Paijo, pria kampung yang hidupnya berubah setelah mengadu nasib ke Jakarta.
Senjata andalannya adalah Alvarez.
***
Sedikit bocoran, Paijo hidupnya mesakke kek pemeran utama di sinetron jam lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CACING ALASKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Sosok yang Ditelan Takdir
Langit Jakarta petang itu mendung, seolah ikut berkabung dalam diam.
Paijo berdiri mematung di depan kamar rumah sakit kelas VIP yang terasa jauh lebih sepi dari kamar petak di belakang rumah waktu kecil dulu. Di dalam ruangan itu, Mbok Sarni berbaring diam. Nafasnya satu-satu. Pelipisnya basah oleh keringat dingin, dan di sisi ranjang ada segelas air putih yang tak disentuh sejak pagi.
“Mbok…” bisik Paijo, suaranya gemetar. “Mbok Sarni… aku di sini.”
Tak ada jawaban.
Yang terdengar hanya bunyi detak jantung dari monitor mesin medis dan desiran napas rapuh dari wanita tua yang selama ini lebih dari sekadar pengasuh—lebih dari sekadar pelindung. Ia adalah segalanya bagi Paijo… satu-satunya penghubung yang tersisa antara dirinya dan asal-usul yang selalu kabur dalam kabut.
“Maaf ya Mbok… aku belum bisa bahagiain Mbok beneran. Aku masih jadi… apa ya… monster? Lelaki penyewa? Laki-laki sewaan?” Suaranya tertawa getir sendiri.
Lalu pelan, kelopak mata Mbok Sarni bergerak. Ia membuka matanya perlahan, pupilnya tampak keruh, tetapi masih menangkap bayangan wajah Paijo dengan samar.
“Le…” katanya nyaris seperti bisikan. “Le… ojo nangis… Anak lanang kok…”
Paijo menunduk, matanya panas.
“Mbok… aku sayang sama Mbok.” Paijo tak mampu membendung kesedihannya.
Mbok Sarni tersenyum kecil, tipis sekali. “Kowe… anak sing kuat. Tapi… tapi… Mbok… ora isa cerita kabeh…”
“Cerita apa, Mbok?” Tanya Paijo menjadi penasaran.
“Mbok… ora iso crita sopo Bapakmu…” ucapnya dengan napas yang terputus-putus. “Ra iso crita sopo Ibumu… Mbok… mbok... simpen kabeh kuwi…”
Paijo mendekat. “Mbok… Mbok jangan gitu. Mbok, ayo cerita sekarang. Aku butuh tahu. Aku ini siapa, Mbok…” Karena rasa penasaran, Paijo bertanya ingin tahu.
Tapi air mata Paijo mulai memburamkan pandangannya. Karena suara Mbok Sarni makin lirih, makin pelan… hingga akhirnya, senyumnya membeku. Nafasnya tertahan… dan monitor di sisi ranjangnya mendadak mengeluarkan bunyi panjang yang menusuk:
Beeeeeeeeep…
Semua dunia Paijo runtuh dalam satu suara itu. Suara yang menghentikan takdir kehidupan Paijo.
Mbok Sarni telah pergi.
Meninggalkan dunia, meninggalkan Paijo, dan lebih parah—meninggalkan semua kebenaran yang selama ini terkubur bersamanya.
Dan saat dokter dan perawat masuk tergesa-gesa, Paijo hanya duduk lemas. Ia memandangi wajah wanita tua yang begitu ia cintai… dan menyadari bahwa kini, ia benar-benar sendirian di dunia ini.
Tak ada siapapun yang dimilikinya di dunia ini.
...****************...
Tiga hari kemudian, Paijo kembali mengenakan jas hitam. Bukan untuk pemakaman lagi, tapi untuk menyambut klien barunya malam itu. Dunia gigolo tidak mengenal masa berkabung. Dunia itu hanya mengenal jadwal, penampilan, dan performa.
Sebagai “Alvarez”, kini ia hanya menjadi tubuh yang bergerak mengikuti perintah, bukan lagi manusia yang punya pilihan.
Hotel tempat pertemuan malam itu adalah salah satu yang paling mewah di Jakarta. Lorong-lorongnya berkarpet tebal, lampu kristalnya menggantung rendah seperti perhiasan raksasa. Tapi Paijo tak peduli.
Yang ia pikirkan hanya satu hal:
Apa aku sejahat ini sampai Tuhan mencabut semua orang yang mencintaiku?
Setiap kali memikirkan kenyataan pahit itu, Paijo hanya bisa menahan rasa sakit di dalam dada.
Ia berjalan ke arah lift dengan kepala menunduk, tak memperhatikan sekitarnya. Rasanya tidak ada tenaga di dalam dirinya saat ini, namun ia harus tetap melakukan pekerjaannya itu.
Demi Claudia. Ah, bukan! Demi dirinya yang selalu tunduk pada wanita itu.
Tapi tiba-tiba, di ujung lorong menuju ballroom tempat kliennya menunggu, Paijo melihat seseorang. Seorang perempuan. Wajahnya tak begitu jelas, tapi gaya jalannya… langkah kakinya… aura itu…
“Suzy?”
Langkah Paijo terhenti.
Perempuan itu melangkah ke dalam lorong kecil di sisi kiri ballroom. Paijo langsung mengejar tanpa pikir panjang, nyaris menjatuhkan seorang pelayan hotel yang membawa nampan wine.
“Eh, permisi! Maaf, Mas!” teriak pelayan itu, tapi Paijo tidak menggubris.
Ia menoleh ke lorong tadi.
Kosong.
Hening.
Tak ada siapa-siapa.
Hanya sebuah vas bunga besar dan cermin tinggi yang memantulkan wajahnya sendiri—wajah seorang lelaki yang kehilangan arah. Napas Paijo terengah, dan detak jantungnya lebih cepat dari biasanya. Ia menatap pantulan wajahnya.
“Suzy?” bisiknya pada udara. “Apa itu kamu?”
Tapi jawaban hanya datang dari hembusan AC dan denting gelas dari arah pesta di dalam ballroom.
Paijo berdiri terpaku. Tangannya mengepal. Ia tidak tahu apakah itu hanya bayangannya saja… atau mungkin memang Suzy. Mungkin takdir sedang bermain-main lagi dengannya.
Dan luka yang sudah terbuka sejak kepergian Suzy, sejak kepergian Mbok Sarni, kini terasa semakin dalam. Malam itu, sebelum memasuki ruangan klien, Paijo mengambil waktu untuk berdiri sendiri di balkon kecil hotel itu.
Jakarta bersinar di kejauhan, tapi dunia dalam dirinya terasa gelap.
“Kalau kamu beneran Suzy… kenapa kamu pergi?” bisiknya lirih.
Lalu teleponnya bergetar. Pesan masuk dari Claudia.
“Jangan lupa malam ini jam 9 di kamar 1809. Klien spesial. Harga naik 100 juta. Jangan bikin masalah, Joe.”
Paijo menatap layar itu lama. Lalu menatap langit.
“Mungkin aku nggak pantas ketemu kamu, Suzy…” gumamnya pelan. “Mungkin emang aku ini ya… gigolo seumur hidup.”
Ia pun menarik napas panjang, merapikan jasnya, dan membuka pintu menuju kamar klien.
Langkah-langkahnya terasa berat, bukan karena sepatu, tapi karena beban yang tak pernah selesai: kehilangan, rahasia, dan cinta yang tak pernah benar-benar bisa ia genggam.
Pagi harinya, Claudia memanggilnya ke rooftop hotel. Paijo datang dengan mata sembab, rambut berantakan, dan niat yang tak lagi bulat. Claudia berdiri menatap cakrawala Jakarta.
"Aku tahu kamu benci aku," katanya tanpa menoleh. "Tapi aku cuma wanita, Jo. Aku juga takut kehilangan."
"Aku bukan boneka, Claudia. Aku bukan pengganti Andy."
Claudia tertawa pelan, seperti mengolok dirinya sendiri. "Lucu ya, manusia. Kadang kita mencintai seseorang bukan karena siapa dia, tapi karena dia mengingatkan kita pada siapa yang pernah kita cintai."
"Dan kadang kita memenjarakan orang karena takut ditinggal dua kali," balas Paijo.
Claudia menoleh padanya. "Kamu tahu nggak, Jo? Aku punya rahasia besar."
Paijo menatapnya. "Rahasia macam apa lagi?"
Claudia mendekat dan berbisik, "Suatu hari kamu akan tahu. Tapi tidak hari ini. Karena kalau aku ceritakan sekarang, kamu tidak akan bisa lagi membedakan siapa yang teman, siapa yang musuh."
"Aku sudah kehilangan itu sejak lama, Claudia."
Keduanya berdiri di bawah langit Jakarta yang mulai cerah. Tapi hati mereka tetap mendung. Claudia dengan luka yang tak pernah sembuh. Paijo dengan hidup yang tak pernah benar-benar dimulai.
Dan entah sampai kapan mereka akan terus saling menyakiti... hanya karena mereka tidak bisa mencintai dengan cara yang wajar.
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
~Ali bin Abi Thalib~
Nah denger tuh Clau jdi manusia tuh jgn egoisss
sedih mbok sarni sakit, lebih sedih lagi kalimat mbok sarmi pake bahasa Jawa😭😭😭😭
jgn salahkan Suzy aelahh
next nell, semakin menarik 😁😁😁
Tpi bikin greget 😭
Jo terlalu pasrah bet, Jo ga boleh lemah ya kudu kuat lawan dong itu si lambe turah claudia jan mau dijadiin bonekanya😭😭
adududu typoku selalu tidak tau tempat🚶♀️