Demi biaya operasi ibunya,kiran menjual sel telurnya.Matthew salah paham dan menidurinya,padahal ia yakin mandul hendak mengalihkan hartanya pada yoris ponakan nya tapi tak di sangka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gangguan teman lama dan teror anggun
Malamnya, Matthew dan Kiran sedang duduk di balkon. Kiran memegang perutnya yang semakin membesar.
“Dengar, mereka bergerak,” katanya tersenyum.
Matthew tersenyum, menempelkan telinga ke perut Kiran. “Hei, anak-anak kecil… jangan tendang terlalu keras ya. Papa juga mau dengar suara Mama,” ucapnya lembut.
Kiran menatapnya, matanya berair. “Aku tidak menyangka bisa sebahagia ini, Mat.”
Matthew menggenggam tangannya. “Kita sudah melalui banyak hal. Aku tidak akan biarkan siapa pun merusak ini, Kiran. Tidak akan.”
Kiran menunduk, mengusap cincin di jarinya. “Kadang aku takut. Aku merasa ada yang mengikuti. Beberapa kali aku melihat bayangan di taman.”
Matthew langsung menegakkan tubuhnya. “Mulai sekarang, aku pasang kamera di seluruh area rumah. Aku tidak mau ambil risiko.”
Kiran ingin menolak, tapi ia tahu Matthew benar. “Baiklah,” jawabnya pelan.
Sementara itu, di apartemen tua di pinggiran kota, Anggun sedang duduk di depan meja besar penuh foto Kiran dan Matthew. Di salah satu foto, ia mencoret wajah Kiran dengan tinta merah.
"Dia hamil… kembar empat," gumamnya sambil tersenyum miring. "Kalau aku tidak bisa jadi istri Matthew, maka aku pastikan dia tidak akan punya siapa pun selain aku."
Seorang wanita paruh baya masuk membawa map. “Bu, hasil investigasi lengkap. Rumah mereka penuh penjagaan. Tapi ada celah…”
“Celah?”
“Ya, di rumah sakit tempat Nyonya Kiran akan melahirkan nanti. Mereka sudah memesan kamar VIP, tapi sistem keamanannya mudah diakses.”
Anggun tersenyum puas. "Bagus. Aku tidak butuh dia mati, aku hanya butuh anak-anaknya. Matthew akan mencari mereka sampai gila. Dan saat itu terjadi, aku akan ada di sisinya."
Wanita itu menelan ludah, takut. “Bu, kalau ini ketahuan—”
“Diam.” Anggun menatapnya tajam. "Tidak ada yang akan tahu. Aku sudah terlalu lama menunggu. Kiran mengambil segalanya dariku… sekarang giliranku mengambil segalanya darinya."
Keesokan harinya, Matthew berangkat lebih pagi ke kantor karena rapat penting. Kiran ditinggal bersama Rusdi dan beberapa pengawal. Namun entah kenapa, sepanjang hari, Kiran merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Ponselnya berdering. Nomor tak dikenal.
“Halo?”
Tak ada jawaban. Hanya suara napas pelan di seberang sana.
“Halo? Siapa ini?”
Lalu tiba-tiba suara perempuan terdengar sangat pelan, nyaris seperti bisikan di telinganya.
"Menjaga empat nyawa sekaligus tidak mudah, ya, Kiran?"
Kiran membeku. Wajahnya pucat seketika. “Siapa kau?”
Tapi sambungan sudah terputus.
Rusdi datang tergesa. “Nyonya, ada apa?”
Kiran menatap ponselnya gemetar. “Seseorang tahu tentang bayiku, Rusdi… dia tahu segalanya.”
Di tempat lain, Anggun menatap ponselnya dan tersenyum. "Bab pertama sudah dimulai," ucapnya pelan. "Tinggal tunggu waktu sampai cinta sejati itu berubah jadi kehilangan sejati. Aku akan mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku... pelan-pelan, sampai dia tidak punya apa-apa lagi."
Keesokan harinya kiran ke rumah sakit untuk check kesehatan di temani matthew namun saat hendak masuk ada telepon masuk
“Sayang aku akan angkat telfon dulu kamu bisa masuk sendirian kan? Tanya matthew
“Tentu saja”jawab kiran tersenyum
Ia berjalan masuk Suara alat pemeriksaan berdentang lembut di ruang USG.
Kiran tersenyum samar saat mendengar denyut jantung keempat bayinya. “Kuat sekali mereka,” ucapnya pelan sambil mengelus perutnya yang semakin membesar.
Dokter hanya tersenyum ramah. “Semuanya sehat, Nyonya. Tapi mulai minggu depan sebaiknya lebih banyak istirahat, ya.”
“Iya, Dok. Terima kasih.”
Ia bangkit perlahan, membawa hasil pemeriksaan di tangan.
Lorong rumah sakit terasa hampa saat Kiran melangkah keluar dari ruang pemeriksaan, menggenggam hasil USG di tangannya. Empat titik kehidupan kecil itu masih membakar kehangatan di hatinya, senyum tipis menghiasi bibirnya.
Namun, kehangatan itu membeku seketika saat suara melengking memanggil namanya dari belakang, memecah kesunyian yang rapuh.
"Hei, tunggu dulu… itu Kiran, bukan?"
Kiran menoleh perlahan, jantungnya berdebar tak nyaman.
Benar saja. Dua wajah yang dulu pernah menghiasi hari-harinya kini muncul di hadapannya, senyum sinis terukir jelas di bibir mereka. Insila dan Diyyah.
"Wah, aku tidak salah lihat. Jadi ini alasanmu menghilang dari peredaran, ya?" Diyyah menyuarakan kalimat itu dengan nada mencemooh, matanya menelusuri perut Kiran yang membuncit.
Insila menutup mulutnya dengan gestur teatrikal, pura-pura terkejut. "Astaga, ternyata hamil! Pantas saja menghilang seperti ditelan bumi. Kukira kau tersandung skandal… oh, ternyata ini jauh lebih buruk dari yang kukira."
Kiran menarik napas dalam, berusaha mengendalikan diri. "Aku tidak ingin berdebat. Tolong, beri aku jalan."
Diyyah terkekeh sinis. "Memberimu jalan? Hahaha… kau pikir kau siapa sekarang, Kiran? Lihat dirimu. Dulu, kau hanyalah anak miskin yang sok rajin, sekarang muncul dengan perut buncit dan berani menginjakkan kaki di rumah sakit semahal ini. Dari mana kau mendapatkan uang, hah?"
Kiran menatap mereka dengan sorot mata yang tajam, namun suaranya tetap tenang. "Aku di sini untuk pemeriksaan, bukan untuk meladeni urusan kalian."
"Pemeriksaan?" Insila mengedarkan pandangannya ke sekeliling, lalu tertawa merendahkan. "Rumah sakit ini bukan tempat gratisan, sayang. Ayahku adalah salah satu donatur utama di sini. Jika aku mau, aku bisa memastikan kau tidak akan pernah diterima di pintu depan sekalipun!"
Diyyah menambahkan dengan nada menghina, "Atau jangan-jangan ada 'sugar daddy' yang membiayai semua ini, ya? Kiran yang sok suci di kampus dulu, ternyata diam-diam—"
"—lebih murahan dari yang kami kira," Insila menyambung dengan cepat, tawanya menggema di lorong yang sunyi.
Beberapa orang mulai memperhatikan keributan itu, namun tak ada satu pun yang berani ikut campur.
Kiran mengepalkan tangannya erat-erat. "Kalian sudah keterlaluan."
"Keterlaluan?" Diyyah melipat tangannya di depan dada, menantang. "Lucu sekali. Orang sepertimu berbicara tentang batasan? Kau sendiri telah melampaui semua batasan, Kiran. Mahasiswi miskin yang tiba-tiba menghilang lalu muncul dengan perut membuncit. Ya Tuhan, siapa yang sudi menanam benih di rahim sepertimu?"
Tamparan keras mendarat di pipi Diyyah. Plak!
Lorong itu membeku dalam keheningan yang mencekam.
Insila menatap Kiran dengan tatapan tak percaya, lalu melangkah maju dengan cepat. "Berani kau menampar temanku?!"
"Karena kalian sudah melewati batas!" seru Kiran, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun sorot matanya tetap tegas. "Kalian tidak tahu apa pun tentang hidupku, tentang perjuanganku, tentang cinta yang kumiliki!"
Insila mendengus sinis. "Cinta?" Ia terkekeh dingin, meremehkan. "Kau pikir kami bodoh? Gadis sepertimu hanya memiliki satu cinta—uang. Dan kau berani datang ke rumah sakit milik keluargaku? Hahaha, ini benar-benar menggelikan."
Diyyah mengusap pipinya yang memerah, matanya berkilat penuh dendam. "Kau akan menyesali perbuatanmu ini, Kiran. Aku akan memastikan semua orang tahu siapa kau sebenarnya."
Insila menatap perut Kiran dengan jijik. "Lihat itu, besar sekali. Berapa banyak pria yang kau tipu hingga bisa hamil sebesar itu, hah?"
"Hentikan…" Suara Kiran bergetar, air mata mulai menetes tanpa bisa ia kendalikan. "Jangan menghina anak-anakku."
Diyyah justru mendekat, menatap wajah Kiran dari jarak yang sangat dekat. "Anak-anakmu? Atau anak-anak para pria hidung belang yang kau rayu, hah?"
Brak!
Kiran menjatuhkan map hasil USG-nya ke lantai, tubuhnya bergetar hebat menahan emosi. Napasnya tercekat, tangannya refleks memegangi perutnya yang membuncit.
Insila memutar bola matanya, jengah. "Ah, pura-pura pingsan agar dikasihani. Dasar murahan."
Mereka berdua tertawa lagi—tawa yang keras, menusuk, bagaikan dua bilah pisau yang mengoyak harga diri Kiran yang sudah hancur berkeping-keping.
Seorang suster berlari menghampiri mereka, menegur dengan nada khawatir. "Hei, kalian! Jangan membuat keributan di area pasien hamil!"
Namun, Diyyah membalas dengan dingin, "Kami hanya berbicara dengan… mantan teman kami, Suster. Tidak ada masalah
Dari kejauhan ayah insila datang menatap kerumunan
“Ada apa ini? Tanya ayah insila..