Aditya patah hati berat sebab Claudia—kekasihnya— memilih untuk menikah dengan pria lain, ia lantas ditawari ibunya untuk menikah dengan perempuan muda anak dari bi Ijah, mantan pembantunya.
Ternyata, Nadia bukan gadis desa biasa seperti yang dia bayangkan sebelumnya. Sayangnya, perempuan itu ternyata sudah dilamar oleh pria lain lebih dulu.
Bagaimana kisah mereka? Ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Drttt.. drtttt...
"Nad, ada telepon lagi, nih!"
"Iya, biarin saja A. Gak usah diangkat!" jawab Nadia dari luar kamarnya.
Pagi hari, di kamar Nadia yang sekarang ditempati bersama. Aditya tengah bersiap, sedangkan Nadia sedang sibuk membuat sarapan.
Sejak memakai baju hingga kegiatan akhir memasang jam tangan, tetapi telepon milik Nadia terus bergetar sejak tadi.
Sampai dia kelar dengan pakaiannya, telepon itu masih bergetar hingga nyaris jatuh dari atas nakas. Aditya terpaksa mengeceknya.
Selama menikah, meski tidak ada kesepakatan khusus, tetapi keduanya memilih untuk tidak mencampuri atau kepo dengan isi ponsel pasangan.
Aditya membawa ponsel yang berhenti bergetar itu untuk dibawa keluar ke Nadia, siapa tahu dari orang berkepentingan atau tentang pekerjaan.
"Sayang, ponsel kamu..."
Namun, belum keluar dari kamar, ponsel itu kembali bergetar. Tertulis nama seseorang yang tidak asing.
"Mas Bisma?" sebut Aditya membaca nama di layarnya.
Aditya menggeser ke atas ikon terima panggilan.
"Halo, Sayang. Dik. Kamu gak..."
Sepintas kalimat yang Aditya dengar setelah mengangkatnya, tetapi Nadia tiba-tiba datang dan langsung merebutnya.
"A Adit, aku bilang gak usah diangkat!"
Aditya terkejut, karena Nadia tiba-tiba muncul dan merebutnya.
"Siapa mas Bisma?"
"Bukan siapa-siapa. Gak penting. Aa sarapan dulu, sudah matang rotinya." Nadia berbalik badan, berjalan mendahului menuju meja makan.
Aditya menarik kursinya. Dia mengambil selapis roti panggang dan pisau mentega.
"Bukankah nama pria itu Bisma?"
Nadia termenung. Perasaannya sudah tidak enak, jika Aditya ternyata tahu atau ingat sosok Bisma.
"Siapa?" tanya Nadia.
"Mantan tunanganmu. Dia bernama Bisma, kan?" terka Aditya.
Nadia yang sedang mengoles mentega di roti panggang miliknya lantas berhenti sejenak. Dia menatap suaminya.
"Ada apa dia menelepon?"
"Gak tahu, makanya tidak pernah aku angkat."
"Tidak pernah? Berarti sering?" interogasinya. Tatapannya tajam pada Nadia. Nadia cuma diam.
Dug! Tangannya yang mengepal menghantam meja.
Aditya sangat tidak suka mengingat sosoknya.
"Bajingan itu! Tolong jangan berhubungan lagi, blokir saja nomornya."
Nadia mengangguk. "Iya, A. Nanti Nadia hapus." jawab Nadia sambil melanjutkan memakan rotinya.
Ponsel di sampingnya kembali bergetar, menampilkan satu nama yang sama.
"Hapus dan blokir sekarang juga, Nadia."
Nadia langsung membuka ponselnya di samping dan melakukan hal yang diperintahkan Aditya.
"Jika sampai berani dia menemuimu, akan aku habisi dia."
.
.
"Sayangku, Dik Nadia."
Nadia membuang muka. Dia duduk tegak di kursinya.
"Ini untuk yang terakhir kalinya Nadia menemui Mas Bisma. Sekarang katakan, ada apa?" Nadia duduk berhadapan dengan sosok Bisma di sebuah kafe.
Dia terpaksa menemui Bisma supaya tidak lagi menerornya demi untuk sebuah pertemuan.
"Kembalilah padaku, Nad. Aku mencintaimu. Ayo kita menikah."
Nadia menghela napas panjang. "Setelah Mas Bisma memuat foto tak senonoh itu hingga jadi berita hoax yang menggemparkan pengguna internet, lalu Mas Bisma minta aku kembali? ... Dimana akal sehatmu? Lupa, ya, kalau aku sudah menikah?"
Bisma menegakkan punggungnya. Dia terkejut-kejut, matanya mengerjap-ngerjap.
"Apa, Dik? Me ... menikah? Sama siapa?"
Memang benar, Nadia tidak mengundangnya dan juga mengabarkan kepada siapapun dikarenakan pernikahan ini terdesak sehingga tidak ada pesta atau semacamnya.
"Oh iya, lupa. Gak sebar undangan soalnya. Mas gak ingat setelah apa yang Mas lakuin ke Nadia hari itu, yang benar-benar gak manusiawi itu, lalu kamu kemana? Sedangkan aku, kamu siksa dan dibuat pingsan."
"Untung gak jadi dipinang istri, bersyukurnya aku," lanjut Nadia.
"Nadia, maaf, Sayang. Saat itu aku khilaf, aku mabuk. Dan aku kesal mendengar kau tinggal dengan pria lain. Siapa pria itu, Dik? Siapa yang menikahimu?"
"Tidak penting, yang jelas bukan Mas Bisma. Dia lebih baik daripada Mas Bisma!" ketus Nadia. Nadia ingin memperlihatkan jika dirinya sudah berbeda. Bukan wanita lemah yang dulu selalu menunduk hormat padanya.
"Gak, gak mungkin. Kamu cuma milikku, Nadia. Kembalilah, ayo kita menikah sekarang."
Dia langsung beranjak dar kursinya menjaga jarak dari Bisma yang hendak meraihnya.
Nadia menggeleng. Sepertinya orang di depannya ini sudah tidak waras. Namun, Nadia adalah Nadia yang tidak mau tersentuh sembarang pria.
"Jangan sentuh!" kata Nadia.
"Oke, maaf. Fine, tapi ayo duduklah, kita belum selesai bicara," kata Bisma yang kembali mundur dan duduk ke posisi sebelumnya.
Nadia waspada, tetapi dia kembali ke kursinya setelah Bisma duduk di kursi seberangnya.
"Tidakkah kamu ingat perjuangan kita sejak dulu?"
"Ya, Nadia ingat siapa yang membiayai sekolah Nadia."
"No, bukan itu. Tapi, perusahaan yang kita bangun sama-sama. Untuk masa depan kita dan anak-anak yang kita impikan sejak lama. Bagaimana, Dik?"
Nadia menegakkan kepalanya, menatap lurus ke arah lain asal bukan kepadanya. "Nadia sudah tidak memikirkan itu lagi," ucap Nadia. Dia bangkit dari kursinya.
"Sebagian punyamu, separuh sahamnya atas namamu. Astaghfirullah, Dik. Kamu jangan begitu," ucap Bisma.
Nadia tidak mau lagi terkecoh dengan tutur kata lembut dan penampilannya yang terlihat baik itu. Ia sudah tahu bahwa orang di depannya harus diwaspadai karena dia tidak sebaik wajah polosnya.
Nadia berkata dalam hati, "Biar aku lebih baik memilih A Aditya yang terlihat lebih berandal dan ugal-ugalan dan suka main hajar orang di jalan. Tapi, dia tidak seburuk itu dibandingkan cara pria bernama Bisma ini memperlakukanku seperti binatang."
Nadia sudah menggunakan tasnya di pundak. Waktu istirahat sudah hampir habis.
"Aku serahkan semua kepemilikan saham itu padamu, Mas Bisma. Anggap saja untuk mengganti uang sekolahku yang pernah kamu tanggung saat itu. Semoga cukup mengganti."
"Nadia, jangan pergi dulu. Aku belum selesai, Sayang." Bisma turut berdiri.
"Ini pertemuan terakhir kita, jangan telepon atau ganggu hidup Nadia lagi, Mas. Nadia sudah bersuami dan Mas Bisma tidak berhak memanggilku 'sayang' lagi."
"Nadia, tunggu, Nad. Dik!!"
Nadia tetap berjalan ke luar kafe. Di setiap langkahnya tidak ada penyesalan atau keraguan apapun lagi meski ia harus melepas salah satu aset yang dia punya. Sebuah saham di perusahaan kontraktor itu. Apapun akan dia lakukan demi memutus hubungan dengan pria itu.
Di depan pintu kafe, dia berpapasan dengan seorang pria yang hendak masuk dan telah mendorong pintunya, tetapi dia lebih dulu mempersilakan Nadia keluar dan bergantian dengannya yang akan masuk.
Satu anggukan Nadia berikan sebagai ucapan terima kasih.
"Eh, Nadia?! Kamu Nadia, kan?" ucap seorang pria itu menyebut namanya.
Nadia lantas berhenti, tak jadi melangkah, dia menoleh sekilas mendongak melihat wajahnya.
"Iya, benar? Anda siapa, ya?"
semangat /Determined/
ayuk Up lagiih hehee
aditi Aditia kocak beud masak masih amatiran