NovelToon NovelToon
Pengganti Yang Mengisi Hati

Pengganti Yang Mengisi Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Pengganti / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Tukar Pasangan
Popularitas:542
Nilai: 5
Nama Author: Vanesa Fidelika

Seharusnya hari itu jadi momen terindah bagi Tiny—gaun putih sudah terpakai, tamu sudah hadir, dan akad tinggal menunggu hitungan menit.
Tapi calon pengantin pria... justru menghilang tanpa kabar.

Di tengah keheningan yang mencekam, sang ayah mengusulkan sesuatu yang tak masuk akal: Xion—seseorang yang tak pernah Tiny bayangkan—diminta menggantikan posisi di pelaminan.

Akankah pernikahan darurat ini membawa luka yang lebih dalam, atau justru jalan takdir yang diam-diam mengisi hatinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanesa Fidelika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33: Testpack?

   Gerakannya lambat, tapi jelas. Lalu terdengar gumaman pelan. Hampir seperti bisikan. “Mual…”

   Xion langsung menunduk menatap wajah istrinya. Mata Tiny masih terpejam, napasnya sedikit berubah ritme.

   Beberapa detik kemudian, terdengar lagi suara lirih, lebih gelisah. “Nggak enak banget…”

   Dan—seolah tubuhnya tidak sanggup lagi menahan reaksi dari dalam—

   “Huek!”

   Tubuh Tiny tersentak kecil. Matanya langsung terbuka lebar, wajahnya pucat.

   Xion segera bangkit setengah duduk. “Tiny?!”

   Tiny langsung bangkit dengan sisa tenaga yang ia punya, lalu berlari kecil ke arah kamar mandi. Untung saja kamar itu memiliki kamar mandi dalam—semua kamar di rumah ini memang didesain begitu, demi kenyamanan masing-masing anak.

   Begitu pintu kamar mandi terbuka, suara muntah langsung terdengar. Xion tak membuang waktu. Ia ikut berdiri dan menyusul ke ambang pintu.

   Tiny sudah berjongkok di depan kloset. Tubuhnya sedikit membungkuk, tangan menopang ke pinggiran dudukan. Suara muntah itu terdengar lagi. Lebih keras, lebih berat.

   Xion menunduk, lalu duduk berlutut di sampingnya. Tangannya terulur ke tengkuk Tiny, memijat pelan bagian belakang leher yang tegang. Gerakan itu ia lakukan pelan, tenang—tanpa suara, tapi penuh makna.

   “Muntahin aja, jangan ditahan,” bisik Xion, suaranya rendah.

   Tiny tak menjawab. Ia hanya mengangguk lemah di antara gumaman tidak nyaman. Beberapa detik kemudian, suara muntah kembali terdengar. Kali ini lebih lega.

   Xion mengambil handuk kecil dari gantungan, lalu membasahinya dengan air dari wastafel. Ia kembali duduk di dekat istrinya, lalu menyeka perlahan pelipis dan sisi wajah Tiny yang mulai berkeringat dingin.

   Tiny masih terengah. Nafasnya tak beraturan.

   Xion mengambil segelas air mineral dari rak gantungan kecil dekat wastafel, lalu menyodorkannya ke arah bibir Tiny.

   “Pelan-pelan. Kumur dulu aja.”

   Tiny menerimanya dengan tangan gemetar. Ia kumur sebentar, lalu menunduk lagi, masih belum kuat berdiri.

   Xion mengusap punggungnya dengan gerakan naik-turun yang lembut. Dalam hati, pikirannya mulai liar.

   Mual… malam hari… badan lemas… dan yang paling tidak bisa ia abaikan—Tiny tidur dalam pelukan, dengan hoodie-nya. Sesuatu yang jarang, bahkan hampir tidak pernah terjadi sejak pernikahan mereka.

   Jantung Xion mulai berdetak lebih cepat. Tapi mulutnya tetap diam. Ia tidak ingin menyimpulkan apapun… belum sekarang.

   Tangisan kecil mulai terdengar dari arah Tiny. “Nggak enak banget…” bisiknya lirih, suaranya pecah. Matanya memerah, dan tubuhnya kembali bergidik. “Pengen muntah lagi… huek—”

   Tapi tak keluar apa-apa. Hanya rasa mual yang menyesakkan dada dan membuat tenggorokan panas. Tangannya mencengkeram lutut sendiri, dan air mata menetes pelan ke lantai kamar mandi.

   Xion menatapnya sebentar. Dan tanpa sadar, ada satu naluri yang muncul begitu saja. Entah dari mana. Tapi kuat.

   Pelan-pelan, ia menarik bagian bawah hoodie yang Tiny kenakan. Lalu menyelipkan tangannya ke dalam—ke arah perut mungil istrinya. Telapak tangan Xion menyentuh kulit hangat yang sedikit berkeringat. Lalu ia mulai memijat lembut, melingkar, naik turun, tanpa suara. Gerakannya pelan… penuh kehati-hatian. Seolah tak ingin melukai apa pun yang mungkin ada di sana.

   Tiny tersentak kecil. Tubuhnya sedikit menegang. Matanya menoleh sebentar ke arah Xion, heran. Tapi tak berkata apa-apa. Mungkin karena terlalu lelah. Mungkin karena terlalu mual untuk protes. Atau… mungkin juga karena sentuhan itu terasa cukup menenangkan untuk dibiarkan.

   Beberapa menit berlalu. Dan benar saja—rasa mual itu perlahan mereda. Tubuh Tiny yang tadi gemetar mulai rileks. Tangisnya pelan-pelan berhenti, dan matanya mulai tertutup lagi, seperti bayi yang dibuai.

   Ia bergumam lirih, bingung, “Kok bisa mereda ya…?”

  Xion mengangkat bahu, masih memijat pelan. “Gak tau,” jawabnya singkat.

   Jujur. Ia pun tak tahu pasti kenapa sentuhan itu bisa membantu. Tapi ia merasa... mungkin tubuh mereka memang masih saling mengenal, meski hatinya belum saling bicara.

   Perlahan, ia menarik kembali tangannya dari balik hoodie. Lalu merapikan lipatan kain itu dengan hati-hati, seperti takut membuat istrinya kedinginan.

   “Kita ke kasur aja, ya?” bisiknya kemudian. “Di sini dingin. Mungkin kamu masuk angin.”

   Tiny mengangguk kecil. Tubuhnya masih lemas, tapi ia berusaha berdiri pelan, menopang diri dengan memegang pinggiran wastafel.

   Setelah tegak, ia mulai berjalan perlahan keluar dari kamar mandi. Tangannya menyentuh tembok sebagai penyeimbang.

   Xion tak membantunya secara langsung. Ia hanya berjalan pelan di belakang—cukup dekat untuk menangkapnya kalau ia oleng, tapi cukup jauh untuk membiarkan Tiny merasa tetap mandiri.

   Langkah Tiny pelan. Tapi pasti.

   Begitu sampai di sisi kasur, ia pun duduk pelan. Tubuhnya masih terasa ringan, tapi jantungnya berdebar aneh. Bukan karena mual… tapi karena Xion.

   Xion mengamati sebentar dari belakang. Lalu, tanpa kata, ia berjalan memutar dan menarik selimut, membukanya lebar.

   “Rebahan dulu,” ucapnya pelan.

   Tiny menatap wajah suaminya. Tak ada gurau. Tak ada senyum. Tapi sikapnya hangat. Tiny pun rebahan perlahan. Dan Xion menarik kembali selimut hingga menutupi tubuhnya sampai leher.

   Ia lalu duduk di pinggiran kasur. Mengamati sebentar wajah pucat itu, lalu berdiri. Tiny memanggil pelan. “Bang…”

   Xion menoleh. Tiny menarik napas pelan. Wajahnya masih menatap ke arah Xion yang berdiri di sisi tempat tidur.

   “Bang…” ulangnya, lalu suara itu disambung pelan. “Waktu di rumah Kak Alicia… aku juga mual kayak gini.”

   Matanya menerawang, menatap langit-langit kamar. “Tapi nggak separah sekarang. Tadi tuh masih bisa ditahan. Sekarang… beneran nggak bisa.”

   Xion mengangguk, lalu perlahan duduk lagi di sisi kasur. “Kamu terlambat makan?” tanyanya, nada suaranya lembut tapi terdengar khawatir.

   Tiny menggeleng pelan. “Kayaknya enggak. Makan siang bareng Kak Alicia, terus nyemil juga. Malah nggak laper sama sekali tadi sore.”

   Xion menunduk, berpikir sebentar. Tapi dari sorot matanya, kelihatan—pikirannya sudah ke arah tertentu.

   “Kamu tadi kayak nahan-nahan, ya?” gumamnya. “Dari tadi tuh, gerak kamu kayak nggak nyaman tapi maksa biasa aja.”

   Tiny diam.

   Xion lalu mengangkat kepala, menatap istrinya. “Gimana kalau kita cek aja?” ucapnya tenang. “Biar nggak nebak-nebak. Pakai testpack.”

1
Arisu75
Alur yang menarik
Vanesa Fidelika: makasih kak..

btw, ada novel tentang Rez Layla dan Gery Alicia lho..

bisa cek di..
Senyum dibalik masa depan, Fizz*novel
Potret yang mengubah segalanya, wat*pad
total 1 replies
Aiko
Gak bisa dijelaskan dengan kata-kata betapa keren penulisan cerita ini, continue the good work!
Vanesa Fidelika: aa seneng banget..makasih udah mau mampir kak. hehe

btw ada kisah Rez Layla dan juga Gery Alicia kok. silakan mampir kalau ada waktu..

Senyum Dibalik Masa Depan👉Fi*zonovel
Potret Yang Mengubah Segalanya👉Wat*pad
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!