Kisah romantis seorang aktor yang arogan bersama sang asisten tomboynya.
Seringkali habiskan waktu bersama membuat keduanya saling menyembuhkan luka masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26. Perhatian Khusus
26
Tim kamera memeriksa pencahayaan, kru properti mengatur posisi kursi, dan sang sutradara sibuk menegur seorang teknisi yang salah menempatkan mikrofon.
Allen datang paling awal bersama Liang. Wajahnya masih tampak lelah, namun ia berusaha keras menampilkan senyum kecil saat membagikan daftar adegan dan memastikan semua alat siap.
Kali ini, rambutnya yang mulai memanjang disembunyikan rapi di balik topi, dan selain binder ketat ia mengenakan kemeja longgar yang menutupi bentuk tubuhnya.
Liang berdiri tak jauh, mengawasi dari kejauhan, memastikan kalau Allen tidak goyah.
Ia tahu, satu tatapan tajam dari Aldrich saja bisa membuat gadis itu roboh lagi.
Dan benar saja, tak lama kemudian Aldrich datang.
Langkahnya mantap, ekspresinya datar, terlalu datar untuk ukuran seseorang yang biasanya cukup ramah pada semua kru.
Semua orang segera menunduk atau pura-pura sibuk.
“Pagi semuanya,” suaranya berat tapi jelas.
“Pagi, Mas Aldrich,” jawab para kru hampir serempak.
Allen berdiri kaku di sisi meja minuman, memegang clipboard. Saat Aldrich melintas di depannya, napasnya tercekat. Ia menunduk lebih dalam, menatap ujung sepatunya.
Aldrich berhenti sejenak.
“Teh,” katanya pelan, tanpa menoleh.
Allen segera bereaksi. “Ya, Mas.”
Suara itu bergetar, tapi tangannya cekatan menuangkan teh panas ke dalam cangkir.
Liang yang memperhatikan dari jauh menghela napas panjang. Ia bisa merasakan betapa kaku udara di antara dua orang itu.
Aldrich menerima teh itu tanpa mengucap terima kasih, tapi ia tidak menatap Allen sama sekali.
“Jangan terlalu manis,” katanya. “Aku tidak suka hal yang menipu.”
Allen terdiam.
Kalimat itu bagai tusukan halus yang menusuk ke ulu hatinya.
Liang buru-buru memotong suasana. “Hey, jangan mulai dengan nada pahit juga dong, Mas. Masih pagi, lho.”
Ia menepuk bahu sahabatnya pelan, mencoba mencairkan suasana.
“Fokus dulu sama adegan pertama, ya? Setelah itu kamu boleh marah-marah lagi kalau mau.”
Aldrich hanya mendengus kecil lalu pergi ke arah make-up artist.
Allen menunduk lebih dalam, menahan air matanya agar tidak tumpah. Liang mendekat, berbisik lembut,
“Jangan diambil hati, Allen. Dia cuma butuh waktu.”
“Aku tahu,” bisik Allen lirih. “Aku… cuma takut dia benar-benar benci aku.”
Liang menggeleng pelan. “Kalau dia benar-benar benci, dia tak akan memintamu tetap di tim.”
Ia menepuk punggung Allen pelan. “Kamu kuat, kan? Hari ini buktikan saja kalau kamu masih profesional.”
Allen mengangguk pelan, berusaha tersenyum. “Terima kasih, Ko Liang.”
Beberapa jam berlalu.
Syuting berlangsung cukup lancar, meski suasana di antara Aldrich dan Allen masih terasa kaku.
Dalam satu adegan, Aldrich harus berlari di tepi pantai, lalu menatap ke arah laut dengan ekspresi sendu.
Sutradara berteriak, “Kamera, roll! Action!”
Angin laut berhembus lembut, rambut Aldrich berantakan, dan cahaya matahari memantul di kulitnya yang basah oleh keringat.
Allen tanpa sadar memperhatikan dari jauh, tatapan yang bukan lagi milik seorang asisten, tapi seseorang yang lebih dulu merasakan sesuatu diam-diam.
Namun ketika mata mereka hampir bertemu, Allen segera menunduk.
Dadanya berdebar tak karuan, merasa malu dan bersalah.
Selesai pengambilan gambar, Aldrich kembali ke tenda. Ia melihat Allen sudah menyiapkan handuk dan botol air di atas meja.
Saat Allen menyodorkannya, tangan mereka nyaris bersentuhan.
Keduanya menegang seketika.
Aldrich cepat-cepat menarik tangannya, seolah tersengat listrik. “Terima kasih,” ucapnya datar, tapi nadanya lebih lembut dari pagi tadi.
Allen hanya mengangguk, tak berani menatap.
Namun Liang yang memperhatikan dari kejauhan tersenyum samar. Ia tahu di balik kekakuan itu, ada sesuatu yang perlahan mencair.
Sore itu syuting berakhir lebih awal karena cuaca berubah mendung.
Aldrich duduk sendirian di teras vila, menatap laut yang mulai gelap.
Liang menghampirinya dengan dua cangkir teh hangat. “Kamu tahu,” katanya pelan, “aku jarang melihatmu seserius ini bahkan saat kita shooting film perang.”
Aldrich mengembuskan napas panjang. “Aku bukan marah karena dia perempuan, Ko. Aku marah karena aku mempercayainya tanpa tahu siapa dia sebenarnya.”
Liang menatapnya lama, lalu tersenyum samar.
“Mungkin itu justru bukti kalau dia berhasil menjadi bagian dari hidupmu dengan tulus.”
Aldrich tidak menjawab. Tapi pandangannya melembut sedikit, seolah pikirannya mulai melayang entah ke mana.
Di dalam kamar, Allen menatap bayangan dirinya di cermin.
Ia menghapus sisa riasan di wajahnya dan berbisik lirih,
“Besok… aku harus lebih kuat lagi.”
Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu, apa pun yang terjadi antara dirinya dan Aldrich kini tidak akan pernah sama lagi.
**
Langit malam itu mendung. Angin laut berhembus lembut namun membawa hawa dingin yang menggigit.
Seluruh kru film berkumpul di vila utama setelah seharian bekerja. Mereka makan malam sederhana, sup jagung, daging panggang, dan jus buah tropis.
Liang duduk di ujung meja sambil bercanda dengan beberapa kru muda.
Allen sesekali tersenyum kecil, tapi pikirannya melayang entah ke mana, masih canggung berada di satu ruangan dengan Aldrich yang kini duduk berjarak tak jauh darinya.
Aldrich tampak lelah. Wajahnya pucat, dan kemeja tipis yang ia kenakan mulai tampak lembap oleh keringat dingin.
Awalnya, semua mengira ia hanya kelelahan setelah seharian syuting di bawah matahari. Tapi ketika tangannya mulai bergetar saat mengambil gelas, Liang langsung sadar ada yang tidak beres.
“Hey, kamu baik-baik aja?” tanya Liang, menghentikan obrolan.
Aldrich berusaha tersenyum. “Aku cuma sedikit pusing. Mungkin terlalu lama di deket air tadi.”
Namun sesaat kemudian, tubuhnya goyah. Allen yang duduk paling dekat segera bereaksi, menahan bahunya sebelum aktor itu jatuh dari kursi.
“Mas Aldrich!” seru Allen panik.
Semua kru berdiri spontan, suasana langsung berubah tegang.
Liang menepuk punggung Allen. “Cepat bantu aku, kita bawa ke kamar.”
Mereka berdua menuntun Aldrich ke kamar paling besar di lantai atas, kamar yang kebetulan memang disiapkan untuk tiga orang, karena vila itu penuh dan hanya tersisa satu ruangan.
Begitu Aldrich dibaringkan di ranjang, Liang memanggil kru lain untuk mengambil obat dan air hangat.
Allen buru-buru mengambil handuk kecil, merendamnya dalam baskom, lalu menempelkannya ke dahi Aldrich yang mulai panas.
“Dia demam tinggi,” gumam Allen cemas.
Liang mengangguk. “Kamu rawat dia dulu, aku cari termometer dan paracetamol.”
Lalu ia bergegas keluar kamar.
Tinggallah Allen dan Aldrich berdua.
Cahaya lampu kamar yang temaram membuat suasana terasa tenang, namun juga penuh kegugupan.
Allen mengganti handuk di dahi Aldrich beberapa kali. Tangannya bergetar, bukan karena takut, tapi karena takjub melihat sosok yang selama ini ia kagumi terbaring lemah di depannya.
Aldrich membuka mata pelan. Tatapannya sayu. “Kamu di sini…?” suaranya serak.
“Ya, Mas. Ko Liang lagi ambil obat,” jawab Allen lembut.
Aldrich menatapnya sejenak. “Kamu… masih mau merawatku?”
Pertanyaan itu membuat Allen tercekat.
Ia menunduk, lalu berkata lirih, “Apapun yang terjadi, aku tetap bagian dari tim ini, Mas. Lagian… aku gak mungkin diem aja di situasi genting kayak gini.”
Aldrich menatapnya lama, lalu tersenyum samar, senyum lemah yang tak seperti biasanya. “Kamu terlalu baik,” gumamnya sebelum kembali memejamkan mata.
Allen menghela napas pelan. Ia mengelap keringat di pelipis Aldrich dengan penuh hati-hati, seolah menyentuh sesuatu yang rapuh.
“Tidurlah, Mas. Nanti suhu tubuhnya pasti turun,” ucapnya lirih.
Beberapa menit kemudian, Liang kembali sambil membawa obat dan termometer.
“Ya ampun.” katanya setelah melihat angka. “Cukup tinggi, tapi belum berbahaya. Aku beri dia obat dulu.”
Allen membantu Aldrich duduk sedikit agar bisa menelan obat.
Setelah itu, ia kembali menidurkan pria itu dan menarik selimut hingga dada.
“Kamu boleh tidur duluan,” ujar Liang pelan pada Allen. “Aku jaga dulu di sini.”
Allen menggeleng cepat. “Gak, biar aku aja. Ko Liang juga pasti capek.”
Liang menatap Allen sejenak, lalu tersenyum tipis. “Kamu keras kepala juga, ya?”
Allen tersipu. “Cuma… gak tenang kalau ninggalin dia.”
Liang akhirnya menyerah. Ia mengambil bantal dan berbaring di sofa di sudut ruangan.
“Baiklah. Tapi kalau dia bangun dan cari teh, suruh aja tunggu pagi. Dia harus istirahat penuh.”
Allen mengangguk. “Baik, Ko.”
Hening menyelimuti kamar itu.
Hanya suara angin laut dan deburan ombak yang terdengar samar dari luar jendela.
Allen masih duduk di tepi ranjang, menatap Aldrich yang kini tidur tenang.
Tangan kirinya tanpa sadar membetulkan selimut yang tergeser, lalu menyentuh pelipis pria itu, gerakan kecil, spontan, tapi tulus.
“Jangan sakit lagi, ya…” bisiknya pelan.
Liang sempat membuka mata sedikit, melihat pemandangan itu dalam diam. Ia tersenyum samar, lalu menutup matanya kembali.
“Sepertinya aku memang harus jadi penjaga rahasia untuk dua hati keras kepala ini,” gumamnya dalam hati sebelum perlahan terlelap.
.
YuKa/ 291025
ko Liang tersenyum samar mengamati
kiranya Aldrich sdh mulai membuka hati
untuk Allen sang asisten pribadi
biarkan semua mengalir secara alami
tapi satu yang pasti
Allen hanya untuk Aldrich sih
🥰🥰🥰
Yang perlu kau tahu bahwa kebohongan itu hanya akan menyelamatkanmu sementara, tapi akan menghancurkanmu selamanya.. Dan kejujuran mungkin saja menyakitkan, namun akan menyelamatkanmu sekarang & selamanya..
Yahh.. Paling tidak Allen sudah jujur, lebih baik Aldrich tahu sekarang daripada tempe kemudian.. 😁