Wira Pramana, seorang murid senior di Perguruan Rantai Emas, memulai petualangannya di dunia persilatan. Petualangan yang justru mengantarnya menyingkap sebuah rahasia di balik jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ilham Persyada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayusaka
Wira baru selesai membersihkan area kelas saat Sularsa mendatanginya dan mengatakan padanya bahwa Ki Damar dan Ketua Raksala memanggilnya. Tanpa menunda, Wira mengembalikan alat-alat kebersihan di tempatnya dan bergegas menuju aula utama, tempat di mana Ketua Raksala, Ki Damar, dan tampak seorang lelaki dengan penampilan selayaknya pendekar yang sering berkelana tengah berbincang-bincang.
''Tak kusangka kau masih sempat melakukan pekerjaan kebersihan, Wira.’’ tanya Ki Damar dengan senyumnya hangat memyambutnya, ‘’Kemarilah, ada seseorang yang ingin kami perkenalkan padamu.’’
‘’Murid memberi hormat pada Ketua, Wakil Ketua, dan Senior …,’’
‘’Bayusaka,’’ jawab lelaki yang menurut Wira berusia sekitar 25 atau 26 tahunan itu sambil tersenyum.
‘’Senior Bayusaka.’’ Wira memberikan hormatnya. Wira dapat melihat pembawaan lelaki yang bernama Bayusaka itu sangat santai, agak mirip dengan Abiyasa. Namun, selain wajahnya yang tampan dan keberadaannya yang memancarkan aura seorang pendekar tingkat tinggi, Wira juga merasa ada semacam karisma yang memancar darinya yang membuat orang lain sulit untuk tidak memperhatikannya.
‘’Wira, perkenalkan, Bayusaka ini adalah seseorang yang akan membantumu berlatih untuk ujian kenaikan tingkat nanti.’’ kata Ki Damar.
‘’Salam Senior,’’ sapa Wira kembali, ‘’murid memohon kesediaan senior untuk memberi bimbingan.’’
‘’Tak perlu terlalu sungkan, Wira. Lagi pula, aku hanya akan menemanimu menuju Krajan Asura. Sisanya, kau sendiri yang akan menentukan nasibmu, hehehe …’’ kata Bayusaka sambil menyunggingkan senyum penuh makna.
''Kalau begitu saya mohon kesediaan senior untuk membantu dan memberi petunjuk.’’
''Nah, sepertinya begitu lebih ba ...’’
Sebuah aura petarung tiba-tiba memotong perkataan Bayusaka dan mengejutkan mereka berempat.
‘’Ini dia …,’’ Bayusaka berdecak sambil memijit keningnya.
Dari pintu di sisi aula, Alang Ganendra melesat ke arah mereka berempat sambil berteriak, ‘’BAYUSAKA!’’
Dengan gerakan yang sangat cepat, Alang menyerang Bayusaka yang langsung menyambutnya dengan santai. Keduanya segera saja bertukar puluhan serangan dengan tangan kosong. Wira terkejut hingga mulutnya terbuka lebar, bukan karena kedahsyatan benturan energi antara dua sosok pendekar tingkat tinggi tersebut, melainkan karena gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Bayusaka.
Wira mengenali setiap gerakan yang digunakan Bayusaka untuk menghindari serangan-serangan Alang Ganendra sebagai teknik Alas Angin. Namun, selain jauh lebih halus dari yang biasa ia gunakan, Wira pun merasa teknik itu seolah berada pada level yang jauh lebih tinggi.
‘’Ah, kau semakin kuat saja, Kucing Gunung!’’
‘’Kucing Gunung kepalamu! Beraninya kau menghindariku begitu tiba di sini, tukang kentut!’’
‘’Memangnya ini rumah nenekmu? Lagi pula yang mengundangku adalah Ki Damar.’’
''Sialan kau Bayusaka!’’
Wira melongo melihat pemandangan itu sebab seingatnya saat membantai kawanan serigala taring besi pun Alang Ganendra tak pernah seemosional itu. Di sisi lain, Bayusaka tidak hanya terlihat belum menggunakan lebih dari 30% kemampuannya, tetapi amat sangat santai seolah pertarungan itu hanyalah mainan untuknya.
''Haduuh …,’’ Ki Damar menghela napas pelan, ‘’mereka selalu saja begitu …,’’
Sementara Ketua Raksala hanya mengelus janggutnya dan tampak tenang-tenang saja.
''Sebaiknya kau membiasakan diri dengan pemandangan ini Wira. Bisa dibilang …, Bayusaka dan Perguruan Rantai Emas memiliki hubungan yang baik walaupun ya … arti dari kata ‘baik’ itu sendiri agak berbeda menurut mereka berdua.’’ Ki Damar menepuk pundak Wira.
‘’Alang, kenapa kau tak biarkan Bayusaka istirahat dulu …,’’
Kata-kata Ketua Raksala itu seakan menjadi sinyal bagi Alang dan Bayusaka sebab keduanya langsung menghentikan pertempuran dan menghampiri beliau.
‘’Maafkan kelancangan saya, Ketua, tetapi bukankah memasrahkan Wira kepada orang ini akan sangat berisiko?’’
''Hm? Risiko apa maksudmu? Sudah jelas kan kalau Senior Raksala dan Senior Damar lebih percaya padaku?’’ ejek Bayusaka.
‘’Kau – !’’
‘’Baiklah …, baiklah …,’’ Ki Damar menengahi perseteruan antara keduanya, ‘’Alang, kau pasti tahu kan kalau tak ada yang lebih mengenal Krajan Asura selain Bayusaka.’’
Alang Ganendra terdiam, seakan masih tak bisa menerima kebijakan dari dua petinggi perguruan tersebut, sementara Bayusaka menjulurkan lidahnya seolah begitu menikmati melihat Alang berusaha keras meredam emosinya.
Dari tempatnya berdiri, Wira hanya bisa tersenyum canggung lantaran tak tahu harus bagaimana menanggapi kehebohan itu. Ia pun tak tahu ada apa antara Bayusaka dan Alang Ganendra. Apa latar belakang yang membuat Alang Ganendra terlihat begitu marah kepada sosok Bayusaka?
Pada akhirnya, Ki Damar mengajak Alang untuk mengikutinya bersama Ketua Raksala untuk membicarakan sesuatu. Mereka bertiga pun meninggalkan Wira bersama Bayusaka.
''Semangatlah Kucing Gunung! Sedikit lagi kau bisa mengimbangiku! Hahahaha!’’ mendengar seruan Bayusaka itu, Alang hanya bisa menanggapinya dengan tatapan tajam dan ekspresi wajah yang dibuatnya seburuk mungkin.
''Haaah …, orang itu memang selalu berapi-api,’’ Bayusaka tertawa pelan sambil menggelengkan kepala menyaksikan ketiganya menghilang di balik pintu aula. Kemudian ia berpaling kepada Wira, ‘’Nah, Wira …, kudengar kau cukup akrab dengan Mbok Narti dan Kang Mardi. Bagaimana kabar mereka berdua?’’
‘’Eh?’’
...***...
Semula Wira hanya tak menyangka Bayusaka mengenal Kang mardi dan Mbok Narti. Setibanya mereka berdua di dapur, Wira tercengang melihat bagaimana dua punggawa area dapur tersebut bersikap begitu mengetahui kedatangan sosok Bayusaka.
Tidak hanya tampak sangat senang, Kang Mardi dan Mbok Narti bahkan memperlakukan Bayusaka seperti seseorang yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Wira bahkan sempat berpikir kehadirannya langsung terlupakan sejak Bayusaka datang bersamanya.
‘’Den Bayu ini pernah menyelamatkan kita berdua, Wira …,’’ tutur Mbok Narti sambil menghidangkan minuman hangat dan senampan penuh jajanan.
''Heem, kalau bukan karena Den Bayu, mungkin kita berdua ndak akan bisa ada di sini dan ketemu kamu, Wira …,’’ Kang Mardi menambahkan.
Menurut penuturan keduanya, sekitar sepuluh atau sebelas tahun lalu, Bayusaka telah menyelamatkan mereka berdua dan juga banyak orang lainnya dari sindikat perdagangan budak. Bahkan, saat mengetahui mereka berdua tak lagi memiliki tempat untuk pulang maupun tujuan, Bayusaka memperkenalkan mereka kepada Ki Damar yang kemudian menawarkan keduanya pekerjaan sebagai juru masak di Perguruan Rantai Emas ini.
''Waktu itu, sama dengan Mbok Narti, dusun tempatku tinggal sudah rata dengan tanah. Orang tua, suami, dan saudara-saudaraku juga sudah tak ada lagi …,’’
Wira sungguh merasa prihatin saat menyaksikan kesedihan Mbok Narti yang sedang menceritakan masa lalunya. Wira tak menduga ada sejarah yang kelam di balik pembawaan mereka yang ringan dan sederhana. Selain mengejutkannya, kisah Mbok Narti dan Kang Mardi itu menjadikan Wira sungguh menghormati sosok Bayusaka.
Terlepas dari usianya yang terlihat masih cukup muda serta karakternya yang cuek dan santai, Wira telah melihat sendiri kemampuan bela diri Bayusaka. Kini, Mbok Narti dan Kang Mardi pun membuktikan bahwa sosok tersebut memiliki rasa kepedulian yang tinggi. Wira menghela napas panjang, sepertinya ia akan banyak belajar dalam perjalanannya bersama Bayusaka nanti.
...***...
Wira dan Bayusaka tengah duduk di pelataran area dapur malam itu. Mbok Narti dan Kang Mardi telah kembali ke ruangan mereka masing-masing. Bayusaka menanyakan mengapa Wira hendak melakukan latihan seperti yang dipikirkannya sebab biasanya mereka yang masih seusia Wira akan lebih memusatkan perhatiannya pada satu teknik bela diri yang sesuai untuk menunjang perkembangannya.
Wira menjawab bahwa ia merasa masih harus mengokohkan fondasinya sendiri sebelum mendalami sebuah teknik bela diri lainnya. Wira juga menceritakan tentang kondisi tubuhnya, tetapi sepertinya Bayusaka telah mengetahui hal itu lebih dulu dari Ki Damar. Selain sedikit tertarik, Bayusaka sepertinya tak memiliki minat untuk mencari tahu lebih jauh mengenai hal itu. Topik pembicaraan keduanya pun kemudian lebih tertuju kepada Krajan Asura sendiri.
''Hmmm …, memang ada banyak rumor tentang Krajan Asura,’’ kata Bayusaka kepada Wira, ‘’tetapi sebaiknya kau lebih mengkhawatirkan bagaimana dirimu akan bertahan selama berlatih di tempat itu nanti sebab tak peduli sekuat apa pun makhluk yang akan kau temui, semuanya memiliki satu kesamaan, bahkan dengan kita, manusia sendiri, yaitu naluri untuk bertahan hidup.’’
Seolah teringat sesuatu, Bayusaka mengeluarkan sebuah cincin dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Wira, ‘’Terimalah dan gunakan cincin gatra itu.’’
Wira mengangkat alisnya sebab ia langsung mengenali cincin itu sebagai sebuah artefak penyimpanan barang yang luar biasa mahal dan cukup langka. Wira mendongak dan menatap Bayusaka yang telah bangkit dari duduknya.
‘’Senior, ini …,’’
''Santai …, anggap saja itu hadiah perkenalan dariku. Aku sendiri masih punya beberapa jika kau mau tahu,’’ Bayusaka memperlihatkan cincin gatra yang melingkar di salah satu jarinya sambil tersenyum lebar.
Wira menghela napas dan menggeleng sebab lagi-lagi sosok itu berhasil mengejutkannya.
‘’Istirahatlah Wira,’’ kata Bayusaka sambil meregangkan tubuhnya, ‘’besok kita akan menempuh perjalanan yang lumayan panjang.
Wira berdiri dan kembali menundukkan kepala untuk memberi hormatnya pada Bayusaka, ‘’Baik senior, terima kasih atas pemberiannya.’’ ucapnya sambil melihat sosok itu berjalan pergi meninggalkan pelataran dapur.