Will Never Let You Go

"Emm ... aku ke toilet bentar, ya, Mas." Ara beralasan. Dia tidak mau Darma melihat wajahnya yang mungkin sudah merona karena rasa hangat seketika menjalar ke wajah. Namun, baru juga berdiri, tangan Ara sudah ditarik Darma sehingga bokongnya kini mendarat di pangkuan lelaki itu.

Lengan kokoh itu kini telah mengunci tubuh Ara. Dapat gadis itu cium wangi musk dari tubuh Darma. Wangi yang sama yang menempel di jaketnya beberapa bulan yang lalu.

"Jawab dulu kamu suka sama siapa?"

Ara mengalihkan pandangan, menatap apa saja yang ada di ruangan itu asal bukan wajah Darma.

"Ra ...." Darma menangkup sebelah pipi gadis itu agar melihatnya.

Pandangan mereka bertemu, dan mungkin jika di luar sana Fanny tidak sedang menelepon seseorang, keduanya bisa saling mendengar debaran jantung satu sama lain.

"Mau, ya, jadi pacarku?"

Ara berdeham. "Mana ada orang baru minta cewek jadi pacarnya, tapi udah main peluk-peluk."

"Ada, aku. Keren nggak, tuh?"

Ara tak bisa menahan tawa karena kenarsisan Darma.

"Udah, dong, ketawanya. Jawab dulu."

"Hmm ...."

Suasana kembali serius ketika Ara mencoba balas menatap Darma. Ia pandangi inci demi inci wajah lelaki itu mulai dari alisnya yang tebal mirip ulat bulu, hidung mancung, mata yang menatapnya penuh sayang, dan bibir tipisnya yang begitu indah apalagi saat sedang tersenyum. Semua terlihat sempurna.

"Iya, aku suka sama kamu, Mas." Akhirnya sebuah pengakuan lolos dari mulut Ara. "Tapi ...."

"Tapi?" Sebelah alis Darma terangkat.

"Apa orang tuamu nggak keberatan anaknya pacaran sama orang kayak aku?" Ara merasa rendah diri. "Aku punya pengalaman yang nggak baik tentang hal itu. Aku takut. Jadi ... sekalipun aku suka sama kamu kayaknya aku nggak bisa untuk ...."

Cup

Bibir Darma sudah mendarat lebih dulu di pipi Ara. Yang mana membuat gadis itu sontak membeku.

"Aku tahu, tapi kamu belum mengenal orang tuaku, Ra. Kenapa kamu main samain gitu aja seakan-akan orang tuaku sama kayak orang tua mantan kamu?" Napas Darma memburu, tidak suka karena Ara sudah menghakimi terlebih dahulu.

"Mas, maaf aku nggak bermaksud. Aku ...." Ara jadi bingung. Niat hati hanya mengungkapkan kekhawatirannya, tapi mungkin kata-kata yang ia pilih salah. "Aku pulang aja, ya, Mas." Ara beranjak, tapi lagi-lagi Darma menahannya.

"Nggak boleh. Kita bisa ke rumahku sekarang biar kamu nggak perlu takut buat nerima aku jadi pacar kamu."

"Hah?" Ara mengerjap-ngerjapkan matanya kaget sehingga air mata yang ia tahan justru menjadi jatuh.

"Kamu nangis?" Darma menghapus cairan bening itu dengan ibu jarinya. "Maaf ...."

Darma mengeratkan lengannya di tubuh Ara. Ia hirup dalam-dalam aroma manis yang menguar dari tubuh gadis itu.

"Buat apa? Aku emang salah, kok."

Masih betah dalam memeluk Ara, Darma menggelengkan kepalanya. "Aku yang kurang ngertiin kamu. Wajar kamu takut setelah ibunya Elang hina-hina kamu sama keluargamu. Tapi, satu hal yang pasti kamu harus tahu kalau kamu nggak akan diperlakukan kayak gitu sama keluargaku. Jadi, please jangan tolak aku." Ia mengangkat wajah, memandang Ara dengan raut memelas.

"Ra, ini pertama kali aku nembak cewek karena bener-bener suka, lhoh. Jahat banget kalo kamu nolak. Emang apa, sih, kurangnya aku dibanding mantan kamu itu. Ganteng juga gantengan aku. Kaya juga lebih kayaan aku."

"Narsis!"

"Fakta!" Darma tak terima. "Cepetan jawab, Ra."

"Jawab apaan, emang kamu tanya sesuatu. Nggak, 'kan?"

Darma berdecak sebal sekaligus gemas. Bisa-bisanya Ara masih mengerjainya. Namun, bukan Darma namanya kalau tidak bisa membalas. Perlahan, ia turunkan tangannya untuk menahan punggung gadis yang kini sedang senyam-senyum seolah menantangnya, kemudian dibaringkannya pelan-pelan ke sofa. Hangat napas Darma menjalar ke wajah Ara. Bulu kuduk gadis itu meremang. Ara jadi takut sekarang.

"Mas ...."

"Hmm ...." Darma membelai wajah mulus itu dengan hati-hati sambil menatapnya intens, dan baru berhenti ketika matanya bersirobok dengan mata Ara.

"Tidak peduli mau sesingkat apa perkenalan kita, tapi yang jelas aku dengan kesadaran penuh benar-benar menyayangimu dengan segenap hatiku. Dan, aku mau kamu menjadi pendampingku mulai sekarang, nanti, dan seterusnya. So, Ara, would you be my future?"

Hati Ara bergetar mendengar ungkapan perasaan laki-laki yang berada hanya beberapa sentimeter di atas tubuhnya. Dan karena lidahnya seakan kelu untuk menjawab, ia pun menganggukkan kepala beberapa kali.

"Thanks."

Dan sebuah kecupan baru saja mendarat di kening gadis itu.