Cover by me
Dipertemukan lewat salah paham. Dinikahkan karena perintah. Bertahan karena luka. Jatuh cinta tanpa rencana.
Moza Reffilia Abraham tak pernah membayangkan hidupnya akan terikat pada seorang prajurit dingin bernama Abrizam Putra Bimantara—lelaki yang bahkan membenci pernikahan itu sejak awal. Bagi Abri, Moza adalah simbol keterpaksaan dan kehancuran hidupnya. Bagi Moza, Abri adalah badai yang terus melukai, tapi juga tempat yang entah kenapa ingin ia pulangi.
Dari rumah dinas yang dingin, meja makan yang sunyi, hingga pelukan yang tak disengaja, kisah mereka tumbuh perlahan. Dipenuhi gengsi, trauma masa lalu, luka yang belum sembuh, dan perasaan yang enggan diakui.
Ini bukan kisah cinta biasa. Ini tentang dua orang asing yang belajar saling memahami, bertahan, dan menyembuhkan tanpa tahu apakah pada akhirnya mereka akan benar-benar saling memiliki… atau saling melepaskan.
Lanjut baca langsung disini ya👇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika cha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Drop Zone Menuju Pelaminan
Tim Avangers yang dipimpin Abri akhirnya tiba di area drop zone, jarak tempuh menuju desa Apri masih cukup jauh. Desa itu telah dikuasai kelompok bersenjata, dan para penduduk dijadikan sandera. Waktu yang diberikan untuk menyelesaikan misi ini hanya dua kali dua puluh empat jam. Jika molor, pernikahan Abri bisa benar-benar batal. Jika tepat waktu, ia hanya akan datang terlambat. Tapi dalam militer, tak ada yang pasti.
"Gilak kau bang, acara pernikahanmu di ambang gagal total ini kalau udah begini." Kata Ibam berteriak karena pintu kabin terbuka membuat suara angin dan baling baling helikopter begitu berisik disana dan ini sudah entah berapa kali sejak mereka masuk kedalam helikopter yang membawa mereka ke medan misi pria itu mengatakan hal yang serupa.
"Bukannya ini yang kalian inginkan, pernikahan saya batal" jawab Abri menohok juga berteriak menatap satu persatu wajah anggotanya yang ada disana, ia menyandarkan tubuhnya pada dinding kabin helikopter.
"Itu dulu, sebelum kita tau ceritanya." Dwika mau tak mau menceritakan alasan Abri yang mau tak mau menerima perjodohan ini karena sebab paksaan dari jenderal Hamzah itu sendiri. Ia kasihan pada sahabatnya itu yang selalu di musuhi satu kesatuan cuma karena satu perempuan.
"Abang darah manis loh, kok malah ikut tugas. Padahal kita gak papa kalau pimpinan misi ini di ambil alih sama mayor Malik." Sebelum berangkat tadi sebenarnya mayor Malik sudah mengatakan untuk Abri tidak ikut misi kali ini karena tau pernikahan pria itu tinggal dua hari lagi, sama seperti masa tenggat misi yang di berikan. Tapi memang dasarnya Abri, rasa patriotisme nya begitu besar. Ketika ibu Pertiwi memanggil maka dia harus siap dan maju di garda terdepan mengenyampingkan segala urusan pribadi.
"Tempat kita turun ini adalah area terluar dari markas mereka, kita usahakan turun di area ini," jelas Abri menunjuk peta yang ia pegang memulai brifing kembali sebelum benar-benar turun, ia mengalihkan topik pembicaraan. Semua mata langsung beralih pada peta yang ia bentangkan di hadapannya menatap serius ke sana.
"Di sini titik tempat desa Apri berada dan para penduduk di sandera. Dan kata mayor Malik musuh kita berkisar antara 120 sampai 150 orang bahkan bisa lebih. Semua identitas sudah di lepas? Dan senjata dalam keadaan siap?" Tanya Abri lagi begitu selesai menjelaskan.
Setiap menjalankan misi tak boleh ada identitas di tubuh mereka yang tertinggal, dari mulai tanda kesatuan, nama, dan dari pasukan mana. Tentu senjata juga harus selalu siap tempur dengan amunisi penuh.
Mereka memeriksa kembali tubuh juga persenjataan mereka begitu mendengar pertanyaan Abri. Gilang mengeluarkan selembar foto bercetak polaroid dari saku baju dinas hutannya. Itu adalah foto cantik seorang gadis yang sebentar lagi akan menjadi istri komandannya.
"Gak ada otak si Gilang memang," ucap Denis geleng-geleng kepala, semua mata tentu saja langsung tertuju pada mereka juga foto polaroid yang di pegang Gilang. Tatapan Abri merunduk menatap foto itu dengan seksama, lalu beralih menatap wajah Gilang dengan raut wajah datarnya tapi malah menyeramkan sekali di mata Gilang karena Abri itu manusia full senyum dan ramah, jadi Abri yang begini itu nampak Aneh dan tentunya menyeramkan apa lagi semenjak mereka musuhi. Sikapnya berubah total.
Gilang cengengesan "hehehe, lupa keluarin bang. Nih buat Abang." Katanya menyerahkan foto tersebut pada telapak tangan Abri namun segera pria itu tepis.
"Tinggalkan, jangan mebahayakan orang."
"Siap komandan!" Ia menyalipkan foto Moza itu pada tempat duduk yang ia duduki.
Sesaat, wajah Moza muncul di benak Abri. Dua hari lagi... apakah ia akan benar-benar menikahinya? Atau justru gagal sebelum sempat mengucap ijab?
"Drop zone dua menit lagi," kata pilot melalui radio.
Seketika semuanya langsung bersiap-siap di tempat mereka begitu juga Abri. "Avangers squad." Instruksi Abri.
"Siap!" Seru mereka menegakkan tubuh dan membusungkan dada.
"Sebelum turun mari kita berdoa bersama sama kepada tuhan yang maha esa, untuk melindungi kita dalam medan pertempuran. Berdoa menurut kepercayaan dan agamanya masing masing, berdoa di mulai."
Kepala-kepala merunduk. Doa diam-diam dipanjatkan, dalam hati masing-masing meminta sang maha kuasa selalu melindungi mereka dalam setiap tugas yang mereka lakukan. Tugas yang di lakukan oleh prajurit kopassus adalah misi rahasia, tertutup dan juga mendadak. Bahkan keluarga sekalipun tak ada yang tau jika mereka berangkat menjalankan misi.
"Berdoa selesai." Kepala mereka terangkat "siapa kita?!"
"Komando!!"
"Kita sudah tiba di drop zone, waktunya bersiap untuk turun. Saya akan hitung mundur." Ucap pilot helikopter itu lagi memberitahu.
"Siap!" Seru mereka.
"Lima... empat..." hitung pilot.
Abri menegakkan tubuh. "Mendapatkan tugas adalah kehormatan. Maka selesaikan dengan berani, benar, dan berhasil. Lebih baik pulang nama daripada gagal dalam tugas. KOMANDO!" Ucap Abri lantang dan tegas penuh semangat sebelum turun.
"Tiga... dua..."
"Komando!" Seru mereka bersamaan. Dico mengepalkan tangannya pada Abri bermaksud untuk tos dan di sambut baik oleh pria itu.
"Satu!"
Begitu hidung mundur selesai para prajurit satu persatu mulai turun dari ketinggian tiga puluh meter secara fast toping di drop zone yang di tumbuhi semak ilalang yang cukup tinggi dan tak memungkinkan untuk helikopter pabrikan Airbus itu untuk mendarat. Langit bahkan masih sangat gelap begitu mereka berada disana karena itu tepat tengah malah lebih tepatnya sudah jam satu dini hari.
"Ingat misi haru selesai dalam waktu dua kali duapuluh empat jam, Ayo mulai bergerak!" Perintah Abri setelah turun, ia berada di paling belakang memastikan para anggotanya tidak ada yang tertinggal.
"Siap komandan!" Lalu setelahnya mereka bergegas berjalan menyusuri hutan ke tempat dimana lokasi desa itu berada dengan posisi, sunyi. Waspada. Senyap.
_________________
Seketika markas kopassus pagi ini nampak begitu mencekam sejak kedatangan panglima jenderal Hamzah dengan beberapa ajudannya, tentunya tampang panglima tertinggi di TNI itu juga tak kalah menyeramkannya. Ia menatap satu persatu wajah para anggotanya disana yang kini menundukkan kepala dalam, tau apa penyebab beliau datang kesana.
"Siapa yang kasih izin Abri untuk pergi jalankan misi?" Tanya pria itu dengan suara berat dan tegas penuh penekanan ciri khasnya. Tatapan tajam mengkilapnya sekan mampu menghunus tubuh mereka hingga jebol. Sarat dengan keinginan menghabisi apapun yang ada di hadapannya.
"SIAPA YANG KASIH IZIN?!" kali ini jenderal Hamzah memekikan suaranya benar-benar menggema seperti auman singa yang tengah marah. Semua anggotanya tersentak kaget di tempat mereka, tak ada yang mengakui.
Rasanya mereka lebih baik di tugaskan pada misi berbahaya ketimbang mendengar jenderal mereka murka. Sumpah demi sumpah bertebaran dalam hati. Ini semua gara-gara Abri.
Dwika hanya bisa menatap pasrah. Ia sudah menduga sejak semalam—begitu Abri ikut turun, amarah Jenderal Hamzah tinggal menunggu waktu. Sekarang waktunya datang. Lihatlah, singa, macan, harimau bercampur dalam diri Hamzah ketika tau Abri turut dalam misi. Sangat mengerikan.
Tampang seperti itu pernah sekali Hamzah tunjukkan padanya, Dwika ingat kejadian itu ketika bapak mertuanya itu tau Berlian jatuh saat mengendarai motor. Tak tanggung tanggung Hamzah ngamuknya. Intinya jenderal Hamzah itu paling tidak mau dan tidak ingin melihat putri putrinya lecet, terluka bahkan sampai menangis. Sesayang itu dia pada kedua putrinya. Kalau Julian yang kenapa Kanapa pasti jawabannya "ya biar aja, dia laki. Dia kuat. Gak usah di manja manja." Sepatu PDL melayang, sikap taubat , gemblengan ala militer sudah sering Julian dapatkan. Kasihan sekali bukan jadi Julian, padahal dia anak laki satu tapi di perlakukan seperti itu.
Belum lagi waktu Berlian melahirkan, beh, pokoknya yang mau jadi kakek paling heboh sendiri.
Dan kali ini sampai pernikahan ini gagal dan membuat Moza menangis, Dwika yakin umur Abri gak akan panjang. Gak akan ada pilihan mau rumah sakit atau kuburuan. Langsung ko'it. Yakin Dwika.
"Kalau terjadi apa apa sama calon suami anak saya. Kalian semua yang akan saya habisi!" Tunjuk Hamzah pada setiap anggotanya yang ada di markas kopassus. Matanya melotot ngeri dengan Garis wajah keras penuh emosi.
Prajurit yang biasanya tahan mental pun kini menahan napas. Baru pagi ini mereka merasakan aura kematian begitu nyata dari panglima mereka sendiri.
Pagi tadi Hamzah baru dapat kabar jika pria yang akan menjadi menantunya itu malah ikut misi, tinggal besok saja pemuda itu akan menikahi anak gadisnya, kenapa mereka ini malah membiarkan Abri ikut melakukan misi ini?
"Jika satu tetes air mata anak saya tumpah di hari bahagianya besok karena masalah ini. Satu kesatuan ini saya sikat! Terutama kalian-kalian ini!" Amarahnya.
Moza belum tau jika mempelai prianya itu malah pergi memenuhi panggilan ibu Pertiwi, tengah memburu nyawa di hutan. Hamzah tau bakti seorang tentara itu begitu besar pada negara, tapi bisa kan Abri di ganti dengan yang lain?
Kopassus ini memiliki anggota yang bukan cuma satu, tapi ratusan. Kenapa malah harus Abri yang menikah besok ikut turun tangan? Apa Abri tak memikirkan soal pernikahannya dan Moza? Atau ini memang sebagai langkah Abri menolak pernikahan yang memang Hamzah paksakan? Astaga! Otak Hamzah malah makin kacau memikirkan segala kemungkinan kemungkinan yang ada di kepalanya.
"Tarik atau seret Abri untuk pulang, apapun dan bagaimanapun situasinya besok dia sudah harus menikahi anak saya!" Perkataan mutlak dari seorang panglima jenderal Hamzah membuat mereka semakin menegang di tempatnya. Dari sini mereka pun langsung tau jika Hamzah lah orang yang benar-benar menginginkan Abri untuk di jadikan menantu bukan karena Abri yang mau.
Ya, walaupun bisa menikahi anak seorang jenderal Hamzah itu seperti mendapatkan sebuah trofi. Tapi tidak dengan bermertuakan panglima jenderal Hamzah. Kasian sekali para menantunya.
Begitu jenderal Hamzah pergi, semua mata dengan pasangan iba tertuju pada Dwika yang wajahnya paling adem ayem. Seakan bentakan-bentakan panglima besar itu sudah menjadi makanan sehari-harinya. Menyadari bahwa ia di tatapan sedemikian rupa oleh seluruh prajurit baik senior maupun juniornya yang ada di sana sudah pasti membuat Dwika tidak nyaman.
"Kenapa?" Tanyanya menatap mereka satu persatu.
Kompak mereka semua menggeleng lalu berkata "sabar ya Dwi." Sebelum pergi mereka menepuk pundak Dwika bermaksud menguatkannya lalu pergi dari sana meninggalkan Dwika dengan wajah makin kebingungan dengan sikap para rekannya.
Dwika melongo. “Lho? Kok aku lagi yang dikasih semangat…”
_________________________
Gilang yang memimpin jalan mereka dengan penuh kesenyapan, tak terdengar suara ranting terpijak, daun bergesekan, suara deru nafas mereka pun tak terdengar sangking senyapnya. Pepohonan dan semak-semak turut andil untuk menyamarkan diri.
Moncong senjata mereka arahkan kesana kemari mengikuti gerak tubuh yang was was mengawasi sekitar. Dan tiba Gilang memberi isyarat mengepalkan tangan ke udara. Mereka turut berhenti.
"Lapor komandan, pos terluar mereka sudah terlihat," Lapor Gilang pada Abri yang berdiri di paling belakang dengan sikap siaga.
Tampak dari arah mereka berdiri beberapa orang pria bersenjata menjaga lokasi.
"Thanos kamu maju, Gatot kaca cover Thanos." Perintah Abri pada dua anggotanya.
"Siap komandan!" Kompak Marvin dan juga Ibam berseru.
Mendengarkan arahan Abri mereka berdua berjalan secara senyap dan juga siaga ke arah pos pertama dengan senjata yang siap tembak keduanya berjalan dengan saling memunggungi untuk memastikan sekitar mereka tak ada musuh yang mengintai.
Marvin menghentikan langkahnya membuat Ibam pun ikut berhenti "izin, target terkunci," Marvin meminta izin melalui earpiece ketika ia sudah dapat membidik target dengan tepat.
"Permission granted." Balas Abri dengan suara rendah.
Bles! Bles!
Di lengkapi dengan peredam suara amunisi langsung Marvin lepaskan dan tentunya tepat sasaran. Namun sialnya ketika tubuh mereka ambruk dua orang teman mereka datang dan melihat apa yang terjadi, tapi sebelum mereka berhasil mengangkat senjata Ibam lebih dulu melesatkan amunisinya.
Bles! Bles!
Keduanya juga ambruk. "Pos satu clear." Ucap Ibam setelahnya.
Abri berjalan mendekati keduanya dengan senyap.
Kresek!
Suara dedaunan yang terpijak begitu jelas terdengar dari arah berbeda, Abri langsung mengangkat sebelah tangannya mengepalkannya di udara memberi tanda pada anggotanya untuk berhenti dan jangan bergerak. Mereka menurut.
"Ada sebuah pergerakan pada arah jam satu." Bisik Abri melalui earpiece memberitahu.
"Izin menembak komandan."
Abri mengangguk, Dico yang berada di belakang Abri langsung melesatkan satu amunisinya begitu mendapatkan persetujuan dari Abri, penjahat yang baru datang pun ikut ambruk terkena tembakan dari Dico.
Begitu melihat situasi sudah aman dan di pastikan sudah tak ada para anak buah teroris itu berjaga disana, Abri mengisyaratkan pada para anggotanya untuk maju memasuki pos pertama, memeriksa apa di sana ada sandera. Tapi nihil, tak ada penduduk desa di sana. Hanya perlengkapan dan logistik musuh. Berarti mereka ada di pos berikutnya.
"Sialan!" Umpat Gilang karena tak menemukan siapapun.
Abri memberi isyarat pada mereka untuk keluar dan meneruskan perjalanan menuju pos kedua.
Misi baru saja dimulai.
duh rayden gemes banget aku.... gimana jadinya kala Rayden bersatu sama Sean pasti GK bisa diem ngakak trus smpai guling" pasti ...