Disarankan membaca Harumi dan After office terlebih dahulu, agar paham alur dan tokoh cerita.
Buket bunga yang tak sengaja Ari tangkap di pernikahan Mia, dia berikan begitu saja pada perempuan ber-dress batik tak jauh darinya. Hal kecil itu tak menyangka akan berpengaruh pada hidupnya tiga tahun kemudian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Belum Malam Pertama
Rasanya tubuhnya lelah sekali, ingin rasanya merebahkan diri di kasur yang empuk. Sepanjang akhir pekan kemarin, Sandi belum benar-benar istirahat.
Tiga malam berturut-turut, dia selalu berada dalam perjalanan. Entah pesawat atau kereta api. Jadi tidurnya belum-belum nyenyak layaknya tidur di kasur.
"Perasaan Jumat kemarin, Lo bilang mau ke Malang. Kenapa oleh-olehnya jadi getuk goreng? Ini bukannya dari Sokaraja, ya? Kampung mertua Lo, kan Ndah?" Tanya Haris sambil memakan makanan yang terbuat dari olahan singkong.
Indah berdehem, "diajak keliling Jawa dia."
"Gratisan pasti," Willy ikut berkomentar.
Pagi ini, mereka datang awal dari jam kerja karena Sandi menjanjikan membawa banyak oleh-oleh yang akan dibagikan pada rekan satu divisinya.
"Tau aja, bang! aku kan baru di sini. Uangku belum cukup kalau buat jalan-jalan." Sandi nyengir.
Semua rekan satu divisinya berkumpul mengelilingi meja serba guna di salah satu sudut ruangan. Mereka biasa menaruh barang-barang random di sana.
"Minggu depan mau kemana lagi, San? Biar Senin gue bawa nasi lebih banyak." Tutur Arka. Lelaki yang belum lama menikah itu, sedang menikmati sarapan dengan udang dan cumi crispy yang dibawa Sandi.
"Mau tidur aja, bang! Kayaknya aku butuh tidur lebih lama." Jawabnya. "Bang Ringgo mau kripik pisang juga nggak?" Tanyanya pada sang manajer.
"Mau dong, ya kali nolak. Kesukaannya bini gue tuh!" Ringgo sedang sarapan dan duduk bersebelahan dengan Arka.
Sandi kembali memasukan masing-masing satu keripik pisang buatan mertuanya, ke dalam kantong kertas. Keluarga Ari memiliki usaha pembuatan makanan berbahan dasar pisang.
"Ikan teri sama terasi, mau juga nggak?" Tanya Sandi lagi.
"Mauuu ..." Sahut mereka kompak. Sandi kembali memasukannya ke dalam kantung kertas.
"Dulu, Gita, terus Mia, sekarang Sandi. Ya ampun ... Divisi kita benar-benar diberkahi." Ujar Haris.
"Setuju gue sih!" Indah setuju dengan pendapat salah satu rekan kerjanya.
Kegiatan Sandi terhenti karena layar ponselnya berkedip, terlihat suaminya mengiriminya pesan. "Kayaknya rencana aku buat tidur seharian weekend besok gagal total." Dia tersenyum kecut.
"Kenapa emang?" Tanya Arka.
"Diajak kemana lagi sama mas Jawa, neng Sandi? Hobi banget jalan-jalan ya!" kata Indah.
"Kalian sibuk nggak Sabtu besok?" Tanya Sandi.
"Ada apa emang?" Tanya Ringgo balik."
"Jalan-jalan yuk! Ditraktir sama mas ku."
"Wah ... Gue jadi penasaran sama sosok 'mas ku' versi si bungsu." Tutur Haris, mulutnya masih sibuk mengunyah makanan berwarna cokelat yang memiliki rasa manis.
"Gue rasa Lo kenal sih!" Indah menyela.
"Gue kenal nggak mbak?" Tanya Arka.
"Lo sama Willy nggak." Indah menunjuk dua juniornya dengan keripik pisang yang hendak dimakannya.
"Gue sama Haris kenal?" Ringgo menghentikan kunyahannya. "Jadi penasaran gue."
"Kemarin Jumat dia beliin Irene sama Nino kue di bawah, ya kan San?" Indah tersenyum.
"Wah ... Curang, gue nggak dibeliin juga." Willy tak mau kalah.
"Kemarin Jumat cuma gue berdua Sandi yang turun, Lo semua kan lembur." Sahut Indah.
"Dasar Lo pencinta gratisan." Cibir Haris pada salah satu juniornya.
"Siapa sih Ndah? Serius gue penasaran banget." Tutur manajer.
"Penasaran apaan, Nggo?" Sosok laki-laki Cindo memasuki work station divisi keuangan. "Wey, bagi-bagi oleh-oleh nih. Tetangga nggak dibagi ya!" Leon mencomot getuk goreng yang ada di hadapan Haris.
"Gue sama Ringgo penasaran sama cowoknya Sandi, Pak! Indah bilang masa kita kenal." Haris menyahut.
"Duduk pak!" Arka memberikan bangku plastik untuk manajer sebelah.
Leon bergumam terima kasih. "Gue kenal juga, nggak Ndah?"
Indah mengangguk. "Cobain pak, keripik pisangnya selera bapak banget nih!" dia menyodorkan pada Leon.
Leon mengambil lalu mengunyahnya, mereka yang di sana seolah menunggu komentar dari manajer pemasaran itu. "Gurih, asin. Gue suka nih!" masih ada nggak San? Mau dong!" Sandi mengangguk. "Rasanya sama kayak yang biasa dibawa Unge, iya nggak?" Leon bertanya pada Ringgo dan Haris.
"Iya bener, pak! Baru inget gue." Haris sependapat.
Sandi dan Indah saling lirik, keduanya seolah berkomunikasi lewat tatapan mata. Indah memutusnya terlebih dahulu, "Pak Leon ada apaan pagi-pagi ketempat kita? Tumben." Dia sengaja mengalihkan pembicaraan, agar sosok cowok juniornya tak lagi dibahas. Belum saatnya.
Pembicaraan mereka teralihkan oleh pembahasan pekerjaan, empat orang fokus mendengarkan perkataan Leon. Sementara Sandi tersenyum dan mengucapkan 'terima kasih' pada Indah tanpa suara. Hanya gerak mulut saja.
***
Seperti janji Sandi Jumat kemarin, Senin sore dia lembur hingga tiga jam dari waktu pulang kerja. Dia lembur bersama Willy dan Haris. Sementara Ringgo dan Arka, pergi bersama Leon dan salah satu staf pemasaran pergi keluar kota sedari siang.
Willy meregangkan tangannya, pekerjaan tak kunjung selesai. Tapi waktu lemburnya dibatasi, supaya tak sampai larut malam. "Nebeng nggak Lo? Gue mau ke arah kosan Lo!" tawar Willy pada juniornya.
Sandi sedang membereskan kubikelnya. "Aku dijemput, Bang!"
"Sama cowok Lo?" Tanya Haris.
"Iya, mas! Udah Dateng dia." Jawab Sandi.
"Kenalin gue dong! Penasaran gue, masa gue kenal.” Haris masih penasaran.
"Sabtu besok aja, Mas! Kan bakal ketemu juga." Usul Sandi.
Ari berencana mengajak rekan satu divisi Sandi untuk mengunjungi rumah bambu yang pernah mereka datangi beberapa Minggu lalu. Tidak menginap hanya sekedar berkumpul makan bersama dan memanen beberapa hasil kebun, yang ditanam di sekitar rumah.
"Ya udah deh, mudah-mudahan gue nggak kelewat penasaran."
Mereka bertiga turun bersama, Sandi turun di lobi. Sementara Haris dan Willy turun di parkiran bawah.
Suasana Lobi sudah sepi, mengingat ini sudah pukul delapan malam. Hanya ada beberapa sekuriti dan staf yang baru pulang lembur.
Ari melambaikan tangannya, lelaki itu baru saja keluar dari kedai kopi. Sandi mempercepat langkahnya dan menyalami suaminya begitu jarak mereka cukup dekat.
"Motor kamu diparkir di mana?" Tanya Sandi.
Ari merangkul istrinya dan melangkah keluar dari lobi. "Di parkiran samping, tadi aku pesenin kwetiau buat kita makan malam. Jadi sekalian numpang parkir."
Tadi sore Ari menawarinya menu makan malam, "oleh-oleh buat Mbak Mia udah kamu kasih?" Tanya Sandi.
"Udah aku titipin suaminya." Sahut Ari.
"Kok bisa? Bukannya Pak Jaka sentimen sama kamu."
"Aku Wa Mia tadi pagi, tapi suaminya yang bales pakai nomor lain dan minta supaya aku antar ke kantor aja. Ya udah aku anter ke sini." Ari bercerita. "Masih posesif aja, padahal dari dulu aku nggak ada niatan buat jadian sama Mia. Aku anggap Mia kayak adik perempuan aja, sama kayak Gita dan Dita." Dia tak habis pikir.
"Kalau kata Mbak Mia, kamu itu suami idaman. Apalagi waktu kamu masih jadi ASN." Sandi ingat cerita Mia tentang sosok Ari.
"Sayangnya aku udah bukan ASN lagi, tapi sekarang aku punya kamu. Semoga aja aku ini suami idaman kamu." Ari mencuri kecupan di pipi istrinya.
Sandi mendelik, "Mas ... Ini tempat umum." Dia memperingatkan, apalagi mereka sudah tiba di jalan samping gedung.
"Biarin aja, toh kita udah sah jadi suami-istri." Ujar Ari santai. "Oh ya, ngomong-ngomong soal suami-istri. Kita belum malam pertama, nggak sih?"
Sandi mendelik, tak menyangka suaminya membahas hal tersebut. "Malam ini bisa nggak kira-kira?" Tanya Ari.
"Besok aku masuk jam tujuh." Sandi beralasan.
Ari melihat ke arah pergelangan tangannya, dia bahkan menghentikan langkahnya. "Masih ada waktu sebelas jam, sementara kita gituan paling cuma satu jam." Katanya. "Tapi kalau aku nggak minta nambah, ya!"
Sandi mencubit perut istrinya, sialnya susah sekali. Karena terlalu keras. "Sayang ... Kamu mancing duluan, tunggu di rumah dong! Atau mau ke hotel aja?"
"Mas ..."