NovelToon NovelToon
Ternyata, Aku Salah Satunya Di Hatimu

Ternyata, Aku Salah Satunya Di Hatimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: X-Lee

Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.


Ardian memejamkan mata, napasnya berat. “Aku salah. Tapi aku masih mencintaimu.”


“Cinta?” Eva tertawa kecil, lebih mirip tangis yang ditahan. “Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa. Itukah yang kamu inginkan, Mas?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

12. Ajakan Makan Malam

Ardian duduk di bangku taman, memperhatikan putranya yang berlarian kecil di antara rerumputan dengan tawa riang yang memecah keheningan siang itu. Putranya terlihat begitu bahagia, seolah dunia di sekeliling mereka tak punya beban apa-apa. Ardian tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. Jauh di lubuk hatinya, ada kekosongan yang tak bisa diisi oleh apapun, bahkan oleh tawa anaknya sendiri.

Seandainya Lisna tidak mengirim video itu—video yang memperlihatkan anak mereka menangis tersedu-sedu—mungkin Ardian tidak akan datang ke rumah ini. Dia sudah terlalu lelah. Bukan hanya secara fisik, tapi juga mental dan emosional. Beban pikirannya terlalu berat, terutama sejak Eva pergi satu minggu yang lalu. Kepergian Eva meninggalkan luka yang tak kasat mata, tapi sangat terasa. Tidak ada penjelasan yang jelas. Eva hanya menghilang, dan sejak itu, dia tidak pernah lagi mengangkat telepon Ardian. Setiap panggilan hanya berujung nada tunggu yang tak pernah disambut suara.

Hal itu membuat Ardian frustrasi. Hari-harinya diisi dengan kecemasan, kemarahan, dan kekecewaan. Ia menjadi lebih mudah tersinggung, selalu uring-uringan bahkan terhadap hal-hal kecil. Suasana hatinya kacau, tak menentu. Ia sering melamun, kehilangan fokus, dan hanya bisa menatap kosong ke luar jendela, berharap teleponnya berdering dan suara Eva muncul di ujung sana. Tapi harapan itu selalu pupus.

Perubahan itu juga tampak nyata pada fisiknya. Tubuh Ardian terlihat lebih kurus dari biasanya. Matanya sayu, dengan lingkaran hitam yang jelas karena terlalu sering begadang. Ia menghabiskan malam demi malam dengan memikirkan segala kemungkinan—apa yang salah, apa yang harus dia perbaiki, bagaimana cara membuat Eva kembali. Ia tahu Eva tinggal di rumah temannya sekarang. Berkali-kali ia datang ke sana, dengan harapan bisa bertemu, bicara dari hati ke hati. Tapi hasilnya selalu sama: Eva menolak untuk menemuinya. Bahkan pesan-pesan yang ia kirim pun tidak pernah dibalas.

Kini, satu-satunya alasan ia bisa tersenyum walau samar adalah anaknya. Melihat anaknya bermain, tertawa, berlari-lari kecil di bawah langit yang mulai jingga, seolah memberi Ardian sedikit ketenangan—walau itu pun hanya sesaat. Di dalam dirinya, masih ada badai yang belum reda.

Ardian masih terpaku memandangi anaknya, ketika telepon di sakunya bergetar pelan. Ia menghela napas sebelum mengangkatnya. Di layar, tertera nama yang sudah lama tidak muncul—“Papa”. Ardian ragu sejenak, lalu menggeser layar dan menyambungkan panggilan.

"Ardian," suara di seberang terdengar tenang namun berwibawa. "Papa harap kamu bisa datang makan malam ke rumah, malam ini. Ajak Eva dan Lisna serta Aiden juga, ya."

Ardian terdiam beberapa detik. Nama itu—Eva—masih terasa getir di telinganya. Ia menelan ludah, berusaha menjaga suaranya agar tetap terdengar biasa saja.

"Eva... Eva belum kembali, Pa," jawabnya pelan.

"Papa tahu," jawab sang papa, Abian dengan nada yang sedikit melembut. "Tapi mungkin, kalau kamu yang bicara baik-baik, dia mau. Ini bukan cuma soal makan malam, Ardian. Kita keluarga. Kalian perlu bicara."

Ada jeda. Ardian menatap anaknya lagi, yang kini sedang berguling-guling tertawa sendiri.

“Papa mohon,” lanjut Abian, “Kalau Eva tidak mau ikut, setidaknya kamu datang. Tapi, cobalah sekali lagi. Datangi dia. Undang dia secara pribadi. Bukan untuk membahas masalah. Hanya makan malam. Bersama.”

Nada itu bukan perintah, bukan pula tekanan. Tapi sebuah harapan. Ardian tahu, Papanya mungkin satu-satunya yang masih bisa menyatukan mereka—setidaknya mencoba.

"Baik, Pa. Aku akan coba," katanya akhirnya. Meski hatinya masih digelayuti keraguan, dia tahu dia tak bisa terus terpuruk. Mungkin makan malam ini bisa menjadi awal dari sesuatu. Entah penyelesaian, atau justru permulaan yang baru.

Setelah menutup telepon, Ardian menarik napas dalam-dalam. Dia tahu harus ke rumah Eva—lagi. Tapi kali ini, bukan untuk memohon. Hanya mengajak. Dengan hati yang lebih tenang, meskipun masih luka.

***

Matahari hampir tenggelam ketika Ardian berdiri di depan rumah itu—rumah yang kini terasa asing, meskipun jejak langkahnya sudah beberapa kali menyentuh lantainya. Rumah dua lantai bergaya modern minimalis, dengan pagar besi hitam dan taman kecil yang tertata rapi di halaman depan. Namun, bagi Ardian, keindahan luar itu tak mampu menutupi dinginnya suasana yang selalu menyergapnya setiap kali berdiri di sini.

Ia menatap pintu pagar yang terkunci, lalu menoleh pada satpam yang berjaga di pos kecil samping gerbang. Pria paruh baya itu mengenalnya, tapi tetap menunjukkan sikap profesional. Dengan suara pelan dan penuh harap, Ardian memohon agar gerbang dibuka. Satpam itu hanya mengangguk singkat, lalu menekan tombol, dan terdengarlah derit pelan logam saat pagar perlahan terbuka.

Langkah Ardian berat ketika ia menapaki jalan setapak menuju pintu utama. Setiap langkah seperti menambah beban di dadanya. Langit di atasnya mulai memerah, gradasi warna senja menyelimuti suasana dengan perasaan yang tak terucap. Ia berhenti tepat di depan pintu, menatap permukaannya yang mengilap, seolah berharap jawabannya tersembunyi di balik kayu itu.

Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Eva berdiri di sana.

Ia mengenakan kaus putih polos dan celana panjang kain berwarna abu-abu muda. Rambutnya dikuncir rendah, wajahnya polos tanpa riasan, namun tetap menampilkan ketenangan yang kontras dengan badai di dalam hati Ardian. Tapi yang paling membuat Ardian terpaku adalah tatapan Eva. Dulu, mata itu hangat, teduh, dan penuh kasih. Kini, mata yang sama menatapnya dengan jarak—bukan kebencian, tapi kehati-hatian, seperti seseorang yang pernah tenggelam dan enggan menyelam lagi.

“Eva,” ucap Ardian perlahan, suara seraknya menandakan ia sudah mengulang kalimat ini dalam kepalanya berkali-kali. “Mas tidak ke sini untuk membuat kamu marah. Mas juga tidak ingin berdebat dan memaksa mu untuk pulang..”

Eva tetap diam. Ia tidak menutup pintu, tapi juga tidak menyilakan masuk. Nafasnya terdengar ringan namun teratur, seolah ia tengah menahan sesuatu di dalam sana.

“Papa mengundang kita makan malam di rumah,” lanjut Ardian, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang, walau jantungnya berdetak tak beraturan. “Di kediaman Papa. Dia ingin kita datang. Bersama.”

Eva menunduk. Tangannya bergerak perlahan ke lengan kaus, memainkan ujung kainnya tanpa sadar. Ardian bisa membaca keraguan di sana, juga kelelahan—bukan hanya fisik, tapi batin yang dipikul terlalu lama.

“Bukan untuk membahas semua ini... bukan untuk menyelesaikan semuanya hari ini,” tambah Ardian. “Hanya makan malam.”

Hening kembali menyapa, kali ini lebih lembut. Bukan keheningan yang mengintimidasi, tapi seperti keheningan di antara dua orang yang pernah saling mengenal begitu dalam, dan kini terpaksa bicara seperti orang asing.

“Mas tahu kamu marah... kecewa. Dan kamu berhak atas semua itu,” lanjutnya. “Tapi kamu juga berhak tahu bahwa Mas mencoba berubah. Mas tidak mau kita terus begini. Setidaknya, izinkan Mas memulai dari hal kecil. Dari sebuah makan malam.”

Kata-kata itu menggantung di udara. Suara burung camar terdengar dari kejauhan, menyatu dengan angin senja yang membawa aroma rumput basah dan debu jalanan.

"Mas mohon, datang lah. Papa sangat mengharapkan kedatangan mu." pinta Ardian dengan wajah memelas

Eva mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya kini lebih lembut, meskipun tetap waspada. Dan akhirnya, setelah jeda yang terasa panjang, dia berbicara.

“Aku tidak janji akan nyaman dengan suasana di sana nanti,” katanya dengan suara datar, tapi jujur. "Tapi, aku akan datang."

Kalimat itu seperti membukakan jendela kecil di dalam hati Ardian, jendela yang sempat tertutup oleh kabut keraguan dan rasa bersalah. Ia tidak menunjukkan kegembiraan yang berlebihan, hanya mengangguk pelan. Tapi di dalam dirinya, ada perasaan yang sulit dijelaskan. Seperti seseorang yang hampir tenggelam akhirnya menemukan tempat untuk mengambang.

"Kalau begitu, Mas akan menjemputmu nanti malam," katanya, dengan sedikit nada lega.

Eva menggeleng. “Tidak perlu. Aku akan datang sendiri.”

"Tapi…”

“Aku berangkat sendirian atau tidak sama sekali. Kamu bisa pilih itu.”

Ardian terdiam. Tatapan Eva tidak menantang, tapi tegas. Ia tahu ini bukan soal keras kepala—ini tentang kendali. Tentang ruang. Eva sedang mengambil kendalinya kembali.

“Baiklah,” ucap Ardian akhirnya, pasrah.

Ia menatapnya sejenak sebelum memutuskan untuk berbalik. Saat kakinya melangkah pergi, ia tidak tahu apakah langkah itu menuju akhir atau awal. Tapi ia tahu, malam ini, satu pintu kecil telah terbuka. Dan itu cukup untuk membuatnya bertahan sedikit lebih lama.

Setelah Ardian menghilang dari pandangan, Eva masih berdiri di ambang pintu. Angin sore menyapu wajahnya, dan matahari kini tinggal semburat jingga di balik atap rumah tetangga. Ia menarik napas panjang.

Bukan tanpa alasan dia mengiyakan ajakan makan malam itu. Bukan karena Ardian. Bukan karena ingin berdamai dengan masa lalu. Tapi karena satu sosok yang tetap konsisten hadir dalam hidupnya sejak awal—Papa Abian. Seorang ayah mertua yang memperlakukannya dengan kelembutan dan penghormatan. Ia tak bisa menolak ajakan dari seseorang yang begitu tulus padanya.

Dan di lubuk hati yang paling dalam, meski hanya sedikit... Eva ingin tahu, apakah luka yang mereka bawa masing-masing masih bisa dipeluk oleh meja makan yang sama.

***

1
Adinda
pasti anak pelakor bukan darah dagingmu ardian biar menyesal kamu
Nur Nuy
rasain suami penghianat , tunggu tanggal mainnya bakalan nyesel lu seumur hidup lepasin eva😡😏
Mardathun Shalehah: jangan lupa hadir yaa di persidangan/Facepalm/
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
kata nenek, bertengkar di pagi hari itu nggak bagus lho
Mardathun Shalehah: kalau malam bagus gak 🤧🤣
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
ish aku paling benci kalau macet apalagi kalau pakai mobil manual, hmm, capek banget dan bikin esmosi, eh emosi
Mardathun Shalehah: sabar 🤧🤣
total 1 replies
Nur Nuy
sabar eva sabarr hempaskan penghianat itu
Mardathun Shalehah: buset dah 🤣🤣
Nur Nuy: ke kandang singa author 🤣🤣🤣
total 3 replies
Nur Nuy
tidak semudah itu fer Ferguso
Mardathun Shalehah: /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
like plus iklan 👍
Mardathun Shalehah: /Joyful//Facepalm/
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
iya tega banget ish!
Mardathun Shalehah: sabar /Joyful//Shy/
total 1 replies
Nur Nuy
semangat eva ayo kamu bangkit lupakan penghianat itu
Mardathun Shalehah: semangat ❤️
total 1 replies
yuni ati
Keren
Mardathun Shalehah: makasih kk ❤️
total 1 replies
Nur Nuy
lanjutkan
Mardathun Shalehah: oke ❤️
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
keren narasinya 🥰
Mardathun Shalehah: Makasih kak 🥰
total 1 replies
Nur Nuy
yaampun kasian banget eva nya, sedih banget lanjutkan Thor seru
Mardathun Shalehah: Makasih dukungan nya kk ❤️
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
like plus subscribe 👍 salam kenal 🙏
Mardathun Shalehah: Salam kenal juga kak 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!