NovelToon NovelToon
Sayap Patah Angkasa

Sayap Patah Angkasa

Status: tamat
Genre:Angst / Tamat
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Realrf

Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Daftar keinginan

…sangat kecil jika kita tidak segera menghentikan sumber pendarahannya.”

Kata-kata dokter jaga itu menggantung di udara yang beku, sebilah pedang tajam yang siap membelah sisa harapan Lila. Namun, kepanikan yang seharusnya melumpuhkannya justru memicunya menjadi mesin. Refleks perawat mengambil alih jiwa kekasih yang remuk. Ia tidak menjerit. Ia tidak menangis. Ia hanya mengangguk, tatapannya tajam dan fokus.

“Lakukan apa pun yang harus kalian lakukan, Dok,” katanya, suaranya stabil secara mengerikan.

“Selamatkan dia.”

Gilang, yang berdiri membeku di sudut, akhirnya tersadar dari keterkejutannya.

“Kak Lila… Kak Angkasa…” panggilnya lirih, matanya terbelalak ngeri menatap ranjang Angkasa yang kini menjadi medan perang berlumuran darah.

“Gilang, minggir!” perintah Lila, nadanya tidak menerima bantahan. Ia membantu para perawat mendorong ranjang Angkasa keluar dari kamar, rodanya berdecit memekakkan telinga di koridor yang sunyi.

Dalam sekejap, kamar 702 yang tadinya penuh sesak menjadi kosong dan senyap. Hanya menyisakan Lila, Gilang, dan noda-noda merah gelap di atas seprai putih yang menjadi saksi bisu betapa rapuhnya kehidupan. Gilang menatap noda itu, lalu menatap kakaknya yang berdiri mematung di ambang pintu, punggungnya tegang seperti senar biola yang nyaris putus.

“Kak… dia bakal baik-baik aja, kan?” tanya Gilang, suaranya gemetar.

Lila tidak berbalik. Ia menelan ludah, merasakan gumpalan pahit di tenggorokannya. Sandiwara mereka, perjanjian mereka, kini diuji di bawah lampu sorot yang paling kejam.

“Dia kuat,” jawab Lila, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.

“Dia akan berjuang. Sekarang, kita tunggu.”

.

.

.

.

.

Waktu merayap seperti siput di dinding ruang tunggu yang steril. Setiap detik terasa seperti satu jam. Gilang tidak bisa diam, kakinya terus mengetuk-ngetuk lantai, sementara Lila hanya duduk tegak, kedua tangannya terkepal di pangkuan, matanya menatap kosong ke pintu ruang operasi yang tertutup rapat. Panggung sandiwara yang mereka bangun dengan susah payah kini terasa seperti rumah kartu yang siap ambruk oleh satu embusan napas.

Dua jam kemudian, yang terasa seperti selamanya, pintu itu akhirnya terbuka. Bukan hanya dokter jaga, tetapi juga Dokter Hendrawan, hematolog yang menangani Angkasa, dan Dokter Ardi, kardiolog Gilang, keluar bersamaan. Wajah mereka serius, lelah, tetapi tidak menunjukkan kekalahan.

Lila langsung berdiri, jantungnya berdebar begitu kencang hingga ia bisa merasakannya di telinga.

“Bagaimana, Dok?”

Dokter Hendrawan yang mengambil alih.

“Kami berhasil menghentikan pendarahannya. Kondisinya stabil, untuk saat ini. Tapi…” Ia berhenti sejenak, menatap Lila dan Gilang bergantian. “Insiden ini adalah peringatan terakhir dari tubuhnya. Sumsum tulangnya sudah berada di titik terendah. Pendarahan spontan seperti ini akan terus terjadi, dan berikutnya mungkin tidak bisa kami kendalikan lagi.”

Gilang menunduk, bahunya merosot.

“Jadi… jadi nggak ada harapan lagi?” bisik Gilang.

Dokter Ardi menepuk bahu Dokter Hendrawan, seolah memberikan isyarat. Sebuah pertunjukan yang telah mereka latih.

“Selalu ada harapan, Gilang,” kata Dokter Ardi dengan nada mantap.

“Kami sudah berdiskusi. Ada satu opsi terakhir. Sangat berisiko, tingkat keberhasilannya di bawah tiga puluh persen, tapi ini satu-satunya jalan tempur yang tersisa.”

Lila menahan napas. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Kedok itu mulai dibentangkan.

“Apa itu, Dok?” tanya Lila, memainkan perannya dengan sempurna.

“Transplantasi sumsum tulang belakang,” jawab Dokter Hendrawan.

“Donor yang kemarin kita temukan sudah siap. Prosedurnya sangat berat untuk kondisi Angkasa sekarang, tubuhnya bisa saja menolak total. Tapi diam pun sama saja dengan menunggu ajal. Kami harus melakukannya segera. Paling lambat, dalam waktu seminggu dari sekarang.”

Seminggu. Tujuh hari. Waktu hitung mundur itu diucapkan dengan begitu klinis, begitu dingin, tetapi bagi Lila, rasanya seperti vonis mati yang dibungkus dengan pita harapan palsu. Ia menatap Dokter Ardi, mencari konfirmasi dalam mata sang kardiolog. Dokter Ardi memberinya anggukan yang nyaris tak kentara. Inilah jalan yang telah dipilih Angkasa. Inilah panggung terakhir mereka.

“Kita… kita lakukan,” kata Lila, suaranya tegas meski hatinya hancur berkeping-keping. “Kita ambil risiko itu. Angkasa pasti setuju. Dia seorang pejuang.”

.

.

.

.

.

.

Dua hari kemudian, Angkasa dipindahkan kembali ke kamar perawatan biasa. Tubuhnya lebih lemah dari sebelumnya, wajahnya sepucat kertas, dan selang infus kini menancap di kedua lengannya. Namun, di matanya, ada seberkas cahaya aneh, sebuah kedamaian yang membuat Lila merinding. Kedamaian seseorang yang sudah tahu kapan perjalanannya akan berakhir.

Saat Gilang sedang keluar untuk fisioterapi, Lila duduk di samping ranjang Angkasa, membasahi bibir pria itu yang kering dengan kapas basah.

“Kamu benar-benar gila, Mas,” bisik Lila, air matanya akhirnya jatuh setelah berhari-hari ia tahan. “Kamu hampir mati.”

Angkasa tersenyum tipis.

“Hampir,” jawabnya, suaranya serak.

“Tapi belum. Semesta masih memberiku waktu bonus.”

“Seminggu,” desis Lila.

“Mereka memberimu waktu seminggu.”

“Seminggu itu selamanya, La,” balas Angkasa. Ia menggerakkan tangannya yang tidak diinfus, mencari tangan Lila. Genggamannya lemah, tetapi hangat.

“Minta tolong ambilkan buku catatan hitamku dan pulpen, ya.”

Lila mengambilkannya dari nakas dengan bingung. Dengan susah payah, Angkasa duduk bersandar di bantal. Ia membuka halaman kosong dan mulai menulis. Tulisannya tidak serapi biasanya, sedikit bergetar, tetapi penuh tekad.

Lila mengintip dari balik bahunya. Itu bukan surat wasiat atau kata-kata perpisahan yang puitis. Itu adalah sebuah daftar.

Daftar Keinginan Seminggu Terakhir:

1. Makan mie instan kuah rasa kari ayam di tengah malam bareng Lila.

2. Nonton film komedi paling jelek sampai ketiduran di sofa.

3. Mengajari Gilang cara menyeduh kopi yang benar.

4. Melihat matahari terbit dari jendela kamar.

Daftar itu begitu sederhana, begitu biasa, hingga terasa sangat menyakitkan. Itu adalah daftar keinginan seseorang yang tidak meminta untuk hidup, tetapi hanya meminta untuk merasakan kehidupan sekali lagi.

Sementara itu, di ruang rehabilitasi, Gilang mengayuh sepeda statis dengan setengah hati. Wajahnya muram, tatapannya kosong. Fisioterapis sudah menegurnya tiga kali karena melamun.

“Kenapa, Lang? Kok lesu banget?” tanya terapis itu ramah.

Gilang menghentikan kayuhannya, napasnya sedikit terengah.

“Nggak apa-apa, Mas. Cuma capek.”

Bohong. Ia tidak capek. Ia putus asa. Kabar tentang operasi berisiko tinggi Angkasa membuatnya merasa semakin bersalah dan tidak berguna. Semua orang punya pertarungan mereka masing-masing. Kakaknya berjuang mencari uang, Kak Angkasa berjuang melawan ajalnya dengan operasi nekat. Sedangkan dirinya? Ia hanya bisa duduk manis, menunggu keajaiban bernama donor jantung yang entah ada di belahan dunia mana. Setiap hari, dokter hanya memberinya jawaban yang sama.

“Belum ada kabar, Gilang. Sabar, ya.”

“Sabar,” gumam Gilang sinis pada dirinya sendiri.

“Gimana mau sabar kalau rasanya kayak lagi nunggu antrean buat mati?”

Malam itu, setelah kembali ke kamar, ia melihat Angkasa dan Lila sedang tertawa pelan sambil menonton sesuatu dari laptop. Pemandangan itu, yang biasanya menghangatkan hatinya, kini justru terasa seperti tamparan.

“Enak, ya,” celetuk Gilang tiba-tiba, nadanya ketus.

Angkasa dan Lila menoleh kaget.

“Enak kenapa, Lang?” tanya Lila lembut.

“Kalian,” kata Gilang, menunjuk mereka berdua dengan dagunya.

“Kak Angkasa mau operasi besar, tapi masih bisa ketawa. Masih punya sesuatu buat diperjuangin. Lah, gue? Gue cuma bisa nunggu. Nunggu kabar baik yang nggak pernah dateng. Rasanya kayak jadi penonton di cerita hidup orang lain.”

Depresi dalam suara remaja itu begitu kental, begitu nyata. Lila hendak menenangkannya, tetapi Angkasa memberinya isyarat untuk diam.

“Sini, Lang,” panggil Angkasa pelan, menepuk-nepuk sisi ranjangnya.

Gilang ragu sejenak, lalu berjalan mendekat dan duduk di tepi ranjang.

“Kamu bukan penonton,” kata Angkasa, matanya menatap lurus ke mata Gilang.

“Kamu alasan kenapa pertunjukan ini harus terus berjalan.”

Gilang tidak mengerti.

Lila, yang mengerti segalanya, merasakan jantungnya seperti diremas. Ia bangkit dari kursinya.

“Aku… aku mau ambil minum sebentar,” pamitnya, butuh ruang untuk bernapas.

Setelah Lila keluar, hanya tersisa mereka berdua di dalam keheningan yang canggung. Angkasa menyodorkan buku catatannya yang terbuka pada Gilang.

“Lihat,” kata Angkasa.

Gilang membaca daftar sederhana itu. Alisnya berkerut.

“Cuma ini?”

“Cuma ini,” Angkasa mengangguk.

“Waktuku nggak banyak, Lang. Aku nggak bisa keliling dunia atau naik gunung. Tapi aku bisa melakukan semua ini. Dan untuk nomor tiga, aku butuh bantuanmu.”

Angkasa kemudian membalik ke halaman berikutnya. Di sana hanya ada satu kalimat yang baru saja ia tulis.

5. Melihat Gilang tersenyum tulus, sekali lagi.

Mata Gilang memanas. Ia merasa malu sekaligus terharu.

Saat Lila kembali dengan sebotol air mineral, ia melihat pemandangan yang aneh. Angkasa sedang bersandar lelah, sementara Gilang menunduk di sampingnya, bahunya bergetar menahan isak tangis.

“Ada apa ini?” tanya Lila cemas.

Angkasa menatap Lila, senyumnya begitu lembut, tetapi matanya menyiratkan sebuah finalitas yang membuat lutut Lila lemas.

“La,” panggil Angkasa, suaranya nyaris berbisik.

“Aku capek main sandiwara. Seminggu ini… aku mau semuanya nyata.”

“Nyata?” ulang Lila, tidak mengerti.

“Nyata bagaimana, Mas?”

Angkasa mengulurkan tangannya yang gemetar, meraih jemari Lila. Genggamannya, meski tanpa tenaga, terasa mengunci seluruh dunia Lila di dalamnya. Ia menatap lekat-lekat wanita yang telah menjungkirbalikkan sisa hidupnya itu.

“Aku mau seminggu ini bukan cuma sebagai pasienmu, atau teman sekamarmu,” katanya, napasnya sedikit tersengal.

“Aku mau, dalam tujuh hari terakhir ini, aku menjadi…”

1
Puput Assyfa
pada akhirnya Angkasa menyerah oleh takdir dan pusat kehidupannya diberikan pada Gilang, pengorbanan Angkasa yang menyedihkan mak🤧
Puput Assyfa
menanti harapan palsu🤧
Puput Assyfa
Mak bull aq butuh pelukan, sumpah gak kuat 😭😭😭
Puput Assyfa
makin kesini makin gak kuat baca tp penasaran sama angkasa 😭😭😭
Puput Assyfa
ya Allah Angkasa aku takut😭😭😭
Puput Assyfa
bener2 Laras bikin muak sikapnya yg arogan dan gak peduli sama anak kandungmu
Puput Assyfa
setiap Angkasa sekarat semakin takut akan kehilangan Angkasa dan tiba2 menutup mata untuk selamanya 😭😭
Puput Assyfa
Laras muncul2 hanya untuk menyakiti angkasa, bukannya sedih anaknya sakit atau prihatin malah marah2 GK jelas km Laras
Puput Assyfa
bahagia yg sederhana tapi berkesan untuk Angkasa disisa waktunya yg tinggal sedikit 🤧
Puput Assyfa
selamat ya Angkasa km sudah memiliki istri yg akan setia menemani disisa hidupmu, walaupun menyakitkan tp aq bahagia akhirnya km punya keluarga baru angkasa.
Puput Assyfa
Laras kah yg datang
Puput Assyfa
walaupun hanya seminggu waktu yg tersisa setidaknya Angkasa merasakan kebahagiaan disisa hidupnya bersama orang yg dicintainya yaitu Lila
Puput Assyfa
semakin kesini makin menyesakan da2 😭 angkasa yg malang
Puput Assyfa
apa keinginan terakhir mu kasa? apa km ingin menikah dgn Lila
Realrf
berasa nggak 😩
Puput Assyfa
hingga Angkasa sekar4tpun Laras tidak muncul untuk menemuinya, hanya Gilang dan Lila yg setia menemaninya disaat2 terakhir Angkasa
Puput Assyfa
nyesek bgt ya Allah 😭😭
Puput Assyfa
keinginan Angkasa sungguh mulia tp aq jg GK rela km pergi untuk selamanya dgn takdir yg seperti ini Angkasa 🤧
Puput Assyfa
suatu saat kalian aq bersama dgn keadaan yg berbeda karena Gilang akan hidup dengan jantung Angkasa menjadi bagian dr Gilang
Puput Assyfa
kematian Angkasa sudah di depan mata tinggal menunggu hitungan bulan sedangkan laran km salah menolong orang ankmu sendiri km abaikan apa km akan diam saja sampa angkasa meninggal Laras
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!