Prayitno, seorang pria miskin yang nekat merantau ke kota besar demi mencari ibunya yang hilang, justru terperangkap dalam kehidupan penuh penderitaan dan kesuraman. Setelah diusir dari kontrakan, ia dan keluarganya tinggal di rumah mewah milik Nyonya Suryati, yang ternyata menyimpan rahasia kelam. Teror mistis dan kematian tragis menghantui mereka, mengungkap sisi gelap pesugihan yang menuntut tumbal darah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Promo Novel "Ritual"
Langit Desa P sore itu memerah, seperti mencerminkan isi hati Ratri yang terbakar resah. Ia duduk di tepi bale bambu belakang rumah, memandangi selembar kain batik tua yang akan dikenakannya dalam acara seleksi penari Reog malam nanti. Tangannya gemetar saat meraba motif parang rusak di kain itu. Warna merah kehitaman pada batik itu mengingatkannya pada darah—dan pada semua hal yang tak ingin ia hadapi.
“Aku nggak mau, Pak…” bisik Ratri, nyaris tak terdengar.
Tapi tentu saja, ayahnya, Sugondo, tak akan mendengar bisikan selemah itu. Ia datang dengan langkah berat dan suara seperti dentum kentongan ronda. “Kamu tahu apa artinya jadi penari utama Reog, Ratri? Itu kehormatan tertinggi di desa ini. Kamu satu-satunya yang pantas.”
Ratri mendongak, menatap mata ayahnya yang penuh ambisi. “Tapi kenapa harus aku? Aku bahkan nggak suka menari.”
“Kamu nggak perlu suka. Kamu cuma perlu jadi yang terbaik,” tegas Sugondo. “Semua sudah aku siapkan. Rajiman dan para sesepuh sudah memberi restu. Bahkan kain batik ini—bukan kain biasa. Ini milik penari utama dulu. Kamu hanya tinggal menjalani ritual, dan semuanya selesai.”
“Ritual? Lagi-lagi ritual…” gumam Ratri.
Ia masih ingat malam-malam aneh di mana ia dipaksa mandi kembang jam 2 dini hari, berpuasa tiga hari tiga malam tanpa tahu alasannya, atau bermeditasi di makam tua nenek moyangnya dengan mata ditutup kain hitam. Semua itu demi menjadi "penari utama" seperti yang diidamkan Sugondo.
Ratri tahu benar, menjadi penari Reog di Desa P bukanlah sekadar tampil di panggung. Ia akan diikat oleh sumpah gaib, pantangan dan ritual yang menyertainya. Tidak boleh berpacaran, tidak boleh memotong rambut, tidak boleh makan makanan tertentu, dan—yang paling menyeramkan—tidak boleh menolak ketika dipanggil oleh para sesepuh untuk menjalani “ritual pemanggilan roh leluhur.”
Dan kini, semua itu datang lagi. Bahkan lebih intens.
“Kalau kamu nggak mau nurut, jangan panggil aku bapakmu!” ancam Sugondo, sebelum berbalik meninggalkannya.
Ratri menunduk. Air matanya menetes ke ujung kain batik di pangkuannya. Ia merasa seperti boneka. Hidupnya bukan miliknya. Keputusannya tak dianggap.
Dari balik dinding, ibunya, Aminah, mengintip. Wajahnya tirus, penuh kecemasan. Namun ia tak berkata apa-apa. Hanya memeluk tubuhnya sendiri, seakan ingin ikut menyerap duka Ratri tanpa bisa berbuat apa pun.
Malam menjelang, dan langit gelap tanpa bintang. Ratri mengenakan kain batik pusaka itu dan berjalan menuju pendopo desa. Angin bertiup dingin, daun-daun pisang berisik bergesekan seperti bisikan arwah. Di pendopo, Rajiman dan beberapa sesepuh sudah menunggu.
“Ratri Pratiwi,” panggil Rajiman dengan suara berat. “Kau siap menerima warisan yang dijaga sejak tujuh turunan?”
Ratri diam. Tangannya mengepal.
“Kau harus menjawab,” bisik Sugondo yang berdiri di sampingnya.
“…Siap,” jawab Ratri lirih.
Rajiman tersenyum. Namun senyum itu tak menghangatkan. Justru membuat bulu kuduk Ratri meremang.
“Baik. Malam ini, kita mulai dengan ritual penjagaan jiwa. Sebuah langkah awal agar kau tak mudah diganggu mahluk halus saat pentas nanti. Tapi ingat, setiap ritual ada bayarannya,” ujar Rajiman sambil membuka gulungan kain putih berisi benda-benda aneh: rambut, kemenyan, cakar ayam, dan segenggam tanah makam.
Ratri menahan napas.
Ia tahu, malam ini hidupnya akan berubah. Ia tidak lagi menjadi dirinya sendiri. Ia akan menjadi milik sesuatu yang lebih tua… lebih gelap… lebih lapar dari yang bisa ia bayangkan.
Dan penolakan kecilnya tadi, hanyalah bisikan sia-sia yang tenggelam dalam kebisingan ambisi orang tuanya.
hihihihihiii keren dehh dan siapa pula gantinya yaaaa
wahh g ada hentinya yaaa
wisss g akan aman deh