Stuck With You

Tiap kali debaran itu muncul saat sedang bersama Resta, atau tiap kali hatinya hampir berbunga-bunga dengan perlakuan dan perhatian kecil Resta padanya, Aya selalu menepis itu. Sadar diri, akan siapa dirinya yang tidak akan mungkin bisa dilirik Resta, dan tidak pantas dimiliki lelaki itu. Apalagi, latar belakangnya adalah anak seorang narapidana koruptor. Aya menyadari itu. Tidak boleh memikirkan hal-hal aneh. Apalagi mendambakan sesuatu yang tidak mungkin.

Ini adalah pertama kalinya dia dekat dengan seorang lelaki muda, tampan, selain Endri sepupunya sendiri. Sejak SMA, Aya seperti tidak sempat menikmati masa remaja yang kata orang-orang itu indah dan sulit dilupakan. Bagi Aya, dia justru ingin melupakan masa remajanya yang tidak pantas untuk dikenang. Jangankan ada seorang lelaki yang ingin mendekati, temannya saja pada menjauh. Tidak peduli seberapa cantik dirinya, mata mereka seakan tertutup hanya karena dia seorang anak koruptor yang dianggap telah merugikan negara.

“Ay, melamun?” Resta mendapatinya tengah menatap layar komputer. Namun, tatapannya kosong dan Resta tahu wanita itu sedang tidak fokus pada pekerjaannya.

“Nggak Pak,” sahut Aya. Dia langsung berpura-pura sibuk.

“Pekerjaanmu udah selesai?” tanya Resta.

“U-udah Pak.” Aya mengakhiri pekerjaannya. Menutup semua file yang sedang dibukanya. Membereskan mejanya. Sebenarnya, Aya ingin waktu berputar lebih lama. Dia punya waktu satu minggu lagi untuk menyelesaikan urusannya dengan para preman penagih utang.

Mengingat itu, Aya menghela napas berat. Belum lagi, dia baru tahu jika di lingkungan tempat tinggalnya yang baru ada pemuda jahil yang senang menggodanya.

“Kamu saya antar ya?”

Aya mengangguk. “Kalau Bapak nggak repot, boleh.”

“Kan saya udah janji, Ay. Kamu tadi naik taksi, pulangnya saya antar,” sahut Resta. “Ayo!”

“Iya Pak, makasih.”

Dua minggu bersama, Resta masih belum bisa memahami sifat asli Aya. Banyak hal yang masih ingin dia ketahui. Tapi Resta merasa harus melakukannya perlahan. Tidak boleh gegabah.

“Besok, kamu rencana ke mana?” Resta bertanya, karena besok adalah sabtu, dan mereka tidak ada aktifitas kantor.

“Saya… rencananya mau ketemu seseorang, udah lama banget nggak ketemu, kangen.” jawab Aya.

“APA?! SIAPA?!” Tanpa sadar, Resta meninggikan suaranya. “Kamu bilang nggak punya pacar.”

Aya terkekeh. “Ehm, santai Pak. kenapa kaget begitu? memangnya seseorang yang dirindukan itu, harus pacar, kan enggak.”

“Jadi siapa? jangan suka main teka-teki dong Ay.” pinta Resta. “Kamu selalu bikin saya penasaran, dan satu persatu, rasa penasaran saya terjawab.”

“Saya mau ke rutan, mau ketemu Ayah,” jawab Aya dengan nada datar.

“Sendirian?”

Aya mengangguk. “Ya.”

“Mau saya antar?”

“Eh, nggak usah Pak.” jelas saja Aya menolak, dia akan pergi ke rumah tahanan tempat berkumpulnya para narapidana. Resta malah menawarkan diri untuk mengantarnya. Jika Aya menerima, rasanya seperti tidak tahu diri.

“Bahaya ke sana sendirian, banyak orang jahat.”

“Saya udah biasa, nggak apa-apa Pak.”

“Jam berapa kamu mau pergi?”

“Jam sebelas siang, sekalian jam makan siang, saya mau makan bareng ayah.”

Resta mengangguk. “Saya antar, ya?”

“Jangan Pak-“

“Kenapa Ay?”

“Bapak mau antar sampai saya ketemu ayah?”

Resta mengangguk. “Nggak boleh?”

“Kasihan ayah saya, nanti beliau malu. saya pergi sendiri aja, Pak.” Aya masih menolak. Sebenarnya, Aya ingin sekali berkata ‘iya’ tapi khawatir nanti ayahnya akan tidak nyaman dan leluasa bercerita. Begitu juga dengan Aya. Dia tidak bisa curhat dengan ayahnya, perihal dunia yang kejam dan terkadang sering tidak berpihak kepadanya.

“Kalau gitu, saya jemput aja pulangnya, rutan mana?” Resta belum menyerah, menurutnya, Aya ini unik. Bukan seperti perempuan kebanyakan yang selalu ingin mengambil kesempatan untuk bisa bersamanya.

Aya menggeleng lagi. “Jangan Pak, selesai ketemu Ayah. Saya mau ke makam ibu.”

“Saya ikut kalau begitu.”

Aya akhirnya menoleh, dan menghadapkan wajahnya pada Resta yang sedang menyetir. “Kenapa sih Pak? Saya bukan jalan-jalan atau senang-senang loh, tapi-“

“Nggak apa-apa. Saya bosan nggak tau mau ke mana,” sahut Resta cepat.

“Hahaha. Baru jomlo ya? biasanya kalau weekend pasti pacaran- ups.” Aya segera menutup mulutnya, merasa kalimatnya sudah di luar batas. “Maaf Pak. Maaf.”

“Mending saya baru jomblo beberapa hari. kamu?”

“Seumur hidup,” timpal Aya. “Siapa sih yang mau sama anak narapidana, koruptor lagi. Nggak ada. jangankan ngajak pacaran, yang udah jadi teman aja pada kabur,” curhat Aya apa adanya, tanpa bermaksud membuat lawan bicaranya iba terhadapnya.

“Serius, kamu belum pernah pacaran? dan teman-teman kamu pada menjauh?” Resta tidak percaya, apa di jaman sekarang ini, di kota besar, masih ada wanita yang tidak berpacaran? dan perihal teman, ternyata hidup Aya semalang itu.

Aya menggeleng. “Belum. Ya begitulah adanya, Pak.”

“Mau coba?”

“Hah, maksudnya? mau coba apa?”

“Enggak, lupakan.”