Di pertemukan oleh waktu, di persatukan oleh takdir.
Namun, di pisahkan oleh ketamakkan.
Aishleen Khadijah dan Albiru Adityawarman.
Dua insan berbeda karakter, awal pertemuannya begitu unik.
Diam-diam saling mengagumi dan melangitkan nama masing-masing dalam doa.
Hingga pada akhirnya dipersatukan oleh takdir.
Saat kebahagiaan tengah menyelimuti keduanya, mereka harus terpisah oleh ketamakkan.
Takdir buruk apa yang memaksa mereka harus berpisah?
Akankah takdir baik menyertai keduanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AYSEL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akad
...33. Akad....
Di atas meja kecil yang berisi beberapa berkas, Biru dan Azzam saling berjabat tangan. Meski gugup, Biru sangat siap untuk mengikrarkan kalimat ijab qabul. Di samping Biru duduk Barid dan Arsean yang akan menjadi saksi nikah.
“Bismillahirahmanirrahim,” Azzam mempererat genggaman tangan Biru. “Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Albiru Adityawarman bin Awan Adityawarman dengan anak saya yang bernama Aishleen Khadijah Harizra, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat, Tunai.”
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Aishleen Khadijah Harizra binti Moazzam Hariszra dengan maskawinnya yang tersebut, Tunai.”
Setelah para saksi mengucapkan kata sah bersamaan, semua telapak tangan para hadirin menengadah, mengaamiinkan doa-doa yang dilafalkan oleh Ustadz Ahmad.
“Pengantin perempuannya sudah boleh dipanggil keluar,”
Mendengar perintah Ustadz Ahmad, dada Biru bergemuruh, rasanya lebih mendebarkan ketimbang melafalkan ijab qabul. Semua mata tertuju pada gadis bergamis putih, berbalut hijab menutupi punggung dan dada dengan warna yang senada. Kha, diapit oleh Senja dan Alsea berjalan perlahan dari ruang tengah menuju ruang tamu.
Biru semakin terpana melihatnya. Gadis yang biasa ia lihat polos tanpa polesan, malam ini terlihat berbeda. Kha merias tipis wajahnya, membuat tampilannya malam ini semakin manis.
“Sudah halal, Mas. Boleh dilihat terus tapi kita jeda dulu ya....” ucap Ustadz Ahmad menggoda Biru. Tamu undangan pun dibuat tertawa oleh salah tingkah Biru.
“Silakan duduk di sebelah suaminya, Mbak Khadijah,” Kha duduk bersimpuh di sebelah Biru, tatapannya masih tertunduk. “Boleh dicium dulu tangan suaminya.” sambung Ustadz Ahmad.
Biru memiringkan duduknya menghadap Kha kemudian mengulurkan tangan, disambut Kha menerima uluran tangan lalu mencium punggung tangan pria yang kini telah sah menjadi suaminya.
“Letakkan satu tangan di ubun-ubun, istrinya,” ujar Ustadz Ahmad menginstruksi. “Bisa doanya, apa perlu dibimbing?”
“Bisa, Ustadz,” jawab Biru. “Bismillahirrahmanirrahim, Allahumma inni as’aluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha ‘alaihi Wa a’udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha ‘alaihi.”
Biru menghela napas lega. Melepaskan tangan dari tangan dan kepala Kha lalu memandang sekeliling. Ia melihat tangis haru dari kedua netra orang tuanya. Awan mendekati Biru, memeluk anak pertamanya begitu erat, bergantian dengan Senja yang menumpahkan tangis di pelukan Biru. Setelah itu, Biru di peluk Azzam yang kini sudah resmi menjadi mertuanya.
“Mulai saat ini, saya serahkan putri saya satu-satunya untuk kau jaga dan bimbing. Tolong jaga dia sebagaimana saya menjaganya selama ini, bimbing dia agar tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim. Ajari dia agar menjadi istri yang baik untukmu.” Azzam menepuk bahu Biru beberapa kali.
“Insya Allah, saya akan jaga Kha sebaik mungkin. Terima kasih, Abi, telah merestui dan merelakan putri Abi untuk menjadi pelengkap hidupku.”
Acara ditutup setelah sebelumnya Ustadz Ahmad memberikan sedikit perbekalan kepada Biru juga Kha agar bisa menjalani rumah tangga dengan baik. Berpedoman pada kisah-kisah rumah tangga Rasulullah yang menjalankan pernikahan semata-mata untuk menyempurnakan ibadah.
“Selamat ya, Kha. Semoga pernikahan kalian langgeng,” ucap Barid datar, ia beralih pada Biru dan memeluknya. “Jagain, Kha! Jangan sampai aku lihat dia nggak bahagia sama lo! Kalau sampai itu terjadi, sekalipun lo abang gue, gue bakal rebut Kha dari lo, Bang!”
Biru mendengus, menyingkirkan Barid lalu menarik tangan adik kecilnya yang sedari tadi terlihat murung. “Acha kenapa?”
“Acha seneng tapi Acha juga sedih...,” jawab Barsha disela isakan tangis. “Acha bakal jauh dari, Abang?”
“Jauh bagaimana? ‘kan Abang tetap tinggal diruko, nggak jauh dari rumah. Nanti Abang sama Teteh Kha juga pasti bakal sering nginep,”
“Bener, Bang? Janji bakal sering nginep,” Biru mengangguk. Kha juga ikut mengusap ramput hitam panjang Barsha. “Iya, Cha... jangan khawatir ya, Nanti Acha juga boleh nginep di toko bunga, itu juga kalau Acha mau sempit-sempitan,”
“Mau, kok, Acha mau, Teh....”
Malam sudah larut, tamu terakhir yang baru saja pamit adalah keluarga besar Budhe Maritza, istri dari Pakdhe Arsean. Setelah itu, Awan dan Senja beserta kedua adik Biru pamit kembali ke Hotel. Kediaman Azzam kembali sepi, hanya ada 3 orang didepan yang sedang membersihkan runag tamu, dan beberapa ibu-ibu dibelakang membereskan dapur.
Alsea memberi titah pada Kha agar membawa Biru naik ke kamar untuk istirahat. Begitu juga dengan Kha yang terlihat letih sebab begitu tiba di Jogja, mereka sama sekali belum merehatkan badan.
*****
Kha membuka pintu kamar lebar-lebar, mempersilahkan Biru masuk ke dalam kamar yang tidak terlalu luas.
“Maaf, ranjangku sempit.” Ujar Kha menunjuk ranjang yang hanya berukuran Queen size.
“Nggak apa, aku bisa tidur dibawah.”
Jawaban Biru spontan membuat Kha membuka sedikit mulutnya. Sepolos-polosnya Kha, ia sadar jika Biru sudah halal untuknya, apapun yang ada pada Kha sudah menjadi hak mutlak untuk Biru. Namun, jawaban Biru benar-benar diluar dugaan. Kha pun mengiyakan, ia sendiri tak ingin terlihat agresif hanya karena menawarkan tidur dalam satu ranjang.
Dengan wajah kebingungan, Kha melangkah mendekati lemari, mengambil kasur gender berbulu rasfur yang ia lipat dan simpan. Kemudian menaruh dilantai tepat di samping kasur, tak lupa ia juga menaruh bantal serta selimut untuk Biru gunakan.
“Saya permisi dulu,” pamit Kha setelah selesai menyiapkan alas tidur untuk Biru, tapi buru-buru dicegah oleh Biru.
“Kamu mau kemana?”
“Saya belum sholat isya, Mas.”
“Kha... Izinkan aku, menjadi Imam untukmu mulai malam ini.”
Kha sempat terkesiap saat tangan kiri Biru telah menangkap sebelah pipinya, lalu tangan kanannya menggenggam tangan Kha. Samar Kha mendengar Biru bergumam sesaat, lalu mendaratkan kecupan lembut dikening Kha.
Hanya kecupan singkat, begitu saja sudah mampu meluluh lantakkan gerbong kokoh yang selama ini Kha bangun. Ia tak sanggup mendongak bahkan setelah Biru melepaskan kecupan itu. Kha terlalu malu jika sampai Biru melihat wajahnya yang kemungkinan besar sudah mencetak rona merah dipipi.
Kakinya semakin lemas kala Biru memindahkan tangan ke pinggang Kha, lalu menarik dirinya kedalam pelukan, memangkas habis jarak diantara mereka.
“Terima kasih sudah bersedia menjadi istriku.”
Hanya beberapa centi jarak antara Wajah Biru dan Kha. Kha memejamkan mata, bukan ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, ia hanya terlalu malu menatap wajah Biru.
Tok... Tok... Tok...
“Teh! Suruh jamaah dibawah sama Abi!”
baca bab awal,mulai tertarik
baca bab 2,mulai suka
q lanjut baca ya kak author, makasih 🙏😉
karena akan ada tahap yang namanya ta'aruf