Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)
Areta dipaksa menjadi budak nafsu oleh mafia kejam dan dingin bernama Vincent untuk melunasi utang ayahnya yang menumpuk. Setelah sempat melarikan diri, Areta kembali tertangkap oleh Vincent, yang kemudian memaksanya menikah. Kehidupan pernikahan Areta jauh dari kata bahagia; ia harus menghadapi berbagai hinaan dan perlakuan buruk dari ibu serta adik Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Pukul sepuluh pagi dimana pagi yang seharusnya menjadi momen sakral, terasa dingin dan mencekam.
Di sebuah ruang pernikahan privat yang mewah, Vincent telah berdiri tegak di altar.
Setelan tuksedo hitamnya terlihat sempurna, namun tatapan matanya jauh dari kesan bahagia.
Ia hanya menunjukkan dominasi dan kemarahan yang tertahan.
Para tamu yang didominasi oleh rekan bisnis Vincent dan beberapa anggota keluarga dekat, telah menanti dalam keheningan yang tegang.
Begitu juga dengan Ibu Vincent, Nyonya Helena, dan adik perempuannya, Clara.
Mereka berdua duduk di barisan depan dengan ekspresi mencibir dan tidak setuju, terutama saat melihat kursi pengantin wanita yang masih kosong.
"Dasar gadis tidak tahu diuntung! Dia sengaja terlambat, Bu. Mencoba bermain drama."
"Biarkan saja, dia akan tahu akibatnya bermain-main dengan Vincent," jawab Nyonya Helena yang tidak suka dengan Areta.
Ceklek!
Pintu aula terbuka dan menarik semua pandangan tertuju ke pintu masuk.
Semua mata terbelalak, termasuk Vincent saat melihat Areta berjalan perlahan.
Ia tidak mengenakan gaun pengantin putih yang sudah disiapkan Vincent.
Sebaliknya, Areta mengenakan gaun panjang berwarna hitam pekat, yang terbuat dari bahan tipis dan sedikit terawang, menunjukkan perlawanan dan kesedihan yang mendalam.
Wajahnya pucat pasi, matanya sembap, dan ia berjalan tanpa ekspresi, seolah-olah ia adalah bayangan yang dipaksa hadir.
Keheningan seketika menyelimuti ruangan, hanya suara langkah kaki Areta yang terdengar menggema.
Kemarahan Vincent langsung memuncak melihat pemandangan itu.
Gaun hitam itu adalah tamparan langsung di depan semua tamunya. Ia melangkah cepat, mendekati Areta.
"Apa yang kamu lakukan, Areta? Kamu ingin mempermainkan aku?" desis Vincent tajam, suaranya tertahan namun mematikan.
Areta tidak bereaksi, seolah ia tidak mendengar perkataan Vincent sama sekali.
Tatapannya kosong lurus ke depan, ke arah hakim yang menunggu di altar.
Ia telah kehilangan semua semangat untuk melawan atau bahkan berbicara.
Gaun hitam itu adalah satu-satunya perlawanan bisu yang tersisa.
Vincent menghela napas panjang, mengepalkan tangannya di balik punggung.
Mengamuk di depan tamu-tamunya bukanlah pilihan.
Pernikahan ini harus terjadi, sebagai pertunjukan kekuasaan dan kepemilikan.
Dengan genggaman kuat, Vincent menarik lengan Areta, memaksanya berjalan ke altar.
Ia mengabaikan tatapan sinis Nyonya Helena dan Clara, dan juga bisikan-bisikan dari para tamu.
"Lanjutkan," perintah Vincent dingin kepada hakim, tanpa memandang Areta.
"Nona Areta, apakah anda bersedia untuk menikah dengan Tuan Vincent."
"Ya," jawab Areta singkat tanpa ada perlawanan.
Hakim mengajukan pertanyaan yang sama kepada Vincent.
Vincent menganggukkan kepalanya dan bersedia untuk menikah dengan Areta.
Kemudian Vincent menandatangani buku pernikahan mereka berdua.
Setelah upacara singkat dan dingin, resepsi kecil dilangsungkan di salah satu ballroom di kediaman mewah Vincent.
Areta berdiri di samping suaminya yang tidak pernah ia cintai dan selalu ia takuti dengan gaun hitam yang terasa seperti seragam narapidana.
Saat Vincent tengah berbicara serius dengan beberapa rekan bisnisnya, Nyonya Helena, Ibu Vincent, menghampiri Areta.
Clara sang adik ipar, berdiri di samping ibunya dengan senyum remeh yang menyebalkan.
"Selamat, Nyonya Areta," ucap Nyonya Helena, namun nadanya jauh dari ucapan selamat.
"Terima kasih, Bu," jawab Areta lirih, menundukkan kepala.
Nyonya Helena mendongakkan dagu Areta dengan ujung jarinya yang dingin.
"Dengar baik-baik, kamu mungkin sudah sah menjadi istri Vincent. Tapi di mata kami, kamu tetaplah pelayan yang membayar utang ayahnya. Gaun hitam itu sudah cukup menjelaskan statusmu."
Clara tertawa kecil dan menunjukkan rasa tidak suka kepada Areta.
"Benar sekali. Kakakku menikahimu hanya karena ia tidak suka barang miliknya lari. Jangan pernah berharap lebih, budak kecil."
"Kamu boleh tinggal di rumah ini, Areta. Tapi kamu harus ingat tempatmu. Vincent menikahimu untuk menjamin asetnya, bukan untuk mencintaimu. Jangan coba-coba bertingkah seperti nyonya rumah."
Areta hanya bisa menahan nafasnya saat mendengar hinaan dari Ibu Vincent .
Ia kini menyadari, kehidupan pernikahannya akan menjadi neraka yang jauh lebih buruk daripada menjadi 'jaminan' biasa.
Areta yang lelah langsung meninggalkan ruangan itu dan kembali ke kamarnya.
Vincent yang melihat langsung menyusul ke kamarnya.
Areta meninggalkan ruangan itu dan kembali ke kamar megah mereka.
Vincent yang melihat kepergian Areta langsung menyusulnya, membiarkan urusan bisnisnya terhenti.
Ia menemukan Areta berdiri di tengah kamar, membelakanginya.
Kemarahan yang ditahan Vincent di depan tamu kini meluap.
Pintu dibanting keras hingga bergetar sampai membuat Areta terkejut.
"Kamu pikir ini lelucon? Gaun hitam itu? Pelarianmu?" raung Vincent, melangkah mendekat dengan langkah berat.
"Kamu mempermalukan aku di depan semua orang, di hari di mana aku resmi menjaminmu sebagaiku milikku!"
Areta tersentak saat mendengar perkataan dari suaminya.
"Aku tidak bermaksud..."
"Diam!" potong Vincent tajam. Ia mencengkeram bahu Areta, memaksanya menghadap ke depan.
"Kamu tidak punya hak untuk berekspresi. Kau adalah jaminan, Areta. Kamu adalah milikku!"
Napas Vincent memburu dan melepaskan Areta dengan kasar, lalu bergerak menuju lemari besi kecil yang tersembunyi di balik lukisan.
Ia membuka kuncinya dan mengeluarkan dua benda yang membuat mata Areta melebar ketakutan.
Sebuah rantai tipis yang terbuat dari perak, tampak elegan namun jelas berfungsi sebagai belenggu dan sepasang borgol yang lebih besar daripada yang sebelumnya.
"Kamu suka lari? Aku akan memastikan kau tidak akan pernah lagi melangkah keluar dari ruangan ini tanpa izinku," desis Vincent kejam.
Dengan cepat, ia menarik pergelangan tangan Areta dan mengunci borgol itu.
Klik!
Suara 'klik' logam yang beradu terasa seperti vonis mati. Namun, tidak cukup sampai di situ. Vincent mengaitkan rantai perak itu ke salah satu borgol, dan ujung rantai yang lain ia kunci mati pada pilar kokoh di dekat ranjang.
"Ini adalah hukumanmu karena mencoba lari. Dan sekarang aku akan menghukummu!"
Setelah memasang rantai perak yang membelenggu Areta pada pilar ranjang, Vincent mengambil interkom yang terletak di nakas.
"Semua tamu dipersilakan pulang sekarang," perintah Vincent dingin, suaranya mengandung otoritas yang tidak bisa dibantah.
Dalam waktu singkat, rumah mewah itu menjadi sepi.
Keheningan yang tiba-tiba membuat amarah Vincent yang terpendam semakin meluap, memenuhi ruangan.
Ia menatap Areta, yang masih berdiri membeku, terikat, dan pucat pasi dengan gaun hitamnya.
"Gaun ini," desis Vincent, suaranya tajam seperti pecahan kaca, "adalah simbol pemberontakan yang paling bodoh yang pernah aku lihat."
Tanpa peringatan, Vincent mencengkeram kain gaun hitam tipis itu di bagian bahu.
Dengan satu sentakan kuat, ia merobek gaun itu hingga terbelah dua, meninggalkan Areta hanya dalam balutan pakaian dalam.
Kain hitam itu jatuh di lantai, sama hancurnya dengan semangat Areta.
Areta menjerit dan tubuhnya gemetar karena dingin dan malu yang luar biasa.
Ia berusaha menutupi dirinya dengan tangan yang terborgol, tapi rantai itu membatasi geraknya.
Vincent tidak peduli. Ia kini melepaskan tuksedo hitamnya.
Setelah jas dan kemejanya terlepas, Areta memejamkan matanya rapat-rapat saat melihat tubuh kekar Vincent.
Matanya langsung merasakan ketakutan yang mencekam saat ia menyadari senjata yang besar milik suaminya.
Vincent melihat reaksi Areta yang tiba-tiba memejamkan mata.
Senyum sinis dan kejam tersungging di bibirnya dan melangkah mendekat, berjongkok di hadapan Areta, memaksa gadis itu merasakan kehadirannya yang dominan.
"Kenapa kamu menutup mata?" suara Vincent rendah dan mengancam.
"Bukankah kamu menikmatinya?"
Areta tidak berani membuka matanya dan hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan, air mata mengalir dari balik kelopak mata yang terpejam erat.
"Buka matamu, Areta," perintah Vincent.
"Kamu harus melihat konsekuensi dari setiap pelarian dan perlawanan yang kau lakukan."
Areta masih memejamkan matanya, menolak menuruti perintah itu, meskipun seluruh tubuhnya gemetar di bawah belenggu dan tatapan tajam Vincent.
lanjut Thor💪😘