Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Usai sidang, Luka yang belum usai..
Langkah kaki Nayla meninggalkan ruang sidang terdengar mantap, namun jantungnya terasa nyeri. Ia menang dalam narasi publik, dalam argumentasi pengadilan. Tapi jauh di dalam hatinya, ada bagian kecil yang tak bisa dibohongi—ia terluka.
Aldi mengikuti di belakangnya, menjaga jarak. Bukan sebagai seorang pria, tapi sebagai pengacaranya. Namun cara Aldi memandangi punggung Nayla saat berjalan, jelas mengisyaratkan sesuatu yang lebih: kekaguman pada keteguhan, dan juga belas kasih terhadap luka yang tak terucap.
“Besok kita hanya tinggal menyusun dokumen final. Putusan akan diumumkan minggu depan,” ujar Aldi sambil membukakan pintu mobil untuk Nayla.
Nayla mengangguk, duduk, dan menyandarkan kepalanya ke jok. “Terima kasih, Mas Aldi… kalau kamu tidak ada, aku mungkin sudah tumbang.”
“Bukan karena aku,” jawab Aldi. “Kamu sendiri yang kuat.”
Di tempat lain, Raka baru saja masuk ke dalam mobilnya. Ia membanting pintu, memukul setir, lalu menjatuhkan kepalanya ke atas kemudi.
“Bodoh,” gumamnya. “Kenapa aku biarkan semua sejauh ini?”
Telepon di kursi sebelah berbunyi. Ibunya menelepon. Tapi Raka hanya menatap layar, lalu menutupnya tanpa menjawab. Ia tak sanggup mendengar nasihat apa pun. Hari ini, ia kehilangan Nayla untuk kedua kalinya. Dan kali ini, mungkin untuk selamanya.
---
Sore menjelang malam, Nayla sudah sampai di kontrakan kecilnya. Ia mengganti bajunya dengan kaus dan celana longgar, lalu duduk di kursi makan dengan secangkir teh yang tak tersentuh.
Pintu diketuk.
“Nayla?”
Suara itu sudah sangat familiar. Aldi.
Ia membuka pintu, masih dalam keadaan lesu. “Mas Aldi? Ada yang ketinggalan?”
“Bukan,” Aldi tersenyum kecil, lalu mengangkat map di tangannya. “Aku pikir kita bisa bahas dokumen lanjutan sekarang, sebelum kamu benar-benar kelelahan besok.”
Nayla membuka pintu lebih lebar. “Masuk aja.”
Aldi melangkah ke dalam. Ruangan kontrakan itu mungil, tapi hangat. Meski sederhana, ada sentuhan Nayla yang membuat semuanya terasa hidup. Namun malam ini, atmosfer itu redup. Seperti pemilik rumahnya.
“Maaf, aku nggak sempat nyiapin apa-apa. Kamu pasti capek juga.” Nayla duduk, menunduk dalam diam.
Aldi menarik kursi, duduk di seberangnya, dan mengeluarkan berkas.
Sambil membuka map, Aldi melirik Nayla yang hanya diam menatap meja. Ia tahu ekspresi itu. Itu bukan lelah biasa. Tapi lelah batin yang tak sempat dibagi.
“Eh Nayla,” ucap Aldi sambil membuka lembar dokumen. “Kalau kita udah menang sidang nanti, kamu tahu kan itu artinya apa?”
Nayla mengangkat alis. “Apa?”
“Artinya aku harus cari kerjaan lain. Soalnya kamu klien satu-satunya yang paling seru,” ucap Aldi dengan mimik serius.
Nayla mengerutkan dahi, lalu menahan tawa. “Mas Aldi... itu garing banget sumpah.”
“Tapi berhasil bikin kamu senyum kan?” Aldi menatapnya, tersenyum lebar.
Nayla tak bisa menahan senyumnya lebih lama. Ia menunduk, lalu menghela napas pelan. “Kamu tahu nggak? Jarang ada yang bikin aku ketawa setahun terakhir ini.”
Aldi menatapnya lebih dalam. “Karena kamu terbiasa menyimpan semuanya sendiri. Tapi kamu nggak harus begitu terus, Nay.”
Keheningan merambat.
Aldi menyodorkan berkas. “Oke, sebelum suasananya jadi terlalu drama, kita fokus dulu ya. Ini draf akhir untuk sesi sidang penutupan minggu depan. Ada hal-hal yang perlu kamu pelajari malam ini. Jangan khawatir, aku siap bantu.”
Selama hampir satu jam, keduanya membahas argumen, menyusun ulang kronologi, dan memperjelas bukti. Nayla mulai terlihat lebih hidup. Ia bahkan bisa bercanda kecil beberapa kali, dan Aldi menjawabnya dengan gaya jenaka yang tak disangka-sangka oleh Nayla.
Tepat sebelum Aldi pamit, Nayla berdiri mengantarnya ke depan pintu. Tapi ketika Aldi membuka pintu, Nayla menemukan sebuah amplop coklat tergantung di gagang pintu.
“Ini... kayaknya bukan dari tetangga,” gumam Nayla.
Aldi menatap curiga. “Kamu mau buka sekarang?”
Nayla mengangguk dan membukanya perlahan. Isinya hanya satu lembar kertas.
Tulisan tangan yang tak asing—bukan Raka, bukan Aldi. Tapi pesannya jelas:
"Kamu pikir semuanya sudah selesai? Masih ada yang belum kamu tahu. Dan aku akan pastikan kamu mengetahuinya sebelum semuanya terlambat."
Wajah Nayla memucat. Aldi langsung berdiri tegak, matanya menajam.
“Nayla, kamu pernah terima surat kayak gini sebelumnya?”
Nayla menggeleng. “Belum pernah. Aku bahkan nggak tahu siapa yang mengirim.”
Aldi meraih surat itu dan mengamati tulisannya.
“Ini bukan main-main,” ujarnya. “Kita harus lebih hati-hati mulai sekarang. Aku akan pastikan kamu aman.”
Dan malam itu, ketika Aldi pulang, Nayla duduk sendirian di ruang tamunya. Bukan lagi memikirkan sidang, bukan tentang Raka, tapi tentang siapa yang mengintainya dari balik bayangan.