Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.
Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.
Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.
Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.
Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.
Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 33
Pagi itu udara terasa segar, sinar matahari masuk perlahan dari celah jendela. Zia membuka matanya dengan malas, sempat mengucek pelan sebelum akhirnya menoleh ke samping.
Di sisi ranjang, Azka dan Aksa masih tertidur pulas, wajah mereka begitu damai, seperti anak kecil yang habis main seharian. Zia hanya bisa mendengus.
Dengan hati-hati, Zia bangkit dari ranjang. Kakinya menjejak lantai dingin sebelum tubuhnya berjalan pelan ke arah jendela. Ia membuka gorden lebar-lebar hingga cahaya pagi langsung menerobos masuk, membuat kamar yang tadinya agak gelap mendadak terang.
Setelah itu, Zia melangkah keluar sebentar untuk mencuci muka. Air dingin membasuh kulitnya, membuatnya lebih segar. Rambutnya ia ikat seadanya, lalu kembali ke kamar. Matanya jatuh lagi pada dua lelaki yang masih asyik tidur di ranjang.
“Heiii, kalian bangun!” seru Zia dengan suara cukup keras.
Aksa menggeliat pelan, setengah sadar tapi malas membuka mata. “Lima menit lagi…” gumamnya.
Zia menatapnya sambil menghela napas panjang. “Dasar cowok pemalas.” Ia akhirnya memilih untuk tidak memaksa. Lebih baik ia fokus pada dirinya dulu.
Zia pun pergi ke kamarnya sendiri. Ia menyalakan shower sebentar, lalu mandi. Selesai, ia mengganti pakaiannya menjadi seragam sekolah yang sudah disetrika rapi sejak semalam. Rambutnya ia sisir perlahan, lalu berdiri di depan meja rias.
Tangannya meraih sebuah laci kecil. Dari sana ia mengeluarkan sebuah kalung sederhana, tapi jelas punya makna. Zia menatap kalung itu lama, matanya sedikit menerawang. Ia mengelus bandul itu perlahan, seperti sedang menyapa kenangan yang terukir di dalamnya.
“Udah lama nggak dipakai…” bisiknya pelan. Setelah beberapa menit, ia menyimpan lagi kalung itu ke dalam kotak, lalu berdiri. Masih banyak yang harus ia kerjakan pagi ini.
★★
Tok tok tok.
Suara ketukan keras di pintu kayu sederhana rumah itu menggema hingga ke dalam. Lina yang sedang menjemur pakaian di belakang rumah sempat menghentikan kegiatannya, wajahnya berubah cemas.
“Buka pintunya!” teriak seorang pria dengan suara lantang. Suaranya tidak asing, berat, penuh tekanan. Juragan Tono.
Lina buru-buru menuju pintu depan, namun sebelum sempat memutar kunci, paman Ardi sudah lebih dulu menyibakkan daun pintu. Begitu terbuka, tampaklah Juragan Tono berdiri dengan kedua tangan bersedekap. Di belakangnya ada dua preman berbadan tegap, wajah mereka kaku tanpa senyum.
“Ardi!” suara Juragan Tono lantang, penuh amarah. “Sudah lebih dari dua minggu. Kapan kau akan bayar hutangmu?”
Ardi mengangkat dagu, wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. “Sabar dulu, Juragan. Uang itu pasti ada. Tinggal tunggu sedikit waktu.”
Juragan melotot. “Kau selalu bilang begitu! Sampai kapan?!”
Dengan nada malas, Ardi menyeringai tipis. “Kalau nggak percaya, silakan ambil keponakan saya. Bukankah dari awal itu perjanjianya?”
Juragan Tono mencondongkan tubuh, menatap tajam. “Jadi kau rela menyerahkan ponakanmu sendiri?”
Ardi mengangkat bahu, seolah tak peduli. “Kenapa tidak? Toh bukan anak saya. Kalau dia bisa lunasi hutang, silakan. Kalau nggak, ya bawa saja. Saya tidak rugi.”
Juragan Tono menyeringai puas. “Baiklah. Siang nanti saya datang lagi. Pastikan ada jawaban.” Ia berbalik, diikuti dua premannya.
Begitu mereka pergi, Ardi menutup pintu dengan kasar. Ia menghela napas panjang, lalu duduk di kursi reyot. Tak lama, Lina muncul dari dalam dengan wajah kesal.
“Pasti Juragan Tono lagi, kan?” tanyanya dengan nada menyindir.
Ardi menatap istrinya dengan pandangan tajam. “Iya. Dia nagih hutang lagi.”
Lina mendengus. “Dan si Zia itu, masih juga belum transfer gaji? Dasar anak nggak tau diri. Kita susah payah rawat dia, eh sekarang malah enak-enakan kerja di mansion tanpa ngasih kita uang.”
Ardi menepuk meja. “Kalau dia pikir bisa lari dari tanggung jawab, salah besar! Mau nggak mau, dia harus ikut nanggung beban kita.”
"kita kemansion tempat Zia bekerja sekarang."
“Mas, tapi kita nggak tahu alamat mansionnya,” kata Lina sambil melipat tangan.
Ardi mendengus sinis. “Telepon dia dan minta alamatnya, tapi jangan bilang kalau kita mau ke sana. Biar dia nggak curiga.”
Lina meraih ponselnya, lalu menekan nomor Zia. Suara ceria terdengar dari seberang.
“Halo, Bi!”
Nada suara Lina berubah ketus. “Kasih tau alamat mansion tempat kamu kerja sekarang juga!”
Zia terdengar bingung. “Lho, buat apa, Bi?”
“Jangan banyak tanya! Cepetan kasih!” bentak Lina.
Dengan ragu, Zia pun menyebutkan alamat mansion itu. Begitu selesai, Lina langsung memutuskan telepon tanpa sepatah kata pun.
Ia menoleh pada Ardi dengan seringai puas. “Sudah. Zia kasih alamatnya.”
“Bagus.” Ardi berdiri, matanya berkilat penuh rencana busuk. “Kita datangi sekarang. Kalau dia nggak bisa bayar, kita serahkan saja langsung ke Juragan Tono. Biar dia jadi istri tua juragan itu, yang penting kita bebas dari hutang.”
Lina terkekeh kecil. “Memangnya dia bisa nolak? Dari dulu juga anak itu cuma numpang hidup sama kita. Sekarang saatnya dia balas budi.”
Ardi meraih jaket lusuhnya, lalu menatap istrinya. “Cepat kunci rumah. Jangan buang waktu. Aku nggak sabar lihat wajahnya kaget waktu tahu rencanaku.”
Lina terkekeh sambil memutar kunci pintu. “Dasar anak bodoh itu. Selalu nurut apa yang kita mau, Padahal sejak awal kita cuma pakai dia buat kepentingan kita.”
Keduanya pun melangkah keluar rumah dengan hati dingin. Bukan dengan rasa khawatir, melainkan dengan tekad kejam: menyerahkan Zia pada Juragan Tono demi keselamatan mereka sendiri.
Dan di ujung perjalanan itu, sebuah mansion megah sedang menunggu. Zia sama sekali tak tahu, keluarga yang selama ini ia hormati sedang menyiapkan pengkhianatan paling pahit dalam hidupnya.
____
Sebuah taksi berhenti di depan mansion yang menjulang megah, dengan pilar-pilar tinggi dan pagar besi yang kokoh. BI Lina dan Paman Ardi turun dari mobil itu. Mata mereka terbelalak, mulut ternganga.
“Mas… beneran ini mansionnya?” gumam BI Lina, hampir tak percaya.
“Iyalah! Kan si Zia yang ngasih alamatnya. Masa salah?” sahut Ardi dengan nada pongah, meski dalam hatinya ia sendiri takjub dengan kemewahan bangunan itu.
Dengan langkah cepat, keduanya mendekati gerbang besar. Seorang satpam yang berjaga langsung menatap curiga.
“Kalian ada keperluan apa?” tanya satpam itu dingin.
“Bukakan gerbangnya,” ucap BI Lina ketus.
Satpam menggeleng. “Tidak bisa kalau tidak ada keperluan penting.”
“Apakah kalian sudah ada janji dengan penghuni rumah?” lanjutnya tegas.
“Panggilkan Zia. Cepat!” bentak BI Lina, wajahnya merah karena kesal.
Satpam itu menghela napas, lalu berkata, “Baik, saya panggilkan Neng Zia dulu.” Ia pun berjalan masuk, meninggalkan keduanya yang gelisah.
Beberapa menit kemudian, satpam kembali, kali ini bersama Zia yang mengenakan seragam sekolah. Gadis itu berjalan terburu, matanya membesar begitu melihat siapa yang berdiri di depan gerbang.
“Paman… Bibi?” gumam Zia tak percaya. “Kenapa kalian bisa ada di sini?”
“Zia!” teriak Ardi dengan suara berat, suaranya penuh tekanan.
“Bibi sama Paman ngapain sih ke sini pagi-pagi?” tanya Zia dengan heran, nadanya masih sopan meski ia mulai merasa tidak enak.
“Kenapa? Nggak boleh?” sindir BI Lina dengan tatapan tajam.
“Bukan begitu maksud Zia…” sahut Zia gugup.
“Sudahlah, Zia! Buka gerbangnya. Ada yang mau kita bicarakan.” Suara Ardi terdengar tegas, lebih seperti perintah daripada permintaan.
Zia menoleh pada satpam. “Pak, tolong bukakan gerbangnya. Mereka paman dan bibi saya.”
“Baik, Neng,” jawab satpam dengan ragu sebelum membuka pintu besi yang tinggi itu.
Begitu masuk, Ardi dan Lina langsung menghampiri Zia. Senyum sinis mengembang di wajah mereka, berbeda jauh dengan keramahan keluarga pada umumnya.
“Kapan kamu akan bayar hutang kita pada Juragan Tono?” tanya Lina dingin.
Zia terbelalak. “Ya ampun, Bi… tiba-tiba banget ngomong gitu. Lagian Zia belum gajian!”
“Kamu tahu nggak? Pagi-pagi Juragan Tono sudah datang ke rumah kita nagih hutang!” bentak Ardi, suaranya membuat Zia kaget.
“Tapi Zia belum gajian, Paman…” jawab Zia dengan lirih, kepalanya menunduk.
Ardi mendengus. “Kalau begitu, tidak ada pilihan. Kamu harus menikah siang ini juga dengan Juragan Tono!”
“Apa?!” Zia langsung menggeleng keras. “Nggak! Zia nggak mau!” Suaranya bergetar, matanya memanas menahan tangis.
“Dasar anak nggak tahu diri!” bentak Lina. Ia langsung meraih tangan Zia dengan kasar, berusaha menariknya keluar gerbang.
“Hiksss… Zia nggak mau!” teriak Zia, mencoba melepaskan diri.
“Diam! Jangan berteriak bodoh!” hardik Ardi, matanya menyipit marah.
Zia berusaha menahan langkah, kakinya menyeret tanah. Namun kekuatan Ardi dan Lina jauh lebih besar. Ia hanya bisa menangis, tubuh mungilnya digiring paksa.
Para pekerja mansion yang melihat dari kejauhan hanya saling pandang, tidak berani ikut campur. Mereka tahu aturan: tidak boleh ikut dalam urusan yang lain.
Namun keributan itu ternyata sampai ke telinga Aksa dan Azka, yang saat itu masih berada di dalam. Awalnya mereka hanya mendengar suara gaduh samar, tapi semakin lama semakin jelas.
“Apaan sih ribut-ribut di luar?” gumam Aksa sambil berdiri dari kursi.
Azka yang sedang membereskan kemejanya juga menoleh. “Kita cek aja. Kayak kenal suaranya.”
Keduanya berjalan menuju halaman depan, dan saat pintu terbuka, pemandangan di depan mereka membuat darah mendidih.
Zia sedang ditarik-tarik dengan kasar oleh sepasang suami istri yang tampak kejam. Wajah Zia penuh air mata, suaranya parau memohon.
“Lepasin aku, Bi! Paman! Jangan paksa Zia!”
Aksa langsung maju beberapa langkah, wajahnya merah padam. “HEI! Apa-apaan kalian tarik-tarik zia kayak gitu?!”
Ardi menoleh dengan tatapan tajam. “Jangan ikut campur, ini urusan keluarga kami!”
Azka ikut maju, berdiri di samping Aksa. “Urusan keluarga? Dari cara kalian narik Zia, itu bukan urusan keluarga. Itu kekerasan!”
Lina mendengus, wajahnya sinis. “Kalian nggak tahu apa-apa. Anak ini punya kewajiban. Kalau nggak bisa bayar hutang, dia harus tanggung konsekuensinya!”
“Apa maksud kalian?” tanya Aksa tajam.
“Dia harus menikah dengan Juragan Tono hari ini!” jawab Ardi lantang, tanpa rasa malu.
Zia terisak, berusaha meraih tangan Aksa. “Aku nggak mau, tolong… jangan biarin mereka bawa aku!”
Aksa mengepalkan tangan. “Ck! Jadi kalian tega jual keponakan kalian sendiri demi hutang?!”
Azka melangkah maju, tatapannya membunuh. “Kalau kalian pikir bisa seenaknya tarik Zia keluar dari sini, kalian salah besar. Ini mansion kami. Selama Zia di sini, dia aman.”
Ardi mendesis, “Jangan sok jadi pahlawan. Kalau kalian melindungi dia, berarti kalian juga siap tanggung hutangnya.”
Aksa tertawa sinis. “Hutang kalian? Itu tanggung jawab kalian. Bukan Zia.”
Lina berusaha menarik Zia lebih kuat, tapi Aksa dengan cepat meraih lengan Zia dan menariknya ke belakang, menjauhkannya dari genggaman mereka.
“Lepas!” bentak Aksa. “Kalian nggak punya hak apa-apa atas zia!”
Zia langsung bersembunyi di balik tubuh Aksa, menangis terisak. Azka berdiri tegak di sisi lain, menatap tajam Ardi dan Lina yang kini mulai kehilangan kata-kata.
Suasana menegang. Ardi mengepalkan tangan, sementara Lina menatap dengan penuh kebencian. Namun tatapan dingin dari kedua kakak beradik itu cukup membuat mereka ragu untuk melangkah lebih jauh.
Di halaman mansion itu, udara pagi yang tadinya tenang berubah menjadi panas. Pertarungan bukan dengan pukulan, melainkan dengan kata-kata, harga diri, dan keberanian untuk melindungi seseorang yang nyaris dijual keluarganya sendiri.
.
.
...Terima kasih sudah membaca sampai akhir bab ini, Kira-kira, menurut kalian cerita ini akan berakhir di bab ke berapa ya?...
...aku sendiri masih terus menuliskan kisah ini dengan penuh semangat, dan setiap bab membawa kejutan baru yang mungkin tak terduga. Jangan bosan untuk terus mengikuti perjalanan tokoh-tokohnya, karena masih banyak rahasia, konflik, dan perasaan yang akan terungkap. Jadi, tetaplah menantikan kelanjutan bab selanjutnya. Siapa tahu, jawaban yang kalian tunggu sudah dekat, atau justru semakin jauh....
.......