Seorang pria modern yang gugur dalam kecelakaan misterius terbangun kembali di tubuh seorang prajurit muda pada zaman perang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Gereja tua itu memang dibangun kokoh sejak masa kolonial. Bahkan setelah dihantam bom besar, bangunan itu masih berdiri walau berguncang hebat.
Sesaat para pejuang mengira mereka selamat. Tapi tak lama, terdengar derak panjang. Dari bawah ke atas, dinding-dinding gereja mulai runtuh. Menara tertingginya ambruk, jatuh menghantam tanah, dan bangunan megah itu berubah menjadi tumpukan batu bata dan kayu lapuk.
Yang tertinggal hanya bayangan siluet menara yang setengah rebah di atas reruntuhan.
Begitu perlindungan itu hilang, peluru Belanda segera menghantam pasukan Republik yang tengah menyeberangi sungai.
Rentetan senapan mesin memecah air sungai menjadi tiang-tiang percikan. Sungai Sinar, yang semula tenang, kini mengamuk bagaikan lautan badai.
Beberapa rakit hancur berkeping-keping dihantam mortir. Ada yang terbalik terkena gelombang kejut, ada pula yang ditelan arus sambil membawa tubuh para pejuang yang berteriak kesakitan.
Tak lama, sungai itu dipenuhi mayat, potongan rakit bambu, dan pejuang yang terluka berusaha berenang ke tepian.
Mayor Wiratmaja mencoba mengatur regu penyelamat. Namun hujan peluru membuat setiap usaha mendekat ke sungai sama saja dengan bunuh diri.
Ketika baku tembak akhirnya mereda, permukaan sungai sudah berubah merah. Dari lebih dari dua ratus orang yang berangkat, hanya segelintir tak lebih dari selusin yang berhasil berenang kembali ke markas, itu pun dengan tubuh penuh luka.
Lalu dari seberang tampak deretan lampu truk dan sepeda motor.
Bala bantuan Belanda telah tiba, dan mereka segera memperkuat pertahanan di sepanjang tepi sungai.
“Mundur!” perintah Mayor Wiratmaja lantang.
Tidak ada pilihan lain. Melanjutkan serangan hanya membuang nyawa percuma.
Tapi pertanyaan berikutnya menggantung di udara: mundur ke mana?
Benteng pertahanan di sisi selatan sudah jatuh. Benteng kecil di timur pun dikuasai musuh. Itu artinya, para pejuang Republik terkepung rapat di jantung kota Yogya.
Satu-satunya tempat aman hanyalah ruang bawah tanah markas perwira, sebuah gudang besar yang cukup kokoh menahan artileri.
Udara di ruang bawah tanah itu pengap, bercampur bau darah dan asap mesiu. Generator kecil yang digerakkan pedal tangan menyala dengan berderit, menyalakan satu-satunya lampu gantung di tengah ruangan.
Wajah para prajurit pucat dan penuh keputusasaan. Mereka tahu jalan keluar hampir tak ada. Hanya teriakan para korban luka dari rumah sakit darurat di sudut ruangan yang masih terdengar.
Di bawah lampu, Komisaris Zulfan mondar-mandir gelisah, sementara Mayor Wiratmaja menunduk menatap peta butut, seolah berusaha mencari jalan keluar dari kertas itu.
Surya bersandar di dinding, memeluk senapannya.
Ia tak sanggup membayangkan. Tadinya ia percaya pengetahuannya bisa membantu memimpin kawan-kawan keluar dari kepungan. Tapi kenyataan terlalu pahit: rencana runtuh karena ada pengkhianat yang membocorkan segalanya.
Lebih dari seribu orang, termasuk keluarga prajurit, kini terjebak di benteng pusat dengan makanan dan air yang semakin menipis.
“Surya!” panggil Mayor Wiratmaja tiba-tiba.
Okta menyenggol Surya agar sadar dari lamunannya. Surya terkejut, lalu segera berlari menghampiri sang Mayor.
“Maaf, Mayor!” katanya tegas, “Rencana itu gagal. Semuanya salahku!”
“Bukan begitu, Surya!” jawab Wiratmaja cepat. “Ini bukan salahmu!”
Komisaris Zulfan menoleh bingung. Mayor Wiratmaja menjelaskan, “Dialah prajurit yang menyusun rencana pelarian itu.”
“Oh…” Zulfan mengangguk, lalu maju. Ia merapikan kerah Surya, menepuk pundaknya, dan berkata dengan nada penuh semangat:
“Mayor benar. Ini bukan salahmu, Surya. Rencanamu bagus sekali kita nyaris berhasil. Yang membuat kita gagal hanyalah pengkhianat itu… manusia tak tahu malu yang menjual darah kawan-kawannya sendiri.”
“Jangan salah paham, Surya!” suara Mayor Wiratmaja tenang namun tegas. “Aku memanggilmu bukan untuk menuntut tanggung jawab. Aku hanya ingin tahu… apakah kau punya rencana cadangan?”
Surya menggeleng lemah.
Ia hanyalah seorang prajurit, bukan komandan yang terlatih. Ia bisa menyusun rencana serangan, tapi untuk kemungkinan gagal ia belum sempat berpikir sejauh itu. Dan pada kenyataannya, bahkan seorang komandan berpengalaman sekalipun pasti akan buntu dalam keadaan seperti ini.
“Tidak ada jalan lain,” ujar Komisaris Zulfan. “Kita hanya bisa bertahan.”
Mayor Wiratmaja mengangguk pelan.
Dalam logika militer, langkah paling masuk akal saat ini sebenarnya menyerah. Pertahanan sudah runtuh, persediaan menipis, dan tidak ada bala bantuan. Perlawanan hanya akan menambah korban di kedua belah pihak.
Tapi kata “menyerah” tak pernah diizinkan terucap di mulut seorang pejuang Republik. Itu adalah kata terlarang.
Saat itulah, terdengar suara berat yang diperkuat pengeras suara dari luar:
“Pasukan Republik, letakkan senjata kalian dan menyerahlah! Kami jamin keselamatan kalian. Jika tidak… lebih banyak bom akan kami jatuhkan ke atas kepala kalian. Waktu kalian hanya satu jam!”
Suasana ruang bawah tanah mendadak beku. Semua orang menahan napas.
Lalu tiba-tiba..dor!
Suara tembakan memecah ruangan.
Mereka menoleh, dan menemukan seorang prajurit rebah bersimbah darah. Senapan panjangnya masih tergenggam, pelatuknya tertekan oleh kakinya sendiri. Di tangannya erat sebuah foto kecil yang kini ternoda merah.
“Apa-apaan ini?!” teriak Komisaris Zulfan marah. Ia menoleh ke prajurit lain. “Kenapa kalian biarkan? Kenapa tidak dicegah?!”
“Kamerad Komisaris,” jawab salah seorang dengan suara bergetar, “kami tidak tahu dia mau begitu… kami kira dia hanya bangun untuk meregangkan badan…”
Zulfan terdiam.
Memang bukan salah siapa pun. Jika seseorang sudah mantap memilih jalan itu, hampir mustahil mencegahnya.
Itulah wujud putus asa yang paling telanjang lebih memilih peluru sendiri ketimbang menunggu maut perlahan.
“Jangan lakukan ini!” bentak Mayor Wiratmaja, suaranya bergetar tapi tegas. “Itu bukan jalan seorang pejuang. Jika memang mati, matilah di bawah peluru musuh. Bawa serta beberapa di antara mereka! Itulah kematian seorang prajurit. Paham?!”
“Baik, Kamerad Mayor!” jawab para prajurit serempak, meski terdengar hambar, tanpa api.
Wiratmaja tahu semangat itu rapuh. Kata-katanya tak banyak mengubah kenyataan.
Baru saja ia hendak kembali ke meja peta, sebuah suara lain terdengar lirih:
“Aku setuju, Kamerad Mayor. Tapi… biarkan aku mengakhiri ini seperti dia.”
Semua menoleh. Suara itu datang dari barisan para prajurit yang terluka. Mereka berbaring tak berdaya, sebagian tubuh mereka sudah hancur, sebagian kehilangan darah terlalu banyak.
Wiratmaja terpaku.
Jika prajurit sehat masih bisa berharap untuk bertarung lagi, mereka yang tergeletak ini tidak punya peluang sama sekali.
Ia menatap dokter militer yang berdiri tak jauh. Sang dokter hanya menggeleng perlahan.
Obat habis. Peralatan medis tak ada. Pertolongan mustahil.
Bagi mereka yang terluka parah, yang tersisa hanyalah siksaan perlahan sampai mati.