Di tengah derasnya hujan di sebuah taman kota, Alana berteduh di bawah sebuah gazebo tua. Hujan bukanlah hal yang asing baginya—setiap tetesnya seolah membawa kenangan akan masa lalunya yang pahit. Namun, hari itu, hujan membawa seseorang yang tak terduga.
Arka, pria dengan senyum hangat dan mata yang teduh, kebetulan berteduh di tempat yang sama. Percakapan ringan di antara derai hujan perlahan membuka kisah hidup mereka. Nayla yang masih terjebak dalam bayang-bayang cinta lamanya, dan Arka yang ternyata juga menyimpan luka hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindi Tati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 33
Halaman 33
Pertaruhan Mimpi
Setelah Nayla memutuskan untuk kembali percaya, hubungan mereka terasa lebih tenang. Hari-hari di kota kecil itu kembali dipenuhi tawa, meski sesekali bayang-bayang masa lalu masih muncul. Arka menghabiskan lebih banyak waktu di sanggar, membantu Nayla menyiapkan pameran anak-anak, menemani kelas, bahkan sesekali menjadi sukarelawan kecil untuk acara komunitas. Kehadiran Arka membuat Nayla merasa tak lagi sendirian.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Suatu sore, ketika hujan turun dengan lembut, Arka menerima sebuah telepon penting. Dari nada bicaranya yang serius, Nayla tahu itu bukan telepon biasa.
Setelah menutup panggilan, Arka duduk termenung. Nayla mendekat, menatapnya penuh tanya.
“Ka, ada apa?”
Arka menarik napas panjang. “Nay, itu dari kantor pusat. Mereka nawarin aku posisi baru… di Singapura. Gajinya jauh lebih besar, proyeknya prestisius. Ini bisa jadi lompatan besar buat karierku.”
Nayla terdiam. Hatinya campur aduk. Di satu sisi, ia bangga—ini bukti bahwa Arka memang berbakat dan dihargai. Di sisi lain, ia takut. Tawaran itu berarti Arka harus pindah, meninggalkannya lagi.
“Kalau kamu terima, itu artinya kamu harus tinggal di luar negeri, kan?” tanya Nayla lirih.
Arka mengangguk. “Iya. Minimal dua tahun. Aku bisa bolak-balik, tapi tentu nggak akan sama kayak sekarang.”
Hujan semakin deras di luar jendela. Suara air seperti mempertegas keheningan yang melingkupi mereka.
Malam itu, Nayla tak bisa tidur. Ia duduk di meja kerjanya, menatap buku-buku catatan dan karya seni anak-anak sanggar. Sanggar ini bukan sekadar tempat baginya, melainkan rumah, sumber kebahagiaan, dan cita-cita yang ia bangun dengan susah payah.
Ia tahu, jika Arka menerima tawaran itu, ia harus memilih: ikut bersama Arka ke luar negeri dan meninggalkan sanggar, atau tetap di kota kecil ini dengan risiko hubungan jarak jauh.
Air matanya jatuh tanpa sadar. Untuk pertama kalinya, ia bertanya pada dirinya sendiri: Apakah cinta selalu berarti mengikuti ke mana pasangan pergi? Atau cinta juga berarti tetap berdiri di jalan yang berbeda, tapi saling mendukung dari jauh?
Keesokan harinya, Nayla memberanikan diri bicara. Mereka duduk berdua di beranda sanggar, ditemani aroma tanah basah setelah hujan.
“Ka,” ucap Nayla, “aku tahu tawaran itu penting buat kamu. Aku nggak mau jadi orang yang menghalangi mimpimu. Tapi aku juga punya mimpi di sini. Sanggar ini… anak-anak ini… mereka bagian dari hidupku. Aku nggak bisa ninggalin semuanya begitu saja.”
Arka menatapnya dengan mata penuh dilema. “Aku ngerti, Nay. Aku juga nggak mau kamu harus mengorbankan apa yang kamu cintai. Tapi gimana kalau kita coba jalanin jarak jauh dulu? Siapa tahu bisa berhasil.”
Nayla menunduk, jantungnya terasa berat. “Kita udah pernah hampir hancur karena jarak, Ka. Aku takut kalau kali ini kita nggak bisa bertahan.”
Arka menggenggam tangannya erat. “Nay, aku janji aku akan berusaha. Aku nggak akan ulangi kesalahan kemarin. Aku akan transparan, aku akan kasih kabar, aku akan pulang sesering mungkin. Aku rela lakukan apa pun supaya kamu nggak merasa sendirian.”
Nayla menatap mata Arka. Di sana ia melihat kesungguhan, tapi juga ketakutan yang sama dengan dirinya. Mereka berdua tahu: pilihan ini bukan sekadar soal pekerjaan atau sanggar. Ini soal masa depan hubungan mereka.
Hari-hari berikutnya dipenuhi kebisuan yang aneh. Mereka tetap bersama, tetap tertawa, tapi di balik senyum ada pertanyaan besar yang tak kunjung terjawab: Apakah cinta cukup kuat untuk bertahan di tengah perbedaan mimpi?
Nayla mulai menulis lebih sering di buku hariannya. Ia menuliskan segala kegelisahan, ketakutan, dan harapan. Salah satu tulisannya berbunyi:
“Cinta bukan hanya tentang saling memiliki. Cinta juga tentang berani melepaskan, jika itu yang terbaik untuk orang yang kita sayangi. Tapi apakah aku siap melepaskan Arka? Atau justru aku yang akan hancur jika harus kehilangan dia?”
Konflik mencapai puncak ketika Nayla mendapat kabar bahwa pameran seni anak-anak dari sanggarnya lolos seleksi untuk dipamerkan di Jakarta. Itu kabar besar—mimpi yang selama ini ia kejar.
Dengan mata berbinar, Nayla menceritakannya pada Arka. “Ka, kamu tahu nggak? Pameran kita lolos! Anak-anak bisa tampil di Jakarta bulan depan! Ini kesempatan emas buat mereka!”
Arka tersenyum, tapi senyum itu tak sepenuhnya lepas. “Aku bangga banget sama kamu, Nay. Tapi… bulan depan aku mungkin udah harus berangkat ke Singapura.”
Nayla terdiam. Hatinya terasa seperti ditarik ke dua arah yang berlawanan. Di satu sisi, kebahagiaan anak-anak sanggar yang akan tampil di Jakarta. Di sisi lain, kenyataan bahwa Arka mungkin sudah tak ada di sisinya saat momen penting itu terjadi.
Malamnya, hujan deras kembali turun. Mereka berdua duduk di beranda, masing-masing larut dalam pikiran. Akhirnya Nayla berkata, dengan suara pelan tapi tegas, “Ka, aku nggak mau kamu batalin mimpimu cuma karena aku. Tapi aku juga nggak mau ninggalin mimpiku demi ikut kamu. Jadi mungkin… kita harus belajar mencintai dari jauh.”
Arka terhenyak. “Nay, kamu serius? Kamu yakin kita bisa?”
Air mata Nayla jatuh, tapi ia mengangguk. “Aku nggak tahu. Tapi aku percaya, kalau cinta kita cukup kuat, hujan apa pun nggak akan bisa memisahkan kita.”
Arka meraih wajahnya, menghapus air mata itu. “Kalau itu keputusanmu, aku akan berjuang, Nay. Aku akan buktikan bahwa jarak bukan akhir dari kita.”
Mereka berpelukan erat di bawah suara hujan. Tak ada yang tahu bagaimana masa depan akan berjalan, tapi malam itu mereka memilih untuk percaya—percaya bahwa cinta mereka bisa bertahan, meski dengan cara yang berbeda.
Dan di balik derasnya air yang turun dari langit, mereka tahu: hujan selalu membawa ujian, tapi juga selalu memberi kesempatan untuk tumbuh.