Aurelia Nayla, tumbuh sebagai gadis lugu yang patuh pada satu-satunya keluarga yang ia miliki: Dario Estrallo. Pria yang dingin dan penuh perhitungan itu memintanya melakukan misi berbahaya—mendekati seorang dosen muda di universitas elit demi mencari sebuah harta rahasia.
Leonardo Venturi. Dosen baru, jenius, dingin, dan tak tersentuh. Tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya, kecuali Dario—musuh lama keluarganya.
Yang tak diketahui Dario, kode untuk membuka brankas warisan sang raja mafia justru tersembunyi di tubuh Leo sendiri, dalam bentuk yang bahkan Leo belum ketahui.
Sementara Aurelia menjalankan misinya, Leo juga bergerak diam-diam. Ia tengah menyelidiki kematian misterius ayahnya, Alessandro Venturi, sang raja mafia besar. Dan satu-satunya jejak yang ia temukan, perlahan menuntunnya ke gadis itu.
Dalam labirin rahasia, warisan berdarah, dan kebohongan, keduanya terseret dalam permainan berbahaya.
Cinta mungkin tumbuh di antara mereka,
tapi tidak semua cinta bisa menyelamatka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harga dari sebuah bukti
Lia membuka pintu asrama dengan langkah pelan. Jam di dinding menunjukkan sudah siang. Para penghuni asrama sudah berlalu lalang dengan berbagai aktifitasnya masing-masing. Canda tawa terdengar dari mereka yang membahas soal pesta tadi malam. Sepertinya mereka sangat menikmati tadi malam. Berbeda dengan dirinya yang sekarang gelisah. Antara menikmati, atau tersakiti karena sebuah rencana yang dibuat papanya sendiri.
Begitu Lia masuk kamar, Nadin langsung bangkit dari tempat tidurnya.
"Lia! Ya ampun, kamu ke mana aja? Aku khawatir banget!" serunya dengan suara setengah berbisik namun penuh kecemasan.
Wajah Nadin tampak panik, bola matanya bergerak cepat menatap Lia dari ujung kepala hingga kaki, mencari tanda-tanda yang bisa menjelaskan kepergian mendadaknya tadi malam.
Lia menunduk, meletakkan tas selempangnya di kursi tanpa menatap balik.
"Aku... cuma jalan-jalan sebentar," jawabnya singkat.
Nada suaranya datar. Tapi raut wajahnya justru menyiratkan lebih banyak dari yang ia katakan. Matanya terlihat sembab, kulit pipinya memerah, dan cara dia menarik napas terdengar terlalu berat untuk sebuah kebohongan kecil.
Nadin menyipitkan mata. "Jalan-jalan? Lia, kamu pikir aku nggak kenal kamu? Kamu pergi dalam keadaan panik, sekarang pulang kayak orang yang habis..."
Lia mengangkat tangan, menghentikan perkataan sahabatnya. "Nad... aku capek. Aku mandi dulu."
Tanpa menunggu balasan, dia berjalan cepat menuju kamar mandi. Pintu tertutup dengan bunyi pelan, tapi cukup tegas. Nadin hanya bisa memandang pintu itu dengan gelisah.
Di balik pintu, Lia melepaskan satu per satu kain yang membungkus bagian-bagian tubuhnya. Saat tubuhnya tersentuh dinginnya keramik kamar mandi, ada sensasi ngilu yang menjalar hingga tulang. Ia berdiri lama di bawah shower, membiarkan air hangat mengalir deras membasahi rambut dan wajahnya.
Kepalanya tertunduk, pundaknya sedikit berguncang.
Matanya terpejam, tapi bibirnya mengatup rapat menahan suara isakan. Saat membuka mata, Lia melihat cermin kecil di sudut—dan melihat dirinya. Tubuhnya yang penuh tanda merah—bekas bibir Leo. Bekas hisapan, ciuman... kenangan liar yang masih terlalu segar.
Jari-jarinya menyentuh satu tanda di lehernya. Bukan karena menyesal, bukan juga karena ingin menghapus. Tapi karena bingung. Bimbang. Perasaan itu sudah melewati batas. Ia menyadari... ia mulai jatuh. Hatinya mulai goyah oleh lelaki itu. Leo.
"Aku bodoh..." bisiknya pelan, hampir tak terdengar di antara suara air yang jatuh.
Usai mandi, ia memakai pakaian santai dan melilit handuk kecil di rambutnya. Ia duduk di tepi ranjang, menggenggam ponselnya yang kini sudah menyala setelah diisi daya. Layar menampilkan notifikasi—tapi satu nama paling atas membuat napasnya tercekat.
PAPA (DARIO) - memanggil...
Tangan Lia bergetar saat menyentuh layar untuk menerima panggilan.
"Ce... cepat datang, dan bawa bukti itu!" suara berat Dario terdengar dingin, tajam, tanpa basa-basi.
Tidak ada "apa kabar", tidak ada tanya tentang keadaannya. Hanya perintah. Hanya kepentingan.
Lia terdiam. Jemarinya perlahan turun dari telinganya, memutus panggilan. Air mata mulai menetes tanpa bisa dicegah. Bahunya bergetar, tapi ia tak mengeluarkan suara tangis.
Itu bukan sedih semata. Itu luka yang ditusuk perlahan oleh sosok yang seharusnya melindunginya.
"Kenapa... Papa cuma peduli sama misinya. Kenapa nggak lihat aku?" lirihnya, hampir seperti doa.
Bayangan kejadian di hotel kembali muncul. Semua... semua karena Dario. Bahkan pertemuannya dengan Leo, bahkan sentuhan intim yang membuat tubuhnya masih panas dan bingung sampai sekarang—semuanya berakar dari permainan sang ayah.
Lia mengepalkan tangannya.
"Bukannya ayah seharusnya melindungi anak perempuannya?!" gumamnya dengan getir.
Apa hanya demi balas dendam, seorang ayah tega mengorbankan harga diri anaknya?
Ponselnya kembali bergetar. Kali ini bukan panggilan, tapi pesan singkat.
DARIO: "Cepat! Aku nggak bisa menunggu lagi!"
Amarah dalam dada Lia meluap. Ia berdiri, menyambar jaket tipis dan tas selempangnya.
Dia akan menemuinya. Tapi bukan sekadar menyerahkan apa yang diminta. Lia ingin tahu. Ingin mengerti. Atau setidaknya, ingin mengungkapkan semua rasa bencinya.
Sore ini masih terasa begitu terik, tapi rasa panas dari sinar matahari tidak sebanding dengan rasa panas yang masih membara di ulu hatinya.
Lia berdiri di depan bangunan tua yang biasa dipakai Dario untuk bertemu anak buahnya. Tempat itu remang, dengan lampu gantung redup dan aroma tembakau menggantung di udara.
Begitu masuk, ia melihat Dario berdiri membelakangi jendela besar. Dua anak buah berdiri di sisi ruangan, memandangi Lia tajam-tajam.
Lia melangkah mendekat.
Baru ia membuka mulut, Dario sudah bicara lebih dulu.
"Mana fotonya?"
Hanya itu. Tidak ada sapaan, tidak ada perhatian. Hanya... urusan.
Lia berhenti melangkah. Pandangannya mengeras. Air matanya mulai turun tanpa bisa ditahan lagi.
Jari tangan Lia mengepal, matanya mulai memanas. "Kenapa Papa sejahat itu ke aku?" teriaknya sebagai luapan emosi.
Dario menoleh perlahan. Tatapannya tak berubah. Hening.
"Aku ini anakmu..." suara Lia semakin naik, meski bergetar.
Dario hanya diam. Lalu memberi isyarat dengan tangan. Salah satu anak buahnya langsung maju.
"Ambil ponselnya," perintah Dario datar.
Lia tersenyum getir. Jadi seperti inilah sosok ayahnya. Semakin nampak jelas seperti apa ayahnya. Dari dulu memang ayahnya itu berbeda dengan ayah pada umumnya. Hanya aturan dan perintah yang selalu dia dapatkan. "Sebenarnya dia ayahku atau bukan," tanyanya dalam hati sambil terus menatap nanar.
Anak buah Dario mengambil tas selempangnya dan mengeluarkan ponsel. Lia tidak bereaksi, dia masih tetap berdiri mempertahankan posisinya yang sudah lemas menyaksikan perlakuan tidak adil dari ayahnya sendiri. Tatapan Lia tetap tertuju pada pria itu. Tajam, penuh luka.
"Ini, Bos," ucap si anak buah, menyerahkan ponsel ke tangan Dario.
Dario langsung membuka galeri. Matanya menyusuri foto-foto, hingga akhirnya berhenti pada satu gambar yang berada dibagian atas.
Sementara itu, Lia masih berdiri kaku. Tapi ada nyala berbeda dalam matanya. Tangisnya belum berhenti, tapi kini ada keberanian yang tumbuh. Keberanian untuk melawan orang yang selama ini mengikatnya dengan status sebagai 'ayah'.
Dario menatap layar, lalu mendongak perlahan, menatap Lia.
Bersambung.....