NovelToon NovelToon
Menikahi Ayah Sang Pembully

Menikahi Ayah Sang Pembully

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Balas Dendam / CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: penyuka ungu

Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.

Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.

Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

25. Undangan yang Tidak Terduga

Damian menutup pintu kamar pribadi yang berada di dalam ruang kerjanya. Rambutnya masih sedikit basah, sisa dari usahanya untuk menyegarkan diri setelah hari panjang yang penuh beban pikiran. Baik pekerjaan maupun masalah keluarga terus berputar di kepalanya tanpa henti.

Ia menatap ke luar jendela. Cahaya senja berwarna oranye menghiasi langit, menciptakan pemandangan tenang yang jarang sempat ia nikmati. Untuk sesaat, semuanya terasa menenangkan.

Hingga ketukan di pintu memecah konsentrasinya.

“Masuk,” ucapnya pelan, lalu berjalan menuju kursi kerjanya dan duduk di sana.

Pintu terbuka, menampilkan Elena yang melangkah masuk sambil membawa piring kecil berisi kue stroberi yang dipotong segitiga.

“Om, cobalah ini,” ucapnya sambil meletakkan piring itu di atas meja Damian.

Damian menaikkan alis, “Apa ini?”

Elena mendengus pelan, “Apa Om tidak bisa lihat? Itu kue,” jawabnya kesal.

Damian terkekeh kecil, “Aku tahu. Maksudku, untuk acara apa? Tidak ada yang berulang tahun disini.”

Elena menatapnya tajam, “Memangnya makan kue harus menunggu ulang tahun? Dengar ya Om, makan makanan manis bisa memperbaiki suasana hati dan membuat perasaan jauh lebih tenang. Jadi, cobalah. Siapa tahu semua beban pikiran Om bisa hilang seketika.”

Damian menatap Elena lekat. Tatapan wanita itu terlihat tulus dan membuatnya terdiam. Ada sesuatu yang menenangkan dari cara Elena memperhatikannya.

“Kenapa diam saja? Ayo, coba,” desak Elena, “Aku bahkan memesankannya khusus untuk Om.”

Akhirnya Damian mengambil sendok kecil yang diletakkan di sisi piring, lalu memotong kue itu, dan mencicipinya perlahan.

“Hmm…” gumam Damian sambil mengunyah. Ia lalu mengambil satu sendok lagi.

“Bagaimana rasanya? Enak, kan?” tanya Elena penuh harap.

Damian menatapnya dengan wajah datar, “Rasanya seperti kue.”

Elena spontan berdecak kesal. Pria itu benar-benar tidak bisa memberikan pujian sedikit pun.

Damian tertawa kecil, puas karena berhasil menggoda wanita itu, “Aku bercanda. Ini enak. Bahkan sangat enak. Dan, ya, suasana hatiku memang berubah. Terima kasih atas perhatianmu.”

Kata-kata itu membuat tatapan Elena melembut. Ia mengangguk pelan, bibirnya melengkung dalam senyum kecil.

“Aku senang mendengarnya,” ujar Elena.

Elena berdehem pelan, dan melangkah satu langkah mendekat. Ia sempat melirik ke arah pintu, seolah khawatir ada yang mendengar pembicaraan mereka.

Melihat sikap itu, Damian menaruh sendoknya di atas piring. Tatapannya tajam tapi penuh perhatian.

“Ada apa? Kau terlihat aneh,” tanyanya tenang.

Elena menggigit bibir bawahnya sebelum bicara, “Emm… aku ingin mengatakan sesuatu, tapi takut membuat Om tambah kepikiran.”

Damian menautkan alisnya, “Katakan saja.”

Elena menarik napas dalam, “Di luar, banyak yang membicarakan tentang pertemuan antara Tuan Alan dan anak Om.”

“Sean?” Damian langsung menatapnya dengan dahi berkerut.

“Ah, iya… anak Om itu bernama Sean, kan? Saat aku mengantarkan berkas tadi, beberapa karyawan membicarakan hal itu. Mereka bahkan menyinggung soal calon pewaris perusahaan,” ucap Elena hati-hati.

Damian tersenyum miring, “Sudah kuduga,” gumamnya dingin.

Elena memperhatikan ekspresi Damian dengan seksama. Pria itu tampak begitu tenang, seolah semua sudah ia prediksi jauh-jauh hari. Namun di balik ketenangan itu, Elena tahu Damian sedang menimbang sesuatu.

Ia kemudian berpikir, setidaknya dengan menambah sedikit bumbu dalam masalah ini, tentunya akan jauh lebih menyenangkan.

Elena menunjukkan wajah sedih, “Sekarang aku malah jadi takut karena memikirkan diriku sendiri, Om.”

Damian mengangkat alis, “Kenapa?”

Elena menunduk, pura-pura ragu, “Tuan Alan sudah menunjukkan ketidaksukaannya padaku secara terang-terangan. Sekarang, anak Om juga menjalin hubungan dengannya. Aku khawatir, Tuan Alan akan bicara buruk tentangku dan membuat anak Om ikut membenciku.”

Damian menghela napas panjang, lalu bersandar di kursinya, “Sifat Alan memang selalu seperti itu. Kau tenang saja, aku tidak akan membiarkan dia menyakitimu. Untuk urusan ini, kau jangan memikirkannya terlalu dalam, aku tahu apa yang harus kulakukan.”

Elena menatap Damian dengan senyum kecil, senyum yang tampak tulus namun menyimpan sesuatu di baliknya, “Aku tidak tahu harus berkata apa pada Om. Keluarga tapi tidak bisa disebut sebagai keluarga. Om selalu terlihat sendirian.”

Damian menunduk dalam diam, matanya menerawang, “Kau benar. Aku dan Alan memang tidak pernah cocok. Dia selalu menampilkan diri sebagai paman yang baik, padahal aku tahu ambisinya besar pada perusahaan ini.” Ia kemudian mendongak, menatap Elena dengan sorot tegas, “Aku berjanji akan melindungimu. Tapi, untuk berjaga-jaga, aku minta kau untuk menjauhi dia.”

Elena mengangguk pelan, “Baik, Om,” jawabnya lembut. Namun, dalam diam, ia tahu betul bahwa badai dalam keluarga Evans baru saja dimulai.

Tanpa aba-aba, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Damian dan Elena serempak menoleh. Di ambang pintu, berdiri Alan dengan senyum lebar di wajahnya, senyum yang hanya bertahan sampai pandangannya jatuh pada Elena. Seketika, senyum itu memudar.

“Paman? Kau di sini?” Damian membuka suara, sedikit terkejut melihatnya.

Alan melangkah masuk tanpa diminta. Elena buru-buru membungkuk sopan, lalu mundur beberapa langkah, memberi ruang untuk pria itu.

“Maaf, aku masuk tanpa permisi,” ucap Alan santai, kemudian melirik Elena dari ujung kepala hingga kaki, “Sekretarismu tidak di tempat, rupanya dia ada di sini.”

Damian melirik Elena sejenak, lalu menatap pamannya tajam, “Ada perlu apa datang ke ruanganku?” tanyanya datar.

Namun bukannya menjawab, Alan justru tampak memperhatikan piring di meja, tepatnya pada sisa kue yang hampir habis. Ekspresinya berubah riang.

“Kau bahkan makan kue di hari ulang tahun bibimu? Aku benar-benar bersyukur mempunyai keponakan sepertimu,” ucapnya antusias.

Damian dan Elena saling pandang, keduanya sama-sama bingung.

“Ulang tahun?” Damian mengulang dengan nada heran.

“Kau lupa?” tanya Alan, menatapnya tidak percaya, “Hari ini ulang tahun bibimu. Setiap tahun kau selalu datang makan malam di rumahku bersama Sean.”

Damian mengernyit, lalu mengambil ponselnya. Ia menekan tombol daya dan menatap layar yang menampilkan tanggal hari ini. Beberapa detik kemudian, ia mengembuskan napas berat. Benar, hari ini memang ulang tahun istri Alan. Terlalu banyak hal yang mengganggu pikirannya hingga ia benar-benar lupa.

“Kau ingat sekarang?” tanya Alan, sedikit tersenyum puas.

Damian mengangguk pelan, “Maaf, aku memang lupa.”

Alan menggeleng cepat, “Tidak apa-apa. Tapi malam ini datanglah. Kami akan merayakannya di hotel bintang lima. Bibimu menginginkan perayaan yang lebih besar tahun ini. Aku bahkan sudah mengundang beberapa ketua divisi, dewan direksi, dan juga tamu-tamu penting.”

Damian mengerutkan kening, suaranya penuh curiga, “Tidak biasanya kau mengadakan acara semeriah itu.”

Alan mendesah pasrah, “Bukan aku yang meminta, tapi semuanya ide istriku. Katanya, sekali-sekali ingin suasana berbeda. Ya walau jujur saja, biayanya benar-benar menguras kantong,” ucapnya disertai tawa hambar, “Tapi tidak apa. Demi membuat wanita yang kucintai bahagia, aku rela melakukannya.”

Damian menatap pamannya lekat-lekat, lalu mengangguk pelan, “Aku turut senang karena kau menuruti permintaan istrimu.” Ia kemudian melirik Elena, “Nanti malam, kau ikut bersamaku.”

Wajah Alan seketika berubah, “Tidak, Damian. Kalau kau membawanya, bibimu bisa salah paham. Aku tidak ingin membuat masalah baru.”

Damian menatapnya datar, “Apa yang harus disalahpahami? Aku hanya membawa sekretarisku. Apa itu salah?”

Alan menoleh ke arah Elena, menatap tajam seolah ingin menembus pikirannya. Suasana ruangan tiba-tiba terasa berat.

“Baiklah. Hanya untuk malam ini saja aku membiarkannya,” putus Alan dengan nada dingin, “Aku pergi dulu.”

Dan tanpa menunggu balasan, Alan berbalik dan keluar dari ruangan, meninggalkan hawa tegang yang sebelumnya memenuhi ruangan.

Elena kemudian melangkah mendekati meja Damian, “Om yakin akan membawaku ke pesta nanti malam?”

Damian mengangguk mantap.

Tapi wajah Elena seketika ragu, “Ini sangat aneh Om. Dia pasti merencanakan sesuatu.”

“Dia tidak akan berbuat apapun saat istrinya ada di sana. Bibiku adalah wanita yang baik, jauh berbeda dengan suaminya. Kau tidak perlu khawatir. Lagipula ada aku di sana. Tidak akan ada yang berani menyakitimu.”

“Anak Om akan datang juga?” tanya Elena hati-hati.

“Sepertinya iya. Mereka saling mendukung, apalagi dalam urusan perusahaan. Anak itu pasti datang.”

Elena mengangguk pelan. Di dadanya, ada sesuatu yang terasa menegang. Malam nanti, Sean akan ada di sana dan itu berarti pertemuan pertama mereka setelah lima tahun berlalu. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa jika pria itu menatapnya lagi. Dan juga, bagaimana wajah Sean nanti ketika tahu bahwa ayahnya datang bersama wanita yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya?

“Elena?” suara Damian memecah lamunan.

“Hm?” Elena tersentak ringan, lalu menatap pria itu.

Damian tersenyum tipis, “Aku akan menjemputmu nanti. Kurasa aku akan tinggal di kantor dulu untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan.”

“Kalau begitu, kita berangkat dari sini saja. Aku akan menunggu Om,” jawab Elena cepat.

“Tapi itu akan lama. Kau tidak akan berdandan dulu?” Damian menaikkan alisnya.

Elena tersenyum kecil, “Tampilanku ini sudah cukup untuk membuat para tamu undangan mengagumiku.”

Damian terkekeh pelan, “Baiklah, terserah kau. Kalau kau lelah, kau boleh menggunakan ruang istirahat pribadiku.”

“Terima kasih, Om,” ucap Elena, kali ini dengan senyum yang lebih lembut.

1
merry
haus harta tu Sean pdhll orgtua y baik dech gk gila harta,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!