Menikah dengan orang yang aku cintai, hidup bahagia bersama, sampai akhirnya kami dikaruniai seorang putra tampan. Nyatanya setelah itu justru badai perceraian yang tiba-tiba datang menghantam. Bagaikan sambaran petir di siang hari.
Kehidupanku seketika berubah 180 derajat. Tapi aku harus tetap kuat demi putra kecilku dan juga ibu serta adikku.
Akankah cinta itu kembali datang? Sementara hatiku rasanya sudah mati rasa dan tidak percaya lagi pada yang namanya cinta. Benarkah cinta sejati itu masih ada?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iin Nuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Mengenal Awan Lebih Dekat
"Diminum dulu kopinya, Mas," kata Shofi seraya meletakkan secangkir kopi di hadapan Awan yang saat ini sedang berkutat dengan laptopnya.
"Makasih," balas Awan seraya mengangkat wajahnya kemudian tersenyum lembut.
Awan bangun dari duduknya kemudian mengambil kursi yang ada di depan meja kerjanya itu. Awan lalu memindahkan kursi tersebut di sebelah kursinya sendiri.
"Duduk sini," kata Awan kepada Shofi seraya menepuk kursi yang tadi dia ambil.
"Aku kan bisa angkat sendiri, Mas. Nggak perlu Mas yang ngangkatin," ucap Shofi merasa tidak enak hati.
"Kalau ada Mas kenapa kamu harus ngangkat sendiri?"
"Tapi kan aku ---"
"Udah, sini duduk dekat Mas," potong Awan seraya kembali duduk di kursinya.
"Iya, Mas," balas Shofi yang kemudian mendudukkan dirinya di kursi yang tadi diambilkan oleh Awan.
"Gimana tadi, bingung nggak nyari kopi sama gulanya di dapur?" tanya Awan yang sudah mengangkat cangkir kopinya lalu mulai menyeruputnya pelan.
"Nggak bingung kok, Mas. Seperti kata Mas tadi, kopi sama gulanya ada di rak bawah meja barista," jawab Shofi.
"Mmmhhh, kopi buatan kamu enak banget. Mantap, rasanya pas, nggak kemanisan," puji Awan setelah menyeruput kopinya.
"Syukurlah kalau Mas suka," kata Shofi dengan tersenyum lembut.
"Suka banget dong. Istrinya Mas pinter banget sih manjain lidahnya Mas. Ini baru kopi, gimana nanti yang lainnya coba," goda Awan seraya tersenyum jahil.
"Mas Awan iiihhh,,, kumat deh," rajuk Shofi dengan wajah memerah.
"Hahahaha, masih belum terbiasa aja kamu, Shofi. Tapi Mas paling suka kalau lihat wajah kamu merah kayak gitu," kata Awan tertawa riang.
"Maaasss,,," rajuk Shofi lagi dengan memanjangkan kata.
"Iya deh, iya. Maaf," kata Awan dengan sisa-sisa tawanya.
"Mas lagi ngerjain apa sih?" tanya Shofi seraya memperhatikan laptop Awan.
"Oh, ini, gaji anak-anak bulan ini," jawab Awan yang langsung memutar laptopnya dan memperlihatkan layarnya kepada Shofi.
Shofi memperhatikan sejenak laptop Awan, membaca file yang sedang dikerjakan oleh Awan sekarang.
"Eh? Gaji karyawan di kafe Mas lumayan juga ya. Ini udah jauh dari gaji karyawan kafe biasanya kan, Mas?" tanya Shofi setelah mengetahui nominal gaji para karyawan di kafe Awan.
"Cuma sedikit lebih tinggi kok."
"Apanya yang sedikit, ini udah satu setengah kali gaji yang biasa didapat Hamzah loh, Mas."
Awan tersenyum kecil.
"Mereka bukan cuma sekedar karyawan bagi Mas. Mereka udah kayak keluarga Mas sendiri," kata Awan.
"Subhanallah," lirih Shofi.
"Mereka yang udah nemenin Mas merintis kafe ini dari nol. Itu kenapa Mas berusaha untuk menghargai kontribusi mereka sebaik mungkin."
"Tapi lima orang karyawan memangnya nggak kebanyakan ya, Mas?"
"Mungkin memang sedikit terlalu banyak. Tapi nggak masalah sih bagi Mas. Mas tau bagaimana kondisi keuangan mereka dulu, itu kenapa Mas ingin bisa membantu mereka. Gitu ceritanya," jawab Awan menjelaskan.
"Subhanallah," ucap Shofi kagum.
Shofi merasa senang karena bisa mengenal Awan lebih dekat lagi. Dan Shofi juga semakin kagum dengan sikap suaminya tersebut.
"Mmm, tapi Mas, maaf banget nih kalau aku lancang, penghasilan kafe tiap bulannya kalau dikurangi dengan pengeluaran untuk gaji mereka semua ini, sisanya bukannya tinggal dikit ya?" tanya Shofi hati-hati, menyuarakan rasa penasarannya.
Lagi-lagi Awan tersenyum kecil.
"Bagi Mas, kafe ini bukan sumber penghasilan utama kok. Dulu memang iya. Tapi setelah dua tahun ini memiliki usaha bareng Bang Langit, alhamdulillaah penghasilan yang dari sana juga udah lebih dari cukup. Jadi nggak masalah misalkan penghasilan dari kafe ini nggak begitu banyak banget," jawab Awan.
"Usaha bareng Bang Langit?" ulang tanya Shofi.
"Iya. Mas sama Bang Langit memiliki usaha rumah kost untuk para mahasiswa di belakang kampus sana. Ya nggak banyak sih, cuma sekitar 25 kamar aja. Ada rumah makannya juga di sebelahnya. Yang sekarang dikelola oleh Bang Langit secara langsung."
"Masya Allah," pekik lirih Shofi terkejut.
"Hehe, maaf ya, baru sekarang Mas ada kesempatan untuk cerita ke kamu tentang masalah ini. Dari kemarin nyari waktu yang pas nggak nemu terus," sesal Awan dengan cengirannya.
"Nggak pa-pa kok, Mas. Tapi aku beneran salut banget loh sama Mas Awan. Nggak nyangka ternyata Mas diam-diam seproduktif itu," puji Shofi.
"Memanfaatkan kesempatan aja sih sebenarnya. Waktu itu ada salah satu teman Bang Langit yang ingin jual tanah di daerah sana. Tanah warisan, mau dibagi sama saudara-saudaranya gitu. Terus Bang Langit nawarin Mas, ngajak patungan. Karena Mas lihat prospeknya bagus, dan kebetulan Mas juga memang ada tabungan, ya udah akhirnya Mas iyain."
"Subhanallah," lagi-lagi Shofi berucap kagum.
Tok. Tok. Tok.
Tiba-tiba terdengar suara pintu ruangan Awan yang diketuk dari luar.
"Bos. Bos ada di dalam?" terdengar suara Adit berteriak dari luar.
"Masuk aja, Dit," jawab Awan setengah berteriak.
Ceklek.
Pintu ruangan Awan terbuka. Adit kemudian melangkah masuk ke dalam ruangan Awan tersebut.
"Pantes aja kok pintu kafe udah nggak kekunci, ternyata Bos udah dateng. Eh, ada Bu Bos juga rupanya. Pagi, Bu Bos," sapa Adit setelah menyadari keberadaan Shofi di samping Awan.
"Pagi juga, Adit. Mmm, panggilannya harus seperti itu, ya?" Shofi bertanya, merasa sedikit tidak nyaman dengan panggilan 'Bu Bos' dari Adit tadi.
"Harus dong, Bu Bos. Kan Bu Bos istrinya Bos Awan," jawab Adit.
"Udah nggak pa-pa. Dibiasain aja, ya," kata Awan juga kepada Shofi.
"Hmm, iya deh, Mas," balas Shofi pada akhirnya.
"Mau dibuatin minum, Bos, Bu Bos?" tawar Adit kemudian.
"Nggak usah deh, Dit. Ini udah dibuatin kopi sama Shofi tadi," tolak Awan.
"Cieee, yang sekarang udah ada yang buatin kopi," goda Adit dengan senyuman jahilnya.
"Wooo ya jelas dong. Kan sekarang udah ada istri. Udah ada yang ngelayanin. Udah ada yang nemenin tidur juga. Jomblo harap maklum ya. Awas loh, nggak boleh baper," balas Awan tidak mau kalah dari Adit.
"Mas," tegur Shofi pelan dengan wajah memerah.
"Ah, asem. Malah kena balik gue. Hadeh," keluh Adit dengan menepuk keningnya sendiri.
"Heh, Lo masih kalah jauh dari gue. Jangan harap bisa menang Lo godain gue," cibir Awan.
"Iya-iya, ngaku kalah deh gue, Bos. Ya udah, kalau gitu kita lanjut siap-siap untuk buka kafe dulu ya, Bos. Mari, Bu Bos," pamit Adit yang kemudian berbalik dan melangkah keluar meninggalkan ruangan Awan setelah mendapat anggukan kepala dari sepasang bosnya yang merupakan pengantin baru itu.
Sementara Shofi merasakan jantungnya berdetak sangat kencang. Sepertinya Shofi harus membiasakan diri lebih cepat dengan godaan-godaan dari Awan, para karyawan di kafe Awan, maupun yang lainnya juga. Agar kedepannya Shofi tidak lagi merasa gugup dan canggung seperti sekarang ini.