Long Zhu, Kaisar Dewa Semesta, adalah entitas absolut yang duduk di puncak segala eksistensi. Setelah miliaran tahun mengawasi kosmos yang tunduk padanya, ia terjangkit kebosanan abadi. Jenuh dengan kesempurnaan dan keheningan takhtanya, ia mengambil keputusan impulsif: turun ke Alam Fana untuk mencari "hiburan".
Dengan menyamar sebagai pengelana tua pemalas bernama Zhu Lao, Long Zhu menikmati sensasi duniawi—rasa pedas, kehangatan teh murah, dan kegigihan manusia yang rapuh. Perjalanannya mempertemukannya dengan lima individu unik: Li Xian yang berhati teguh, Mu Qing yang mendambakan kebebasan, Tao Lin si jenius pedang pemabuk, Shen Hu si raksasa berhati lembut, dan Yue Lian yang menyimpan darah naga misterius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Ubi, Wajah Baru, dan Pengabdian yang Lebih Dalam
Tao Lin mendarat di halaman dengan debu beterbangan. Dia berlutut dengan satu kaki, dalam pose pahlawan yang kembali, memegang dua kendi anggur yang berharga di masing-masing tangan.
"Leluhur Zhu Lao! Saya kembali!" serunya, wajahnya memerah karena gembira dan lari cepat. "Anggur 'Osmanthus Bulan Tersembunyi' terbaik, seperti yang Anda minta!"
Dia mengangkat kepalanya, siap menerima pujian, dan... membeku.
Di seberang halaman, Li Xian masih menempel di dinding, tapi kini dia menatap ke arah pintu kamar dengan mulut ternganga. Shen Hu telah menghentikan senandung ubinya, matanya yang polos melebar.
Di ambang pintu kamar berdiri Mu Qing, tampak pucat seperti hantu, memegang cangkir yang berkilau.
Dan di sampingnya, melangkah keluar dari bayang-bayang kamar, adalah pemuda tampan yang tak terlukiskan itu.
Otak Tao Lin yang biasanya cepat, kini macet total. Dia melihat pemuda bangsawan yang tampak agung, lalu ke Mu Qing yang tampak terguncang, lalu ke jubah kotor yang terlipat rapi di tempat tidur di belakang mereka.
Kesimpulan yang salah, tetapi logis, langsung terbentuk di benaknya.
Seorang bangsawan muda yang sombong. Dia menyelinap masuk. Dia menyakiti Leluhur (jubahnya tertinggal!). Dan dia sekarang mengancam gadis ini!
BAM!
Kendi-kendi anggur itu diletakkannya dengan kasar. Aura Ranah Raja meledak dari tubuh Tao Lin. Halaman itu tiba-tiba dipenuhi dengan Niat Pedang yang begitu tajam hingga Li Xian merasa kulitnya seperti teriris.
"Siapa kau?!" raung Tao Lin, matanya merah.
"Dan apa yang telah kau lakukan pada Leluhur Zhu Lao?!"
Pemuda tampan itu (Zhu Lao) mengerutkan keningnya yang sempurna. "Sungguh berisik. Kau hampir membuatku menumpahkan cangkirku."
"Mati kau, pencuri!" Tao Lin mengira kesunyian itu adalah sebuah pengakuan. Dia bersiap untuk menarik pedangnya tindakan yang akan menjadi bunuh diri.
"Tunggu!" teriak Li Xian, akhirnya menemukan suaranya. "Ada apa ini?!"
"Dia bukan orang baru!" Shen Hu ikut berdiri, kini tampak defensif. "Dia... dia..."
Shen Hu tidak bisa menyelesaikannya.
"Tao Lin," sebuah suara sedingin es memotong ketegangan.
Mu Qing melangkah maju, tubuhnya sedikit gemetar, tapi dia berdiri di antara Tao Lin dan Zhu Lao.
"Itu... dia," katanya pelan, tidak bisa mengalihkan pandangan dari wajah baru Zhu Lao. "Itu... Leluhur Zhu Lao."
Keheningan.
Niat Pedang yang mengamuk dari Tao Lin padam seketika, seperti lilin yang ditiup angin.
Dia menatap Mu Qing. "Apa... katamu?"
"Dia bilang," kata Zhu Lao dengan nada lelah, melangkah ke cahaya bulan. Dia mengangkat cangkir yang bersih. "Wujud kakek tua itu merepotkan. Punggungku pegal, lututku berbunyi terus. Tidak nyaman. Wujud ini lebih sedikit masalahnya."
Tao Lin menatap. Matanya beralih dari jubah hitam yang ditenun dari malam, ke wajah yang bisa membuat bintang-bintang malu, lalu ke mata yang tua dan lelah di dalam wajah itu.
Dia mengenali mata itu. Mata yang sama yang menatapnya di kedai anggur.
Kesadaran menghantam Tao Lin seperti sambaran Guntur.
Dia tidak hanya salah. Dia telah mengancam Leluhur. Dia telah mengarahkan niat membunuh pada Surga yang sedang berganti pakaian.
"Aku..."
Mulut Tao Lin terbuka, tetapi tidak ada suara yang keluar. Dia tidak lagi gemetar karena marah. Dia gemetar karena ketakutan murni. Dia melakukan sujud. Dia jatuh berlutut, lalu bersujud penuh, dahinya membentur tanah halaman dengan bunyi GEDEBUK yang keras, jauh lebih keras dari yang pertama kali.
"LELUHUR! LELUHUR YANG AGUNG! SAYA BUTA! SAYA LEBIH RENDAH DARI DEBU!" teriaknya, suaranya tercekat oleh air mata penyesalan. "Mata anjing saya ini gagal mengenali wujud agung Anda! Saya pantas mati sepuluh ribu kali! Bunuh saya sekarang! Hancurkan jiwa saya! Saya tidak pantas menyajikan anggur untuk Anda!"
Li Xian menatap pemandangan itu dengan ngeri. Tao Lin, sang Master Pedang, kini menangis tersedu-sedu di tanah seperti anak kecil yang kehilangan mainannya.
Zhu Lao menghela napas paling berat yang pernah ada di alam semesta.
"Astaga," katanya. "Kau lebih merepotkan dalam wujud ini daripada saat kau mabuk. Bangun. Kau membuat debu beterbangan ke mana-mana. Dan kau menelantarkan anggurku."
"Leluhur..." isak Tao Lin.
"Bangun!" bentak Zhu Lao. "Atau aku akan menjadikanmu pembersih lubang kotoran, bukan pemandu anggur."
Perkataan itu bekerja lebih baik daripada ancaman kematian. Tao Lin langsung melompat berdiri, wajahnya basah oleh air mata dan kotor oleh debu, tetapi ekspresinya adalah pengabdian yang fanatik.
"Terima kasih atas kemurahan hati Anda, Leluhur! Terima kasih!"
Zhu Lao mengabaikannya dan menoleh ke Shen Hu, yang telah mengamati semuanya dengan kebingungan yang tenang.
"Zhu Lao," kata Shen Hu, memecah ketegangan. "Wajahmu terlihat berbeda. Kau terlihat... sudah tidur nyenyak."
Hanya Shen Hu yang bisa memberikan komentar seperti itu.
"Aku... kurasa begitu," kata Zhu Lao, sedikit terkejut oleh logika sederhana itu.
"Bagus," kata Shen Hu, tersenyum lebar. "Ubi panggangmu sudah siap. Yang ini karamelnya pas, seperti yang kau minta."
Dia mengambil ubi bakar terbaik dari bara api dan menawarkannya kepada Zhu Lao.
Kaisar Dewa Semesta dalam wujud pemuda tampan yang tak tertandingi, dengan rambut hitam tergerai berdiri di tengah halaman yang kacau. Di satu sisi, seorang Master Pedang menangis tersedu-sedu. Di sisi lain, dua remaja menatapnya seolah dia adalah hantu.
Zhu Lao mengambil ubi bakar itu dari Shen Hu.
Kemudian, dia mengambil salah satu kendi anggur 'Osmanthus' dari Tao Lin.
Dia duduk di dekat api unggun, menuangkan anggur surgawi ke dalam cangkir tehnya yang berkilau, dan menggigit ubi bakar yang manis dan lengket.
"Ah," desahnya puas, mengabaikan kekacauan yang baru saja disebabkannya. "Ini baru hidup."
😍💪
💪