Batas Kesabaran Seorang Istri

5 tahun kini berlalu dengan cepat, usia Nabila kini sudah menginjak usia 5 tahun, sementara itu Aditya divonis 15 tahun penjara karena beberapa kasus yang dilakukannya.

Sementara itu Ambar selama ini dengan uang yang telah dikumpulkannya sudah siap untuk kembali ke ibukota, saat ini Ambar sudah kembali ke apartemennya. Apartemen yang sudah ditinggalkannya itu terlihat begitu sangat kotor, ia pun mulai membersihkannya.

Bayang-bayang Jingga yang membersihkan rumah itu kembali terbayang dibenaknya dan bukannya merasa bersyukur karena Jingga pernah tinggal di sana membersihkan rumah itu, mengurangi bebannya, ia justru malah semakin merasa kesal dengan Jingga. Ia menyalahkan Jingga dengan apa yang terjadi padanya dan juga putranya.

"Jika bukan karena Jingga, pasti sekarang aku sudah hidup enak dengan putraku. Pasti kedudukannya di perusahaan jauh lebih tinggi setelah bertahun-tahun lamanya bekerja di sana, bukan hanya itu, seharusnya aku memiliki menantu yang lebih baik dari Jingga dan cucu yang menghiburku , bukannya semakin menderita di masa tuaku seperti ini," kesalnya sambil mengepel lantai apartemen tersebut, walau apartemen miliknya tak begitu luas. Namun, tetap saja di usianya yang senja membuat ia kelelahan mengerjakan semuanya.

Setelah semua pekerjaannya selesai, ia pun membersihkan diri keluar dari apartemennya untuk mencari makan. Ambar melihat sebuah foto yang berada di sebuah majalah bisnis, terlihat di sana Jingga bersama dengan Gantara dan juga Nabila dan yang membuatnya membeli majalah tersebut. Ia melihat perut Jingga yang terlihat membuncit dan satu adalah anak yang berada di gendongan Gantara.

'Apakah selama aku meninggalkan kota ini Jingga sudah malah punya anak lagi dan sekarang sedang hamil?' gumamnya membatin kesal, ia merasa semakin kesal melihat senyuman mereka semua.

"Aku tak boleh membiarkan semua ini terus terjadi, jika putraku tak bisa bahagia, mereka pun tak boleh bahagia. Nabila adalah cucuku, anak dari Aditya, darah dagingnya. Aku harus bisa merebut Nabila dari mereka," gumam Ambar, ia yang tadinya ingin membeli makanan tak jadi dan kembali ke apartemennya, membuat rasa laparnya menghilang karena kekesalannya.

Semua itu semakin membuatnya kesal, rencana demi rencana telah disusunnya dengan sangat matang dan ia tak ingin sampai semua itu gagal. Ia selama ini menahan diri untuk kembali ke kota dan membalas dendam dan ini sudah waktunya ia menjalankan rencananya.

****

Pagi hari Ambar mencari tahu tentang kegiatan mereka dan ia mengetahui jika saat ini Nabila sudah sekolah di salah satu taman kanak-kanak, membuat ia melamar pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih di sekolahan tersebut, dengan mengandalkan aktingnya. Ia pun akhirnya diterima bekerja di sana sebagai tukang masak untuk catering anak-anak. Di mana di sekolahan Nabila, anak-anak tak membawa bekal sendiri dari rumah. Namun, disediakan oleh pihak sekolah, mereka hanya membawa kotak bekal mereka masing-masing.

Hari-hari Ambar terus mengawasi Nabila dari kejauhan, dia harus berhati-hati dan tak boleh ketahuan jika dia ada di kota ini dan juga mengawasi mereka.

Set

elah sebulan bekerja di sekolah, Ambar pun mulai mendekati sedikit demi sedikit Nabila, dengan memberikan senyuman pada Nabila setiap Nabila melewatinya. Nabila yang memang anaknya sangat baik dan ramah menyambut senyuman dari wanita paruh baya tersebut sebagai seorang nenek karena usianya seumuran dengan neneknya.

Saat Nabila baru saja berjalan keluar dari kamar mandi, Ambar pura-pura terjatuh dan mengeluh kesakitan pada kakinya. Nabila yang melihatnya langsung menghampirinya.

"Nenek, Nenek kenapa?" tanya Nabila khawari, senyum terbit di bibir Ambar rencananya berhasil dan Nabila menghampirinya. Ia tak boleh melewatkan kesempatan ini.