Kiki seorang gadis desa yang sederhana memiliki kemauan untuk merubah hidupnya. Ia memutuskan pergi ke ibu kota dengan hanya berbekal tekadnya yang kuat.
Ibu kota dalam bayangannya adalah sebuah tempat yang mampu mengabulkan mimpi setiap orang nyatanya membuatnya harus berkali-kali menelan kekecewaan apalagi semenjak ia dipertemukan dengan seorang lelaki bernama Rio.
Apa yang terjadi dengan kehidupan Kiki dan Rio? apakah keinginginan Kiki akan terwujud?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephta Syani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 32
" hari ini aku mengamatimu.Kau bekerja dengan keras. aku sebagai bosmu sangat bangga akan kerja keras dan keuletan mu. mungkin jika kau bekerja keras seperti ini terus bulan ini selain gaji kau juga bisa mendapatkan bonus." ucap Rio di merasa bangga dan memuji kerja kerasnya.
Rupanya Dian diam- diam melihat ini dan merasa hatinya semakin panas.
" sialan kau Kiki. awas kau, akan ku buat kau tak berkutik lain kali!" kilatan emosi nampak semakin menjadi di matanya. Ia mulai merencanakan cara untuk membuat Kiki terlihat buruk di mata Rio.
***
Hari berganti minggu tak terasa sudah hampir sebulan Kiki bekerja di cafe. hari itu seperti biasanya Kiki bekerja dengan ceria. Kiki meletakkan cangkir cappuccino di atas meja kayu dengan penuh hati-hati, memperhatikan pola latte art yang sempurna di atasnya. Ia lalu tersenyum sopan kepada pelanggan dan berkata, “Silakan dinikmati, Kak.” ucapnya pada pelanggan yang dia layani sore itu. Kiki yang tak pernah tampil mencolok, tak pernah bersuara lantang, dan lebih sering mengalah ketika ada rekan yang menyela tugasnya. Membuat ia selalu disukai oleh pelanggan, oleh karena itu kini mulai banyak pelanggan yang selalu mencari Kiki.
Sayangnya, bagi Dian, apapun yang kiki lakukan akan menganggapnya sebagai sesuatu yang dibuat buat untuk menarik simpati. Ia menganggap Kiki sebagai ancaman. Ancaman yang pelan-pelan menggeser perhatiannya dari Rio yang kini lebih sering memuji hasil kerja Kiki. Bahkan pelanggan tetap pun, yang dulu selalu memanggil Dian, kini lebih banyak memanggil Kiki.
"Eh, kamu nggak capek jadi sok sempurna terus?" bisik Dian suatu malam saat mereka berdua sedang membersihkan meja sebelum tutup.
Kiki menoleh pelan, menatap Dian sejenak, lalu hanya tersenyum kecil. "Aku cuma berusaha kerja sebaik yang aku bisa."
Dian menahan dengusan. Jawaban itu terdengar seperti sindiran baginya.
Sejak kejadian itu Dian semakin meras terbakar hatinya. Ia lebih keras mencari berbagai cara untuk menjatuhkan Kiki. Namun Dian yang cukup cerdik tak ingin terlihat bersalah sendiri. Ia berusaha menjadikan Kiki terlihat bersalah, dan Rio akan mengurus sisanya.
***
hari itu Dian diam diam dengan sengaja salah memasukkan pesanan, lalu bilang ke Rio bahwa Kiki yang mencatatnya. Ia menumpahkan sedikit susu ke dalam mesin espresso lalu menuduh Kiki yang lupa membersihkannya. Awalnya, Rio tak percaya. Tapi ketika "kesalahan" itu terjadi beberapa kali, dan banyak karyawan yang membuat kesaksian serupa ia mulai meragukan Kiki.
"Ki," kata Rio suatu malam, memanggil pelan. Suaranya tak lagi hangat seperti dulu. "Kamu belakangan agak... ngelamun, ya? Beberapa pelanggan komplain."
Kiki tertegun. "Aku...aku selalu cek ulang, Mas."
Rio hanya mengangguk, tapi wajahnya menyimpan keraguan.
Di balik dinding, Dian tersenyum kecil sambil pura-pura sibuk mencuci gelas.
Kiki sadar ada yang salah. Bukan pada dirinya, tapi pada sekelilingnya. Segalanya berubah terlalu cepat. Barang-barang hilang, nota dicoret, bahkan sistem POS sempat kacau karena ada data ganda—dan semuanya mengarah pada dirinya.
Namun ia memilih diam. Ia bukan tipe yang akan berteriak membela diri. Tapi ia juga bukan orang bodoh yang akan membiarkan dirinya diinjak.
Diam-diam, Kiki mulai mencatat semuanya. Ia menyimpan bukti, merekam beberapa kejadian, bahkan menulis ulang jadwal kerjanya setiap hari lengkap dengan kronologi singkat. Baginya, kebenaran tak harus diumumkan keras-keras—cukup disiapkan saat waktunya tepat.
***
Suatu hari, seorang pelanggan tetap bernama Pak Surya datang. Ia selalu memesan kopi hitam, tanpa gula. Tapi hari itu ia mengernyit setelah menyeruput kopi pertamanya.
"Aneh," gumamnya. "Rasanya manis."
Kiki panik. Ia tahu betul ia tak pernah salah menuang. Ia bahkan baru saja menyeduhnya sendiri.
Rio mendekat, mengecek kopi itu, dan mulai menunjukkan ekspresi kecewa. "Kiki, kamu yakin ini kopi Pak Surya?"
Sebelum Kiki menjawab, Dian sudah menyelip dari belakang. “Tadi aku lihat Kiki buru-buru pas seduh. Mungkin nggak sengaja keambil yang udah ditambahi gula…”
Kiki menatap Dian. Tatapan tenang, tapi penuh tanya.
Untuk pertama kalinya, Kiki menjawab, "Mas Rio, boleh aku tunjukkan sesuatu?"
Rio mengangguk bingung. Kiki lalu menuju loker pribadinya, mengambil sebuah flashdisk kecil, dan menyambungkannya ke komputer kasir. Di dalamnya, tersimpan rekaman CCTV kecil dari dapur belakang—salah satu ruangan yang tak dipantau oleh kamera resmi.
Dan di sana, jelas terlihat: Dian menuangkan sedikit larutan gula ke dalam teko kopi sebelum Kiki sempat mengambilnya.
Ruangan itu hening.
Rio menatap layar dengan rahang mengeras, lalu beralih menatap Dian yang pucat seperti kertas. “Kau sengaja?”
Dian tak menjawab. Matanya berkaca-kaca, tapi Kiki tak ingin menang.
Ia hanya berkata, “Aku hanya ingin bekerja dengan tenang, Mas. Bukan jadi musuh siapa-siapa.”