NovelToon NovelToon
Naugthy My Prince

Naugthy My Prince

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / Bad Boy / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Prince play boy tingkat dewa yang sudah terkenal dengan ketampan nya, cukup dengan lirikan nya mampu membuat para kaum hawa menjerit histeris meminta Prince untuk menikahi mereka.

Suatu hari Prince mendapatkan tantangan untuk memacari siswi terjelek disekolah nya selama seminggu, namun jika ia menolak hukuman yang harus ia terima yaitu memutuskan semua pacar nya yang sudah tidak terhitung jumlah nya.
Prince mau tak mau menerima tantangan teman nya yaitu memacari adik kelas nya yang di cap siswi terjelek disekolah.

Berniat untuk mempermainkan adik kelas nya, Prince justru terjebak oleh permainan nya sendiri.

bagaimana kelanjutan nya, langsung cek sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dalam sunyi

Lampu temaram menyinari kamar steril yang tersembunyi jauh dari dunia luar. Mesin pemantau berdetak pelan, menunjukkan ritme napas Margaret yang stabil—meski lemah.

Tubuhnya yang ringkih terbaring diam di atas ranjang putih, selimut menutupi tubuhnya hingga dada. Rambutnya mulai menipis, kelopak matanya tertutup, dan infus masih terpasang di tangan mungil itu.

Pintu terbuka perlahan, nyaris tak bersuara.

Langkah kaki halus menyusuri lantai dingin itu. Arkan masuk ke dalam, mengenakan hoodie hitam dan celana training abu, wajahnya tenang, namun sorot matanya dalam dan sulit ditebak.

Ia menutup pintu perlahan lalu mendekat ke ranjang.

Margaret tak bergeming.

“Efek biusnya masih bekerja...” bisik Arkan lirih, lebih kepada dirinya sendiri.

“Kau lelah, ya?”

Dengan hati-hati, Arkan duduk di tepi ranjang, tangannya menyentuh pinggiran kasur seolah sedang menyentuh sesuatu yang rapuh. Ia memandangi wajah Margaret lama—wajah yang kini jauh lebih tirus dari pertama kali ia lihat di koridor sekolah.

Ia lalu meletakkan ponsel dan jam tangannya di meja kecil. Dan dengan gerakan lembut... Arkan merebahkan diri di sebelah Margaret.

Suara detak mesin dan napas Margaret jadi satu-satunya musik di ruangan itu.

Perlahan... Arkan menyelinap di bawah selimut, merapatkan tubuhnya ke sisi Margaret. Lalu... lengannya bergerak, melingkar di perut Margaret dengan pelukan hati-hati.

Ia menarik tubuhnya sedikit lebih dekat hingga wajahnya nyaris menyentuh pipi Margaret.

Margaret tetap tertidur. Tak sadar akan pelukan yang tiba-tiba mengelilinginya.

Arkan menunduk, mengusap helaian tipis rambut Margaret dengan ujung jari, lalu menyelipkan sebagian ke belakang telinganya.

“Lo... kelihatan damai banget pas tidur.”

“Gue gak tahu... kenapa dunia tega ngasih lo penyakit seberat ini.”

Suara Arkan nyaris seperti doa.

Tapi ucapannya... adalah mantera kepemilikan.

“Tapi sekarang lo di sini. Bersama gue.

Dunia gak bisa nyakitin lo lagi... kecuali gue izinkan.”

Tatapannya menyapu wajah Margaret, pelan tapi dalam.

“Gue tahu ini salah...” bisiknya serak.

“Tapi kalau ‘menyelamatkan’ artinya menjauhkan lo dari semua orang... maka itu harga yang layak gue bayar.”

Ia mengecup pelan dahi Margaret, terlalu lembut hingga tak membangunkannya.

Lalu kembali memejamkan mata sambil tetap memeluk tubuh itu erat.

Seolah... dalam tidur Margaret yang tak sadar...

Arkan sedang bermimpi bahwa Margaret memang miliknya—tanpa penolakan, tanpa perpisahan.

Dan di tengah keheningan ruangan itu...

hanya satu yang tidak bisa disembunyikan:

Betapa cinta bisa berubah menjadi penjara paling lembut.

Dalam pelukannya, Margaret sedikit menggeliat. Tubuh lemah itu bergerak tak sadar, bibirnya menggumam samar sesuatu yang tak bisa dipahami.

Arkan segera membuka mata, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia menoleh, menatap wajah Margaret.

“Jangan bangun dulu,” bisiknya nyaris tak terdengar, jari-jarinya membelai pelipis Margaret.

“Kau belum siap… dunia belum siap.”

Margaret kembali tenang, seperti jatuh lebih dalam ke efek bius. Wajahnya masih pucat, dan mata di bawah kelopak itu tampak cekung. Arkan memperhatikan tiap detail wajah itu, seolah ingin mengingat bentuknya... jika suatu hari dunia memaksanya melepaskan.

“Lo tahu gak, Mar…”

“Gue pertama kali liat lo bukan pas di taman sekolah.”

“Gue ngelihat lo jauh sebelum itu. Dari jauh. Gue ngerasa... aneh.

Seolah dunia ngasih satu fragmen hidup yang... harus gue lindungi.”

“Atau... miliki.”

Ia menghela napas pelan, lalu menunduk menyandarkan keningnya ke ubun-ubun Margaret.

“Lo itu gak boleh pergi. Gak dari dunia ini. Dan... gak dari gue.”

**

Mesin di samping tempat tidur berbunyi lembut. Stabil.

Seolah ikut menjadi saksi pelukan paling sunyi yang tak diinginkan dunia.

Arkan mengangkat kepala, menatap wajah Margaret yang begitu dekat. Bibir pucat itu bergerak sangat halus. Sebuah bisikan meluncur keluar tanpa sadar:

“Prince...”

Seketika, dunia Arkan yang tenang… terasa seperti dihantam palu besar.

Tangannya mengencang di pinggang Margaret, namun tak menyakitkan. Wajahnya tak menunjukkan emosi. Tapi matanya berubah.

Kosong.

Datar.

Berbahaya.

Ia menarik napas panjang, lalu kembali berbisik:

“Gue gak akan nyakitin lo. Tapi gue juga gak akan biarin siapapun rebut lo lagi.”

“Lo akan sembuh. Tapi bukan untuk balik ke mereka.”

“Lo akan sembuh... untuk tetap hidup dalam dunia yang gue ciptain.”

**

Tak lama kemudian, Arkan bangkit pelan dari ranjang. Ia menyelimuti tubuh Margaret rapat-rapat, lalu menatapnya sekali lagi sebelum mematikan lampu.

Ruang itu kembali gelap.

Sunyi.

Dan dingin.

Tapi bagi Arkan, tempat itu… adalah rumah.

Karena satu-satunya orang yang ingin ia lindungi, satu-satunya yang membuat jantungnya berdetak... sedang tidur di dalamnya.

“Selamat tidur, Margaret.”

“Jangan mimpiin dia lagi.”

________________

Di sudut ruangan, suasana remang dengan cahaya dari layar CCTV dan peta digital yang terbuka di monitor raksasa. Layar-layar itu menampilkan berbagai titik: sekolah, rumah sakit, rumah Margaret, kantor polisi, bahkan area pencarian terbaru.

Arkan duduk tenang di kursi, mengenakan hoodie hitam dan headphone menyala di telinga. Ia tidak sedang menyembunyikan sesuatu. Ia sedang menyaksikan sesuatu yang telah ia rancang... berjalan sesuai rencana.

“Margaret hilang sudah dua minggu,” suara seorang reporter terdengar dari layar.

“Polisi telah membentuk tim khusus, dipimpin oleh Komisaris Bayu.”

Arkan tersenyum tipis.

Komisaris Bayu.

Orang yang direkomendasikan Arkan sendiri... lewat tangan orang lain.

**

Beberapa minggu sebelum Margaret menghilang...

Arkan duduk di kursi kafe mahal, berhadapan dengan seorang pria berpakaian sipil. Wajahnya biasa saja, tidak terlalu ramah, tapi... profesional.

"Kamu yakin? Bantu kamu urus satu kasus anak hilang?" tanya pria itu.

Arkan hanya menatapnya, lalu menyodorkan selembar cek dan satu dokumen.

“Lo bukan bantu gue,” ucap Arkan datar.

“Lo bantu negara... tetap percaya bahwa hukum masih berjalan.”

“Dan yang lebih penting... lo bantu nyelametin satu jiwa yang ‘katanya’ udah gak punya waktu lagi.”

Pria itu membaca lembaran di hadapannya.

Profil palsu. Kasus palsu. Bukti palsu. Tapi dirancang dengan rapi.

Semuanya cukup untuk membuatnya tampak seperti prosedur yang sah.

**

Dan kini, hari ini...

Di ruang kerja komisaris Bayu, seorang polisi muda melapor:

“Pak, permintaan pelacakan nomor ponsel pengirim pesan ke keluarga Margaret... tidak bisa kami telusuri lebih lanjut. Jejak sinyalnya aneh.”

Bayu hanya mengangguk.

“Jangan buang waktu di sana. Fokus pada jalur pelarian. Bisa jadi anak itu kabur sendiri. Cari ke terminal dan stasiun.”

“Siap, Pak.”

Setelah polisi muda itu pergi, Bayu membuka lacinya. Di sana, tergeletak satu amplop… dengan simbol burung kecil di sudutnya.

Sama dengan simbol kecil di bawah alat pelacak milik Arkan di apartemen.

**

Kembali ke Arkan…

Ia duduk bersandar, menatap layar ponselnya yang menampilkan pesan-pesan antara tim pencari dan polisi.

Ia tahu semuanya. Setiap langkah. Setiap gerak.

Karena semua informasi itu... mengalir kembali padanya.

Ia menoleh ke layar di sisi lain.

Di sana, Margaret masih tertidur dengan infus dan selang tipis di lengan.

Matanya sedikit terbuka, napasnya berat, tapi stabil.

Arkan berdiri dan mendekat ke layar itu.

“Lo pikir mereka bisa nemuin lo?”

“Lo pikir sistem ini dibuat untuk melindungi orang kayak lo?”

Ia menatap layar dalam.

“Sistem ini... gue kendalikan. Semua geraknya gue desain.

Bahkan polisi yang mereka percaya... bekerja untuk menjaga rahasia gue tetap aman.”

“Karena gak ada yang benar-benar peduli sama lo, Margaret.

Kecuali gue.”

**

Dan di luar sana…

Prince, Karin, dan yang lain masih sibuk menyusun strategi.

Tanpa mereka tahu, setiap rencana yang mereka susun… sudah dicatat lebih dulu oleh Arkan.

Setiap gerakan mereka, adalah bagian dari panggung yang Arkan atur

1
Faulinsa
apakah Arkan malaikat pencabut nyawa? duh..
penulismalam4: Duh,bahaya ni
total 1 replies
Faulinsa
Arkan tu kayak cenayang gitu kah Thor? kok tahu masa depan??
Shintaa Purnomo
lumayan bagus, tetap semangat karna menulis dan merangkai sebuah cerita itu sulit
penulismalam4: iya, makasih ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!