NovelToon NovelToon
Aku Bisa Tanpa Dia

Aku Bisa Tanpa Dia

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Janda / Selingkuh / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Minami Itsuki

Aku sengaja menikahi gadis muda berumur 24 tahun untuk kujadikan istri sekaligus ART di rumahku. Aku mau semua urusan rumah, anak dan juga ibuku dia yang handle dengan nafkah ala kadarnya dan kami semua terima beres. Namun entah bagaimana, tiba-tiba istriku hilang bak ditelan bumi. Kini kehidupanku dan juga anak-anak semakin berantakan semenjak dia pergi. Lalu aku harus bagaimana?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9

Sesampainya di sekolah, aku terkejut melihat gerbang sudah tertutup rapat. Jam menunjukkan beberapa menit lewat dari waktu masuk.

“Ya ampun…” gumamku, menepuk stir mobil dengan frustrasi.

Aku buru-buru turun dan menghampiri seorang petugas keamanan yang berdiri di gerbang. “Pak, tolong izinkan anak-anak saya masuk. Mereka janji tidak akan telat lagi,” pinta ku cepat, nada penuh memohon.

Petugas itu menatapku dengan tatapan tegas, lalu mengangkat alis. “Sudah tutup, Pak. Tidak bisa masuk begitu saja.”

Aku menelan napas, mencoba tetap tenang meski rasa panik mulai naik. “Tolonglah, Pak. Ini kedua anak saya. Saya janji tidak akan terulang lagi. Tolong berikan kesempatan sekali ini.”

Petugas itu menatapku lagi, lalu menghela napas panjang. Akhirnya ia membuka gerbang sedikit dan mengizinkan kami masuk. “Baik… tapi cepat ya, jangan sampai terlambat lagi.”

Aku mengangguk cepat, menarik Mira dan Clara turun dari mobil. “Terima kasih, Pak!”

Mira dan Clara berjalan masuk dengan wajah lega, sementara aku berdiri sebentar menatap gerbang yang tertutup rapat. Seketika, rasa lega bercampur kekhawatiran—lega karena anak-anak bisa masuk sekolah.

Tibalah giliranku untuk berangkat ke tempat kerja. Aku menarik napas panjang, menyalakan mobil, dan memutar kunci. Dalam hati, aku sudah bersiap menghadapi amarah bos.

Ini sudah kedua kalinya aku datang terlambat, dan aku yakin kali ini reaksinya akan lebih keras. Pikiranku terus menghitung alasan yang bisa kuutarakan, tapi sadar sendiri bahwa semua ini karena kekacauan di rumah—Ratu pergi, anak-anak berantakan, ibuku enggan membantu sepenuhnya.

“Ya Tuhan… semoga hari ini masih bisa diterima,” gumamku sambil menatap jalan raya yang mulai padat.

Selama perjalanan, tanganku tetap memegang kemudi, tapi pikiranku melayang pada rumah. Bayangan seragam anak-anak yang harus kusetrika, sarapan seadanya, dan ibuku yang setengah hati membantu, membuat dadaku semakin berat.

Aku menekan pedal gas lebih keras, berusaha menutupi keterlambatan. Namun, rasa khawatir tetap menghantui. Bagaimana jika bos benar-benar marah? Bagaimana jika pekerjaan ini juga mulai terancam karena kekacauan yang tidak sepenuhnya salahku?

Sesampainya di kantor, aku menahan napas panjang. Pintu lift membuka, dan aku melangkah masuk ke area kerja. Semua mata tertuju padaku. Aku tahu, waktunya menghadapi kemarahan bos telah tiba.

Bos langsung menatapku dengan mata tajam. Wajahnya serius, hampir tak menyembunyikan kemarahannya.

“Erlangga! Ini sudah kedua kalinya datang terlambat! Apa yang terjadi kali ini?” suaranya terdengar tegas, membuat jantungku berdegup kencang.

Aku menelan ludah, mencoba tetap tenang meski dalam hati rasanya panas. “Maaf, Pak… saya… tadi ada beberapa urusan mendesak di rumah,” jawabku pelan, mencoba nada sopan.

Bos mengerutkan dahi, nadanya semakin tinggi. “Urusan di rumah? Apakah itu alasan bagi seorang karyawan untuk datang terlambat dua kali berturut-turut? Kita berbicara soal profesionalisme di sini, Erlangga! Jika masalah pribadi mengganggu pekerjaan, itu tanggung jawabmu untuk menyesuaikan!”

Aku menunduk sebentar, menahan rasa frustrasi yang bercampur lelah. “Ya, Pak… saya mengerti. Saya pastikan ini tidak akan terulang lagi. Saya akan menyesuaikan jadwal saya agar pekerjaan tetap lancar.”

Bos menatapku tajam beberapa detik, lalu menghela napas panjang. “Baik. Tapi ingat, Erlangga… ini peringatan terakhir. Jika terjadi lagi, konsekuensinya tidak main-main. Paham?”

Aku mengangguk cepat. “Paham, Pak. Terima kasih sudah memberi peringatan.”

Bos menatapku sebentar lagi, lalu berbalik, menandakan pembicaraan selesai. Aku berdiri di sana sebentar, menatap ke lantai sambil menahan napas panjang.

Hati ini campur aduk—lega karena masih diberi toleransi, tapi rasa bersalah dan stres akibat kekacauan rumah tetap menghantui.

...****************...

Jam makan siang tiba, aku baru saja menyiapkan nasi di meja kantor dan hendak menyuapnya ketika ponselku berdering. Layar menampilkan nama ibu.

“Ya, Bu?” jawabku cepat, berharap ibuku mengabari hal baik.

“Lang… wali kelas anak-anak tadi telepon. Mereka minta anak-anak dijemput. Jadi, kamu harus jemput mereka sekarang juga,” suara ibu terdengar tegas di telepon.

Aku terdiam sejenak, menatap piring di depanku. Kepala terasa panas. “Bu… tolong sekali ini saja. Aku sedang di kantor, makan pun belum selesai. Bisa tolong jemput mereka?”

Ibu menutup telepon sejenak, kemudian bersuara lagi dengan nada lebih keras.

“Enggak bisa! Ibu tidak mau. Tugas itu bukan tanggung jawab ibu. Kalau tidak bisa, ya sewa saja ART. Jangan mengandalkan Ibu! Atau minta tolong temanmu buat jemput anakmu."

Aku menghela napas panjang, merasa frustasi dan terpojok. Piring di depanku terasa tak berguna. Anak-anak kelaparan, aku di kantor, dan ibu tidak peduli sama sekali.

“Baik, Bu… aku mengerti,” jawabku pelan sambil menutup telepon. Rasanya ingin membanting ponsel itu, tapi aku menahannya.

Dalam hati aku geram, tapi aku tahu satu-satunya pilihan adalah keluar kantor lebih cepat untuk menjemput anak-anak sendiri. Kekacauan rumah tangga ini benar-benar membuat hidupku terbalik.

“Kalau aku minta izin keluar kantor, pasti bos marah… tapi kalau aku diam, anak-anak bisa bermasalah di sekolah. Apa yang harus kulakukan?” gumamku pelan, tangan memainkan garpu tanpa menyentuh nasi.

Jam di dinding menunjukkan waktu cepat berlalu. Sisa waktu makan siang hanya satu jam. Jika aku keluar sekarang, bisa saja anak-anak dijemput terlambat, tapi kalau tetap di kantor, pasti wali kelas atau guru piket akan menghubungi lagi.

Aku menatap ponsel, mencoba mencari jalan tengah—mungkin bisa hubungi teman kantor atau sopir jemputan, tapi semuanya terasa mustahil. Tidak ada yang bisa menggantikan posisiku saat ini.

Aku menghela napas panjang, menatap ke jendela kantor. Kota di luar tampak sibuk, mobil lalu-lalang, dan pikiranku hanya terfokus pada rumah, anak-anak, dan Ratu yang entah di mana.

“Ah… satu jam… pasti tidak cukup,” gumamku pelan, merasakan tekanan yang menumpuk. Kepala terasa berat, dada sesak, tapi aku tahu tidak ada jalan lain. Aku harus mengambil keputusan cepat.

Aku menarik napas panjang, menatap jam di dinding. Waktu terus berjalan, dan anak-anakku menunggu di sekolah. Tak ada pilihan lain.

“Sudah… aku harus izin keluar,” gumamku sambil menekan tombol panggilan ke bos.

“Pak… maaf mengganggu. Ini mendadak, tapi saya harus keluar sebentar karena ada urusan keluarga yang sangat penting. Anak-anak saya menunggu di sekolah,” ucapku dengan suara bergetar sedikit karena gugup.

Bos di telepon terdengar tegas. “Erlangga… ini bukan pertama kalinya. Tapi kalau memang darurat, cepat kembali. Jangan sampai pekerjaanmu tertinggal!”

“Akan saya pastikan, Pak. Saya segera kembali,” jawabku cepat, menutup telepon dengan tangan gemetar.

Aku buru-buru mengumpulkan barang, menyambar jaket, dan berlari keluar kantor. Mobil menyala, aku menekan pedal gas sekuat tenaga, jantung berdegup kencang.

Di perjalanan, pikiran kacau. “Semoga masih sempat… semoga anak-anak tidak bermasalah,” gumamku sambil menatap jalan yang mulai padat.

1
Anonymous
Ini sdh end?
Riani Putri
mantap, tinggal liat gimana menderitanya dia ditinggal ratu, belum lg ketauan korupsi dikantor nya, ayo Thor dilanjutkan lg cerita nya
Riani Putri
mana lanjutannya thor
Riani Putri
ayo dong kk, up lagi, seru ceritanya
Pajar Sa'ad: oke, siap.. ditunggu ya
total 1 replies
Himna Mohamad
mantap ini
Pajar Sa'ad: terima kasih, kak.. tunggu update selanjutnya ya kak 😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!