Amel Fira Azzahra gadis kecil yang memiliki wajah sangat cantik, mempunyai lesuk pipi, yang di penuhi dengan kasih sayang oleh kedua orang tuanya. Namun sayang kebahagian itu tidak berlangsung lama. Setelah meninggalnya Ibu tercinta, Amel tidak lagi mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Bapaknya selalu bekerja di luar kota. Sedangkan Amel di titipkan ke pada Kakak dari Bapaknya Amel. Tidak hanya itu, setelah dewasa pun Amel tetap menderita. Amel di khianati oleh tunangannya dan di tinggal begitu saja. Akankah Amel bisa mendapatkan kebahagiaan?
Yukk ikuti terus ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aretha_Linsey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Hadiah Fatur dan Galaunya Agus
"Siapa itu, Mel?"
"Fatur," jawab Amel jujur, tapi singkat.
"Dia mengajakku makan malam."
Udin mengepalkan tangan di saku celananya. Itu adalah ujian terberatnya.Kecemburuan lamanya meraung, ingin memaksa Amel untuk memblokir nomor itu. Namun, ia ingat kata-kata Amel: "Cintailah aku dengan kepercayaan"
"Baiklah, " ujar Udin akhirnya, suaranya sedikit serak.
"Keputusan ada di tanganmu, Mel. Aku hanya bisa percaya padamu."
Keputusan Udin untuk menahan diri membuat Amel terkejut dan lega. la tersenyum.
"Terima kasih, Din." Amel menyadari betapa rumitnya bagi Udin untuk berubah.
Ini adalah kemajuan. la kini bisa menikmati kebebasannya tanpa dikontrol, sementara Udin belajar untuk mencintai tanpa obsesi.
Malam Sabtu tiba, dan Lady Rose kembali beraksi. Malam ini, Amel balapan dengan motor sport bekas pemberian Fatur. Motor itu lebih bertenaga, dan Amel merasa seperti menyatu dengan mesin yang kuat. Kemenangan hari itu terasa lebih manis, lebih bersih, dan lebih meyakinkan.
la mengalahkan pembalap yang dianggap tak terkalahkan dari kota seberang, menggandakan isi kaleng Dana Kebebasannya.
Agus dan Rizal bersorak keras. Rizal menepuk nepuk punggung Agus.
"Hebat, Gus! Motor racikanmu memang yang terbaik! Lady Rose kita tak terkalahkan!"
Di tengah euforia kemenangan, sebuah mobil mewah berwarna gelap, yang Amel kenali berhenti
Fatur melangkah keluar, ditemani Farim dan
Yudha. Fatur kini tidak lagi tersenyum sinis, melainkan tersenyum kagum. la bertepuk tangan pelan, membiarkan suaranya tenggelam dalam teriakan penonton.
"Luar biasa, Rose, ". puji Fatur tulus, saat Amel melepas helmnya.
"Kecepatanmu, konsentrasimu... tidak ada yang bisa menandingimu."
Fatur tidak langsung mengulang ajakan dinner nya. la mengambil sebuah kotak ramping dan panjang dari mobilnya.
"Aku tahu kamu tidak menerima uang dengan mudah, dan aku tidak ingin membeli hatimu. Tapi aku ingin kamu merayakan kemenangan ini dengan caramu sendiri" kata Fatur, menyodorkan kotak itu.
Amel ragu menerima.
"Apa ini?
"Buka saja, " jawab Fatur.
"Gaun?. Gaun yang elegan. Bukan untuk balapan, tentu saja. Tapi aku ingin kamu tahu bagaimana rasanya memakai sesuatu yang benar benar pantas kamu dapatkan. Sesuatu yang mewah."
Fatur melanjutkan ungkapannya.
"Aku tidak memaksamu. Tapi aku tahu kamu adalah wanita yang menghargai keberanian dan kehormatan. Jadi aku kembali mengajakmu dinner besok malam. Bukan taruhan. Hanya perayaan dua orang yang menghargai kecepatan dan kekuatan. Kamu bisa menolak gaun ini, tapi kamu tidak bisa menolak fakta bahwa kamu pantas di hargai lebih dari keringat dan oli."
Pernyataan Fatur menyentuh inti harga diri Amel—harga diri yang selama ini ia bangun setelah kepergian ibunya. Amel tidak menerima karena ia jatuh hati pada Fatur, melainkan karena ia merasa Fatur menghormati perjuangannya dengan cara yang mewah. Fatur mengakui Lady Rose bukan hanya sebagai objek, tetapi sebagai pemenang
Amel akhirnya menerima kotak itu, sedikit kaku.
"Terima kasih, Tuan Fatur. Aku menghargai hadiahmu. Aku akan mempertimbangkan ajakan makan malam itu."
Fatur tersenyum puas. la tahu, dengan memberikan hadiah berharga dan mengakui nilai Amel, ia telah selangkah lebih maju daripada Udin.
Di sisi lain, Agus mengamati interaksi itu. Wajahnya yang biasanya tenang kini muram, tertutup oleh bayangan cemburu yang mematikan. Agus
menyaksikan Amel menerima hadiah mahal itu sebuah simbol dunia yang jauh dari bengkel, oli, dan motor curian.
Agus membalikkan badan, berpura-pura sibuk mengemasi peralatan. Di dalam dadanya, ada jeritan yang hanya ia dengar.
"Aku tahu dia pantas mendapatkannya. Aku tahu dia pantas mendapatkan yang mewah, yang bersih, yang elegan. Tapi kenapa harus dari Fatur?
Aku bisa membelikannya Gaun, andai aku punya uang. Tidak. Aku tidak punya uang. Yang kupunya hanya oli, besi, dan cinta yang ku pendam ini.
Amel mencintai ku sebagai seorang sahabat, sebagai orang yang memberinya kecepatan. Udin mencintainya dengan gairah. Fatur mencintainya dengan kekaguman dan kemewahan. Dan aku? Aku hanya mencintainya dengan kesetiaan yang diam. Aku tidak bisa menahan Fatur dengan uang, aku tidak bisa melawan Udin. Aku hanya bisa melihat Amel makin jauh. Gaun itu adalah pintu menuju dunia yang tidak akan pernah bisa kumasuki". Batin Agus!!!
Rizal menepuk pundak Agus.
"Kenapa, Gus? Cemburu melihat Lady Rose didekati anak sultan?"
Agus menggeleng.
"Aku hanya khawatir, Zal. Fatur itu bukan orang biasa. Dia main di liga yang berbeda. Aku takut Amel celaka, baik di lintasan maupun di hatinya."
Agus tidak mengatakan yang sebenarnya:
"Aku takut Fatur merebut Amel dari masa depanku yang tidak jelas".
Keesokan harinya, Udin datang ke rumah Amel membawa bekal makan siang, la senang karena Amel masih ada di rumah, tidak pergi dinner dengan Fatur.
"Aku bangga padamu, Mel. Kamu menahan diri, " kata Udin, lega.
Amel tersenyum, tetapi ia tidak menceritakan detail tentang gaun itu. Gaun itu ia simpan rapat rapat di bagian bawah lemari.
"Aku hanya menepati janjiku pada diriku sendiri, Din, ” jawab Amel.
Udin merasa menang, la telah melewati ujian kecemburuan, dan Amel kini kembali dekat dengannya. la tidak tahu bahwa, di belakangnya, Amel telah menerima kunci menuju dunia lain, dan sahabat setianya, Agus, sedang merangkai penderitaan diam yang bisa meledak kapan saja.
Amel kini menjadi pusat jaring rahasia: rahasia Dana Kebebasan, rahasia Fatur, dan rahasia cinta yang dipendam Agus. Dan Udin, yang merasa telah berhasil mengamankan Amel dengan kesabaran, sama sekali tidak tahu bahaya terbesar kini bukan lagi pada dirinya, melainkan pada hati Amel yang ditarik oleh tiga arah yang berbeda.