Zahira terpaksa menerima permintaan pernikahan yang diadakan oleh majikannya. Karena calon mempelai wanitanya kabur di saat pesta digelar, sehingga Zahira harus menggantikan posisinya.
Setelah resepsi, Neil menyerahkan surat perjanjian yang menyatakan bahwa mereka akan menjadi suami istri selama 100 hari.
Selama itu, Zahira harus berpikir bagaimana caranya agar Neil jatuh cinta padanya, karena dia mengetahui rencana jahat mantan kekasih Neil untuk mendekati Neil.
Zahira melakukan berbagai cara untuk membuat Neil jatuh cinta, tetapi tampaknya semua usahanya berakhir sia-sia.
Bagaimana kelanjutan kisahnya? Ikuti terus cerita "100 Hari Mengejar Cinta Suami" tentang Zahira dan Neil, putra kedua dari Melinda dan Axel Johnson.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.33
...Di saat dunia menjauhimu, hanya Ibu yang akan tetap peduli, mencintai, dan merangkul mu tanpa syarat....
Setelah perjalanan panjang dan melelahkan, Rayhan dan ibunya, Lia, tiba di kota. Satu-satunya alamat yang mereka tahu adalah rumah Neil—selama ini Livia tak pernah memberitahu di mana dia tinggal.
Meski menempuh berjam-jam perjalanan, semangat Lia tak padam.
“Ibu sudah nggak sabar,” ucapnya sambil menatap gedung-gedung tinggi dari jendela mobil. Rayhan hanya tersenyum melihat antusiasme itu.
Sesampainya di rumah keluarga Johnson, Pak Jono, penjaga rumah, langsung menghampiri.
“Maaf, Mas, Bu. Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya ingin bertemu anak saya,” jawab Lia.
“Anak? Maaf, siapa namanya?”
“Livia,” sahut Lia mantap. "Dia menantu, di keluarga ini."
Pak Jono terdiam sejenak. Setahunya, menantu di rumah ini hanya Zahira—dan dia yatim piatu. Sementara Nathan belum menikah. Namun, ia tetap mempersilakan Lia dan Rayhan masuk setelah melapor pada kepala pelayan.
Mereka meninggalkan barang bawaan di depan, lalu masuk ke ruang tamu. Melinda dan Ana menyambut mereka dengan senyum yang sopan namun kaku.
“Selamat datang, silakan duduk,” ucap Melinda.
Rayhan langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Mendengar nama Livia, senyum Melinda menghilang.
“Ana, panggilkan kakakmu,” ucapnya pelan.
Beberapa menit kemudian, Neil masuk bersama Ana. Wajahnya berubah kaget melihat Lia dan Rayhan.
“Tante, Mas,” sapa Neil.
“Nak Neil, di mana Livia? Kenapa kamu memanggil Ibu ‘Tante’? Harusnya kamu memanggilku Ibu,” tanya Lia heran.
Neil menarik napas, duduk di samping Melinda. “Sebelumnya, saya ingin meminta maaf pada Tante dan Mas Rayhan.”
“Minta maaf untuk apa?” potong Rayhan.
“Karena saya batal menikah dengan Livia,” jawab Neil tegas.
Rayhan spontan menegang, nyaris berdiri, tapi Neil menahan.
“Tolong dengarkan dulu penjelasan saya. Setelah itu, apa pun yang Mas lakukan, saya terima.”
Dengan anggukan Melinda, Neil menceritakan semuanya—tanpa menutupi satu pun fakta. Bukti-bukti tentang kelakuan Livia ia serahkan di hadapan mereka. Lia terperanjat, dadanya sesak. Tangannya memegangi dada, mencoba menahan nyeri. Rayhan sendiri tak mampu menyembunyikan amarah.
Neil menutup dengan kabar bahwa Livia kini dirawat di rumah sakit.
*****
“I-ibu, Mas Ray…” Lirih Livia begitu terkejut melihat Ibu dan kakaknya di hadapannya.
“Kenapa kamu jadi seperti ini, Via?” suara Lia bergetar, menatap kondisi Livia yang hamil tanpa suami. “Kenapa?”
“Maafkan aku, Ibu… aku… aku bersalah,” isaknya.
“Ibu kira selama ini kehidupanmu jauh dari bebas. Ibu kira Neil mampu membuatmu jadi baik. Tapi apa? Kamu malah hamil di luar nikah, dan bodohnya… kamu melepaskan lelaki sebaik Neil dan keluarganya.” Nada Lia tegas, marah tapi masih menahan.
Livia hanya menunduk, tak sanggup membantah. Rayhan pun terdiam, kecewa sekaligus marah.
“Setelah ini, ikut kami pulang, Livia. Aku akan menanggung semua biaya anakmu,” putus Rayhan. Livia hanya mengangguk pasrah.
Di luar, Miller yang hendak masuk urung melangkah saat mendengar ucapan Rayhan. Dadanya sesak membayangkan terpisah dari anaknya sendiri.
*****
Sementara itu, di tempat lain, Maureen menatap Nathan yang sudah dua hari mondar-mandir di sekitar rumahnya.
“Kapan kamu pulang?” tanyanya heran.
“Kenapa kamu nyuruh aku pulang terus?” Nathan malah balik bertanya.
“Aku mau ambil sesuatu yang tertinggal di sini,” katanya kemudian.
“Memang apa? Penting?”
“Lebih penting dari sebagian hartaku,” jawab Nathan sambil menatap matanya, membuat Maureen salah tingkah.
“Apaan sih…” Maureen buru-buru masuk rumah, tapi masih mengintip dari balik jendela. Nathan duduk di luar, tersenyum sendirian.
“Dasar nggak jelas,” gumamnya. Saat Nathan menoleh dan mengedip, Maureen refleks menutup gorden.
Tak lama, Nathan mengetuk pintu.
“Kapan Julian pulang?” tanyanya.
“Sebentar lagi mungkin.” Maureen berdiri di ambang pintu, tak membiarkan Nathan masuk.
Nathan hanya mengangguk, kembali duduk. Maureen akhirnya ikut duduk di sampingnya.
“Kenapa nanya kakakku? Ada urusan penting?”
“Rahasia,” sahut Nathan, membuat Maureen sebal.
Ia memilih meninggalkan Nathan dan menyiapkan makan malam untuk Julian—masih bertanya-tanya apa maksud dari semua ini.
Bersambung…
ai...mending batalin aza sebelum terlambat....