakang suami mu."
.... Hania Ghaishani .....
Ketika hadirnya seorang anak menjadi sebuah tuntutan dalam rumah tangga. Apakah mengambil seorang "madu" bisa menjadi jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rindu seorang ibu
Malam itu, langit menggigil. Gerimis jatuh pelan-pelan, menyentuh jendela kamar seperti bisikan rahasia yang tak ingin didengar siapa pun. Udara dingin menyeruak masuk lewat sela ventilasi, menyelusup hingga ke tulang, membuat malam di mansion itu terasa seperti penjara berlapis sutra.
Kamar rawat Brivan sunyi seperti biasa. Hening tanpa suara. Tak ada suara selain detak pelan infus dan embusan napas Hania yang tertidur di sisi ranjang. Kepalanya bersandar di lengan ranjang, satu tangannya menggenggam tangan Brivan yang tetap hangat… walau tak pernah menggenggam balik.
Hania tidak sadar kapan dia tertidur. Kelelahan fisik dan batin membuat tubuhnya menyerah pada malam. Riuh di kepalanya membuat ia terlelap tanpa sadar. Namun, keheningan yang mendekap keduanya terpecah.
Kilatan petir menyambar langit, menyusul dentuman menggelegar. Suaranya membuat jantung Hania melompat. Ia terbangun, matanya menyapu ruangan dengan napas terengah. Tangan kecilnya memegang dada yang terasa sedikit sakit.
Pintu kamar terbuka pelan-pelan… tanpa ketukan.
Seorang wanita melangkah masuk. Langkahnya tenang, tapi berat. Tubuhnya seperti diseret oleh bayangan gelap yang tidak terlihat.
Wajahnya berbeda. Dingin. Sepi. Kusam.
Bibirnya kering, matanya merah dan bengkak seperti habis menangis berjam-jam. Tapi bukan itu yang paling menusuk—melainkan sorot matanya yang kosong. Seperti seseorang yang sudah kehilangan pegangan hidup.
Hania berdiri, menatap Suster Fira dengan terkejut.
“S-Suster Fira?”
Wanita itu diam sejenak. Lalu menghampiri perlahan. Di bawah cahaya temaram lampu kamar, wajahnya semakin terlihat pucat dan lelah. Air hujan menempel di ujung rambutnya, seolah ia tidak sempat mengeringkan diri.
“Aku akan membantumu.”
Suara itu… pelan. Lirih. Tapi tajam, seperti belati kecil yang dilemparkan langsung ke hati Hania.
Hening. Hanya suara hujan.
Hania terpaku. Matanya membesar.
“Apa… apa maksudmu?”
Fira tidak menjawab. Ia hanya berdiri menatap Brivan beberapa detik, napasnya gemetar—bukan karena dingin, tapi karena luka yang terlalu dalam untuk dijelaskan. Lalu tanpa berkata apa pun lagi, ia membalikkan badan dan pergi.
Langkahnya menyeret. Tapi teguh. Pintu tertutup kembali dengan pelan, seperti bisikan yang tak sempat selesai diucapkan.
Dan Hania hanya bisa berdiri mematung, tak percaya. Ia kembali terduduk
Tangannya yang tadi menggenggam tangan Brivan kini kembali menggenggamnya lebih erat. Matanya membasah. Tapi kali ini bukan oleh air mata sedih—melainkan secercah harapan kecil.
Di antara langit yang gelap dan udara yang membeku...
Akhirnya, seseorang memilih berdiri di sisinya.
Hania menunduk, menyentuh kening Brivan.
“Aku akan buat kamu membuka mata lagi… Aku janji, Brivan.”
Suara itu pecah. Bukan oleh isak. Tapi oleh semangat yang tumbuh di antara kehancuran.
Dan di luar sana, kilat kembali menyambar. Tapi kali ini, Hania tidak takut. Ia sudah tidak sendiri lagi. Entah apa yang akan terjad setelah ini. Tapi Hania yakin, dia ingin Brivan bangun. Meski dia tidak tahu apa yang membuat Fira tiba-tiba ingin membantunya, setelah kemarin begitu bersikeras menolak keinginan Hania.
Sedangkan dibelahan bumi yang berbeda, dimana senja baru saja menyapa.
Di gedung kaca berlantai tujuh itu berdiri anggun di jantung kota Salzburg. Plakat peraknya terukir dengan megah.
SCHILLER-WALDHOF GROUP
Established 1891
Di dalamnya, koridor berbau lemon dan kayu mengantar seorang wanita paruh baya berbalut mantel wol biru kelam dan gaun satin lembut. Wajahnya nyaris tak berubah sejak tiga puluh tahun silam. Anneliese von Schiller direktur utama sekaligus pewaris tunggal keluarga Waldhof, kaki jenjangnya melangkah masuk ke ruang pribadi usai rapat panjang bersama beberapa klien.
Ruangan besar dan sunyi. Langit sore menyelinap dari balik jendela tinggi, menyinari meja kayu mahoni yang bersih dan rapi. Ruang kerja bernuansa hangat itu selalu membuatnya nyaman.
Anneliese menoleh cepat saat pintu belakang terbuka. Seorang pria tinggi dengan rambut perak dan mata kelabu, masuk sambil menenteng map biru tua.
“Kaspar…,” panggilnya lirih.
Kaspar Albrecht, pria yang ia nikahi setelah kehilangan cinta pertamanya, tersenyum hangat. Ia menghampiri Anneliese, lalu menggenggam tangannya. Menatap lekat mata indah yang ia cintai sejak masih remaja.
“Apa proyek ini, bisa selesai bulan depan? Aku sudah tidak sabar bertemu putraku.”
Nada suara Anneliese pelan, namun bergetar. Matanya menatap Kaspar dengan harap yang sulit ia sembunyikan. Rasa rindu pada putranya sudah tak bisa lagi ia sembunyikan.
Kaspar menatapnya lembut. “Aku usahakan selesai lebih cepat, sayang. Maaf karena membuatmu harus menunggu.”
Anneliese menggeleng cepat, matanya mulai memerah, tapi bibirnya masih tersenyum kecil. DIa tahu bagaimana pria ini berusaha.
“Aku thu kau akan menepati ucapanmu … Aku hanya tidak bisa membayangkan dia sendiri. Terbaring… tanpa tahu ibunya sedang menghitung hari demi hari untuk bisa kembali ke sisinya.”
Ia menunduk, menyembunyikan emosinya. Tapi suaranya makin lirih. Meski hubungan Brivan dan Anneliese tidak begitu baik sejak ia menikah lagi. Namun, rsa sayangnya pada Brivan masih sama. Putra semata wayangnya dengan Radhika Maheswara.
“Aku harus kembali ke Indonesia. Untuk menjenguk Brivan… dan menantuku. Gadis itu sedang mengandung cucu kita, Kaspar. Bayi dari darah Maheswara dan Schiller.”
Kaspar merengkuh bahu Anneliese, memeluknya tanpa kata. Hanya hembusan napas lembut dari dada lelaki tua itu yang jadi jawaban. Ia tahu… rindu itu berat, bahkan untuk wanita sekokoh Anneliese. Tak ada cemburu yang terselip saat nama Maheswara, Anneliese ucapkan. Karena nama itu akan selalu ada samai kapanpun dalam kehidupan Anneliese. Kaspar tahu itu, dan dia akan maklum.
“Aku tidak ingin ke sana sendiri. Tapi aku juga tidak bisa menunggu terlalu lama.” Anneliese butuh Kaspar, dia selalu lemah kala melihat Brivan sakit tak berdaya.
Kaspar mengangguk pelan.
“Maka kita akan berangkat bersama, sesegera mungkin. Biarkan aku menyelesaikan ini minggu depan. Lalu kita pulang. Menjemput anakmu. Oke?"
Anneliese mengangguk pelan. Matanya menatap ke luar jendela. Langit Austria mulai gelap. Tapi di belahan bumi lain Jakarta, tempat putranya terbaring, malam sudah sangat pekat mengenggam.
“Tunggu aku, Brivan,” bisiknya dalam hati.
“Ibu akan pulang. Ibu akan datang…” Udara dingin berhembus, seolah membawa untaian rindu seorang ibu pada buah hatinya.
apa ibunya Brivan ga tau ya klu Audy sdh keguguran dan anaknya lagi terbaring sakit.
Ibunya Brivan akan datang,, berharap bgt dia akan bisa membawa Brivan pergi bersamanya,jika Brivan menjauh dr Mario,itu artinya Brivan akan bisa segera sadar,,,
nah loh ibunya brivan mau ke indo jenguk brivan gimana ya nanti reaksinya kalau tau Audy udah ga mengandung lagi
dan untuk mu ibu briv semoga segera menengok ya. putra mu tidak berdaya
Suster Fira memang bukan pengecut,tapi aq fikir dia lebih bisa memikirkan untuk tetap aman dalam Istana Raksasa itu,,,
bisa gak Hania jangan cari² masalah,, karena ini bukan hanya tentang Brivan z,tapi nyawa Hania juga terancam jika dia macam²,,,