Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terus Menghimpit.
Rania menggebrak pintu rumah dengan keras. Suara kuncinya bahkan nyaris jatuh dari tangan saat ia membanting daun pintu hingga membentur tembok. Napasnya tercekat. Matanya merah. Bukan karena debu jalanan... tapi karena dunia yang dipaksa menelanjangi harga dirinya siang tadi.
Di ruang tamu, Niko baru saja melepaskan jaketnya santai. Seolah hidupnya baik - baik saja. Seolah tak ada pengkhianatan yang baru ia umbar di hadapan keluarganya.
"Dikemanakan uang itu, Niko?"
Suara Rania langsung mengiris udara. Tak ada basa - basi. Tak ada salam. Hanya kemarahan yang meledak begitu pintu tertutup.
Niko terdiam. Alisnya berkerut.
"Apa maksud kamu?"
Rania tertawa sinis. "Uang hasil korupsi itu, Niko! Yang kamu gelapkan dengan menjual namaku! Yang membuatku merendahkan harga diriku untuk memohon di depan Askara!"
Niko berjalan pelan. "Kamu jangan kencang - kencang..."
"Kamu pikir aku peduli? Kamu pikir aku akan malu?!" bentak Rania, matanya berkaca - kaca, tapi suaranya tidak goyah. "Yang memalukan itu kamu! Kamu yang nipu, kamu yang korup, kamu yang bawa - bawa namaku... padahal aku gak pernah tahu sepeser pun uang haram itu!"
Niko diam. Sekali ini, dia tidak bisa menyalahkan siapa pun.
Rania melangkah lebih dekat. "Kita selalu kekurangan, Nik. Kamu pikir aku nggak sadar? Setiap aku minta uang belanja, kamu bilang lagi seret. Aku harus jual perhiasan. Aku harus pinjam sana - sini. Aku harus diam saat orang tuaku tanya, kenapa aku kelihatan lebih kurus, kenapa bajuku itu - itu saja. Aku tahan semua karena aku pikir, kamu sedang berjuang." ucap Rania dengan suara bergetar.
"Tapi ternyata kamu sedang... menghidupi perempuan lain, iya?"
Niko menunduk. Ia tahu, tak ada gunanya berbohong sekarang.
"Uangnya untuk Wulan, kan?" bisik Rania, dingin, membeku, namun mematikan.
Hening. Sejenak.
Lalu Niko mengangguk. Pelan. Lirih. "Iya."
Rania tertawa. Tawa getir yang menggema di ruangan sunyi itu. "Kamu luar biasa, Nik."
Ia melangkah mundur, punggungnya bersandar ke dinding. Bibirnya gemetar.
"Aku yang mendampingi kamu, aku yang menyembuhkan luka kamu dulu, aku yang nungguin kamu pulang sampai larut malam. Tapi ternyata aku cuma... pengisi kekosongan ya?"
Niko ingin bicara, tapi tak ada yang keluar.
Rania menyeka air mata dengan telapak tanganya. Bukan karena ingin terlihat kuat, tapi karena ia muak sudah terlalu sering menangis. Wanita yang tengah hancur lebur itu beranjak ke kamar, meninggalkan Niko yang tertunduk.
Tapi tak lama dari itu, sepeninggal Rania. Niko mengecek ponselnya yang bergetar di saku celana. Satu pesan dari Wulan membuatnya tersenyum bahagia.
"Niko, besok jadi kan beliin aku gelang emas yang baru?"
Niko cepat membalas. "Jadi dong, besok kita berangkat ya. Sekalian beliin hadiah buat Ibra"
Niko tersenyum lebar, seolah tak terjadi apa - apa. Seolah ia tidak meluluh lantakan hati dan kehormatan Rania.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Rania masih duduk di lantai. Punggungnya bersandar ke ranjang, lututnya dirangkul erat, dan kepalanya tertunduk dalam - dalam. Air mata tak lagi deras, tapi wajahnya basah, lelah.
Di luar kamar, rumah senyap. Tapi langkah kaki kecil itu terdengar. Pelan, ragu - ragu, lalu berhenti tepat di ambang pintu.
"Mama..."
Suara itu membuat Rania mendongak perlahan.
Ibra berdiri di sana. Bocah sepuluh tahun itu tak bicara banyak, hanya memandang Ibu tirinya dengan sorot mata yang dewasa sebelum waktunya. Kaos tidurnya kusut, dan rambutnya masih berantakan.
"Aku dengar Mama sama Papa ribut." katanya pelan. "Aku kebangun."
Rania buru - buru menghapus sisa air mata dengan telapak tangan. Ia berusaha tenang, meski wajahnya masih merah, dan suaranya serak.
"Maaf... Mama nggak bermaksud ganggu tidurmu."
Ibra masuk, mendekat, lalu ikut duduk di lantai samping Rania. Mereka diam cukup lama. Hanya ada suara jam dinding dan nafas berat Rania yang belum stabil.
"Aku nggak suka rumah ini kalau isinya marah - marah terus," gumam Ibra.
Rania menoleh, matanya masih merah. "Mama juga nggak suka."
"Aku cuma pengen Mama nggak sedih. Soalnya aku sayang banget sama Mama..."
Ucapan itu menusuk dada Rania. Ia memalingkan wajah, tak ingin Ibra melihat betapa remuknya ia malam ini.
"Lusa aku ulang tahun, Ma." sambung Ibra pelan. "Aku pengen semuanya bahagia. Nggak harus pesta. Nggak harus ada kado. Aku cuma mau bisa tiup lilin sambil lihat Mama dan Papa duduk bareng, tersenyum, kayak dulu."
Rania akhirnya menatapnya. Air matanya jatuh lagi, tapi kali ini bukan karena marah. Ia mengusap kepala Ibra perlahan. Lalu menarik anak sambungnya itu ke dalam pelukannya.
"Mama janji..."bisiknya, nyaris tak terdengar. "Mama janji kamu bakal bahagia. Lusa... dan seterusnya."
Dalam hati yang sudah hancur itu, Rania juga berjanji, akan bertahan sebisanya. Semampunya. Demi Ibra. Sudah cukup Ibra harus merasakan akibat perceraian orangtuanya, dan kini setelah Ibra menyayanginya sepenuh hati, ia tak mungkin tega menggores luka yang sama di hati Ibra.
*************
Pagi itu sudah menjelang siang ketika Rania akhirnya turun ke dapur. Sabtu yang semestinya jadi hari istirahat, malah terasa lebih berat dari hari - hari biasa. Badannya letih, matanya bengkak, dan pikirannya belum lepas dari malam yang baru saja ia lewati.
Tapi dapur itu kosong.
Tak ada suara sendok beradu, tak ada aroma tumisan, dan tak ada sosok Mbak Wati yang biasanya sudah sibuk dari subuh. Rania sempat berpikir mungkin Mbak Wati telat datang. Tapi setelah menunggu hampir satu jam dan mencoba menelepon beberapa kali, ponsel sang pembantu tetap tak aktif.
Akhirnya, Rania menyerah. Dengan tubuh setengah gemetar karena belum sarapan dan mata berat karena kurang tidur. Ia menyiapkan nasi, menggoreng telur, dan membuat sup bening seadanya dari sisa sayur di kulkas.
Meja makan terasa sunyi saat Rania menyajikan semuanya . Ibra duduk lebih dulu, menyambut ibu tirinya dengan senyum kecil. Sementara Niko, seperti biasa, hanya menatap layar ponselnya sambil sesekali menyeruput kopi.
"Maaf ya," ujar Rania pelan sambil duduk di kursinya. "Hari ini masakannya seadanya... bahan - bahan habis. Mba juga nggak datang.."
Baru saja ia akan mulai menyendokkan nasi ke piring, Niko angkat bicara. "Mba memang nggak bakal datang lagi."
Rania menghentikan gerakannya. "Maksud kamu?"
"Aku udah pecat," jawab Niko ringan, seolah membahas tanaman hias yang mati karena lupa disiram. "Untuk penghematan."
Rania menatapnya, tak paham.
"Gaji kamu dari kantor udah dipotong separuh buat ganti kerugian ke Askara, kan?" lanjut Niko tanpa menoleh. "Jadi ya... kita harus lebih irit. Lagipula kan kamu nggak sibuk - sibuk amat."
Sendok di tangan Rania terasa berat.
Ibra menoleh ke kanan dan ke kiri, tak sepenuhnya paham tapi bisa merasakan ketegangan yang menggantung.
"Ma... ayo makan," katanya pelan.
Rania menunduk. Bibirnya bergerak, tapi tak ada suara yang keluar. Ia hanya bisa mengangguk - angguk pada anak yang ia jaga hatinya, dan pada kenyataan yang semakin hari semakin menghimpitnya.
Dalam hati, Rania sadar, ia bukan hanya sedang dibebani. Ia sedang diasingkan... pelan - pelan, dari hidup yang dulu ia perjuangkan dengan segenap cinta.
(Bersambung)....