Cinta seharusnya menyembuhkan, bukan mengurung. Namun bagi seorang bos mafia ini, cinta berarti memiliki sepenuhnya— tanpa ruang untuk lari, tanpa jeda untuk bernapas.
Dalam genggaman bos mafia yang berkuasa, obsesi berubah menjadi candu, dan cinta menjadi kutukan yang manis.
Ketika dunia gelap bersinggungan dengan rasa yang tak semestinya, batas antara cinta dan penjara pun mengabur.
Ia menginginkan segalanya— termasuk hati yang bukan miliknya. Dan bagi pria sepertinya, kehilangan bukan pilihan. Hanya ada dua kemungkinan dalam prinsip hidupnya yaitu menjadi miliknya atau mati.
_Obsesi Bos Mafia_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 : Ajakan Ke Pesta
“Mari saya antar, kebetulan saya lewat sana,” tawar sang pria, Alicia terdiam, dia tampak ragu menerima penawaran begitu dari pria asing pula.
“Saya naik taksi saja, terima kasih atas tawarannya,” tolak Alicia dengan lembut.
“Kamu takut padaku? Aku tidak akan menjahatimu.”
“Hm tapi...” Pria itu mengulurkan tangan pada Alicia dan dengan sedikit ragu disambut oleh Alicia.
“Alexio, aku tinggal di daerah sini jadi kamu tidak perlu takut padaku. Belanjaanmu sangat banyak, tidak mungkin kamu akan naik taksi, itu akan merepotkan.” Alicia menatap Alexio dengan intens, memang tak ada tanda-tanda kalau Alexio orang yang jahat.
Setelah berpikir beberapa saat dan Alexio meyakinkan, Alicia menerima tawaran itu. Selama di perjalanan, mereka hanya bicara ringan tanpa membahas hal berat apapun. Alexio yang memang mudah akrab, tentu bisa membawakan suasana.
“Terima kasih, Alexio, kau sudah membantuku beberapa kali hari ini,” ucap Alicia setelah turun dari mobil.
“Sama-sama Alicia, sepertinya kita akan sering bertemu, rumahku tak jauh dari sini.” Alicia tersenyum.
“Oh ya, kebetulan sekali.”
“Aku pergi dulu,” pamit Alexio yang dibalas anggukan oleh Alicia.
Mobil Alexio melesat pergi dari perumahan Alicia, wanita itu langsung menyusun semua barang yang telah dia beli lalu istirahat, untung saja kehamilannya tidak terlalu mengganggu, walaupun dia memiliki penyakit tapi kandungannya sehat dan kuat.
Ponsel Alicia berdering, melihat siapa yang menghubunginya tapi itu nomor tak dikenal. Alicia langsung mengangkat panggilan tersebut, dia yakin kalau itu costumer yang ingin memesan produknya.
“Kau sudah tidak di tempat pelacuran itu lagi ya, apa misimu telah selesai? Jangan lupa bagianku atau aku akan merusak hidupmu, Alicia,” ancam seorang pria di seberang sana, Alicia langsung memutuskan panggilan.
“Dari mana dia mendapatkan nomor ini? Aku sudah menghindar dan dia masih saja menerorku, sialan,” umpat Alicia pada penelpon tadi.
...***...
Hulya membuang muka ketika Marchel memasuki ruang rawatnya, dia benar-benar membenci pria yang ada di hadapannya saat ini. Marchel tak banyak bicara, dia mengemasi beberapa barang Hulya dan bersiap untuk pulang setelah dua minggu Hulya dirawat.
Kondisinya juga sudah mulai membaik walau masih terlihat begitu lemah dan butuh istirahat yang cukup.
Di dalam mobil, Hulya dan Marchel tidak bicara sama sekali, mereka larut dalam pikiran masing-masing sehingga suasana menjadi sedikit canggung dan tegang.
Hulya sesekali menghapus air matanya, rasa sesak di dada dan sakit di sekujur tubuh membuat dirinya ingin lepas dari Marchel, pria itu tidak akan pernah berubah. Marchel akan tetap mengerikan jika sudah emosi, Hulya seakan tidak memiliki celah untuk kabur sekarang.
Sesampainya di mansion, Hulya langsung menuju kamar tanpa menoleh pada Marchel, dia mandi untuk merilekskan tubuh lalu mengganti pakaian yang nyaman.
Hulya berdiri di balkon kamar memikirkan bagaimana cara agar bisa lepas dari Marchel, dia tidak akan menyerah secepat ini.
"Jika waktu itu aku kabur karena takut dia membunuh anakku, kali ini aku akan kabur karena aku sudah sangat muak padanya. Aku akan pergi dari hidup Marchel, bagaimana pun caranya," tekad Hulya, tangannya mengepal dengan kuat hingga urat di tangan terlihat.
Hulya mendengar suara pintu kamar di buka dan langkah kaki tegas menuju ke arahnya, dia bisa memastikan kalau itu adalah Marchel karena begitu hafal dengan aroma tubuh pria itu.
"Makanlah, dari pagi tadi kamu belum makan sama sekali, Hulya." Suara Marchel terdengar lembut.
"Aku tidak lapar, aku hanya ingin sendiri, kau keluarlah dan tolong jangan tidur di sampingku lagi," pinta Hulya tanpa melihat wajah Marchel sama sekali, terdengar Marchel menghela napas beratnya.
"Makanlah sedikit saja, setelah itu aku akan pergi, aku janji. Aku tidak akan mengganggumu." Hulya menggeleng, baginya sekarang, selera makan itu sudah hilang.
"Keluarlah Marchel, aku mohon."
"Baiklah."
Marchel membawa kembali makanan yang ada di tangannya, menaruh di dapur lalu memasuki ruang kerjanya, di sana dia meneguk minuman keras dan merokok untuk menenangkan pikiran agar tidak tersulut emosi menghadapi sikap dingin Hulya saat ini.
"Apa dia benar-benar membenciku? Tapi aku tidak ingin seperti ini, aku hanya ingin dia kembali mencintaiku, itu saja," gumam Marchel dengan asap rokok yang perlahan keluar dari mulut dan hidungnya.
Marchel menerima panggilan dari seseorang, dia tidak ingin bicara dengan siapa pun sekarang, langsung saja Marchel mematikan ponselnya lalu kembali meneguk minuman mahal itu.
Di kamar lain, Hulya memilih untuk tidur, tubuhnya begitu lelah karena habis mengalami keguguran dua minggu yang lalu, ditambah lagi ketika Marchel menekan kuat perutnya waktu itu, Hulya benar-benar tidak bisa berpikir sehat dan sangat tertekan.
...***...
Hari-hari berlalu, tidak ada komunikasi mendalam antara Hulya dan Marchel, sudah hampir dua bulan ini mereka saling diam, Marchel sering memulai percakapan namun Hulya tak menggubris sama sekali.
Hulya semakin hari semakin tak acuh, dia bahkan tidak secerah dan sesegar biasanya. Hulya lebih banyak murung, padahal biasanya dia orang paling ceria dan manja.
Sarapan kali ini sama seperti biasa, dilewati dengan keheningan, hanya suara dentingan sendok di piring yang terdengar.
"Nanti malam Wilton mengadakan pesta pertemuan beberapa anggota bisnis, mau ikut bersama denganku malam ini?" Marchel akhirnya angkat suara, dia terlihat sedikit ragu menanyakan hal tersebut. Marchel bahkan tidak terlalu berharap kalau Hulya akan setuju untuk pergi bersamanya.
"Oke," jawab Hulya singkat, dia lalu pergi dari ruang makan tersebut menuju halaman belakang untuk berjemur karena cahaya matahari pagi cukup menyenangkan.
Marchel tak mempermasalahkannya, dia tersenyum tipis lalu melanjutkan sarapan dan pergi bekerja.
...***...
Marchel mengunjungi toko pakaian terbaik, dia memilih gaun yang indah untuk Hulya pakai malam ini, dia ingin Hulya tampil sempurna karena pesta malam ini bukanlah pesta sembarangan, beberapa CEO dan juga mafia dari berbagai negara akan hadir.
Setelah mendapatkan pakaian yang dia suka, Marchel langsung ke toko perhiasan dan membeli satu set berlian untuk, barulah dia pulang ke mansion. Hari juga sudah gelap, sesampainya di mansion, Marchel mengetuk pintu kamar dan tidak ada jawaban.
Langsung saja dia buka, ternyata Hulya tengah tidur dengan lelap. Marchel melangkah dengan perlahan lalu menaruh barang belanjaan tadi di atas meja rias.
Mereka sudah tidak satu kamar lagi, semenjak kejadian itu, Hulya menjaga jarak dari Marchel, pria itu juga sadar diri dan tidak terlalu memaksa Hulya lagi.
Marchel kembali ke kamarnya, memilih pakaian yang akan dia pakai di pesta nanti. Dia duduk terlebih dahulu di balkon sembari menunggu waktu yang tepat untuk membangunkan Hulya, dia akan pergi ke pesta pada pukul 8 malam dan sekarang baru pukul 7.