Angkara Afrizal Wijaya, ketua osis yang kehidupannya hampir sempurna. Tetapi, karena kehadiran adik kelas yang sangat menyebalkan. Kesehariannya di sekolah bagaikan neraka dunia.
Dia adalah Alana, gadis gila yang selalu mengejar-ngejar cinta seorang Angkara tanpa kenal lelah. Alana adalah ketua geng motor Avegas.
"Kak Angkasa!"
"Nama aku Angkara!"
"Tetap saja aku akan memanggilmu Angkasa, Angkara Sayang."
Kisah cinta abu-abu pun di mulai! Akankah gadis gila seperti Alana, mampu meluluhkan hati ketua osis galak?
Follow tiktok: Cepen
Ig: tantye005
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 ~ Jadi lo lebih memilih Kara daripada Avegas?
Salsa dan Azka saling pandang kala mendengar pertanyaan Angkara yang sangat sulit untuk mereka jawab. Sebagai orang tua, keduanya memang salah sebab tidak becus menjadi orang tua. Andai saja hari ini Azka bisa mengontrol emosinya ketika melihat sang istri pulang bersama pria lain, mungkin kejadiannya tidak seperti ini.
Begitupun dengan Salsa, andai hari itu ia dengan sabar menunggu suaminya pulang rapat dan tidak menumpang mobil rekan kejarnya di rumah sakit. Pertengkaran yang membuat putranya trauma tidak akan terjadi.
"Bagaimana jika Kara jatuh cinta terlalu dalam seperti papa? Cemburu saat melihat perempuan yang Kara cintai hingga hilang kendali dan menyakitinya." Angkara menjeda kalimatnya. Keringat dingin lagi-lagi mulai keluar dari tubuhnya sebagai reaksi alami kala ia membicarakan tentang sebuah hubungan.
Malam ini ia seakan diberi kesempatan untuk mengungkapkan rasa takut yang bersemayang di hati selama bertahun-tahun. Angkara menatap mata teduh mamanya dengan tatapan sendu.
"Kara sadar, nggak ada perempuan sesabar mama di dunia ini. Perempuan yang rela berlutut di depan suaminya agar menyudahi pertengkaran yang terjadi. Di saat mama sedang kesakitan, Mama memohon demi menjaga hati anak-anak Mama." Buliran bening mulai berjatuhan di pelupuk mata Angkara. Bayangan hari itu kembali terlintas di pikirannya.
"Kara takut, hubungan Kara akan berakhir karena kesalahan yang Kara perbuat. Kara takut saat cinta-cintanya ditinggalkan seseorang karena orang itu nggak sanggup berada di hidup Kara."
Salsa ikut meneteskan air mata melihat luka di mata putranya. Ia beranjak dan menghampiri Angkara. Memeluk putra sulungnya seerat mungkin. Mengelus kepala bagian belakang Angkara demi menyalurkan rasa kenyamanan.
"Mama yakin Alana lebih sabar dari Mama. Dia gadis yang mampu bertahan di segala badai yang menerjangnya. Kara hanya perlu membuka diri dan berusaha keluar dari ketakutan itu," bisik Salsa dengan kalimat setenang mungkin.
Sheila yang melihat kesedihan di meja makan segera naik ke meja dan menepuk-nepuk pundak sang kakak.
"Kak Kara jangan menangis. Chei janji akan memberikan es krim jika papa membeli banyak untuk Chei," ucap gadis kecil itu yang belum mengerti arah pembicaraan orang tuanya. Yang dia tahu, orang yang menangis adalah orang yang bersedih.
"Chei ke kamar dulu ya sama Bibi," bujuk Azka.
Gadis kecil itu mengangguk dan segera ke kamar. Sementara Azka mendekati dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya.
"Maafkan papa karena sudah membuatmu menjadi seperti ini. Papa yang seharusnya menjadi benteng untuk Kara, malah membuat luka di hati kecil Kara," ucap Azka mengelus punggung Angkara yang bergetar di pelukan mamanya.
"Papa yakin, Azka dan Angkara berbeda meski darah yang sama mengalir di tubuh masing-masing. Angkara punya kendali yang tinggi pada diri sendiri dan tidak mudah emosi. Berbeda dengan Azka." Pria paruh baya itu tersenyum kala istrinya menatap dengan wajah ayunya.
"Tempat paling indah untuk berbagi selain di atas sajadah, ialah di pangkuan pasangan halal. Dengan kelian berdua menikah, kalian akan saling memahami satu sama lain. Alana telah mengenalmu begitu lama, begitupun sebaliknya. Papa yakin ada cinta kuat di hati kalian."
....
Jika kediaman Wijaya sedang melow drama, maka berbeda di tempat lain. Yakni markas. Sejak kedatangan Alana beberapa menit yang lalu dan sadarkan Tiara dari obat bius yang diberikan oleh Jayden. Suara tamparan sudah menggema beberapa kali di ruangan temarang cahaya tersebut.
Tak ada ikatan di tubuh Tiara, tetapi gadis itu tidak mampu bergerak karena kekuatan tubuh Alana yang sulit di tandangi jika hanya sesama perempuan. Ketua Avegas angkatan 10 itu menyeringai kala darah segara mengalir di hidung Tiara, setelah mendapatkan pukulan berkali-kali.
"Gue mohon berhenti Alana, gue ngaku salah," lirih Tiara yang menahan rintihan kesakitan.
Alana tertawa, pancaran mata gadis itu sama sekali tidak ada rasa kasihan. Yang ada malah rasa kesal dan kecewa ada yang berani bermain licik seperti ini.
"Di mana otak lo saat merencanakan ini semua hm?" tanya Alana mencengkeram rahang Tiara, sehingga osis itu terpaksa harus mendongak di tengah rasa pusing di kepala. Wajah cantik nan terawat itu tak ada lagi, yang ada hanya darah dan wajah terluka.
"Gue-gue takut kalau lo di SMA Angkasa terus, Kara akan jatuh cinta sama lo."
"Sayangnya sebentar lagi gue akan menikah dengannya, bagaimana dong? Haruskah gue membatalkan karena harus memikirkan perasaan anak pembantu sok kaya ini, hm?" Alana membolak-balik wajah Tiara layaknya ikan asin yang sedang dijemur, sebelum ia hempaskan secara kasar.
Seperti yang dikatakan Angkara tentang sikapnya. Ia bagai manusia yang mempunyai dua kepribadian, kadang ceria kadang seperti iblis. Tergantung dengan siapa dia berhadapan.
"Lepasin gue, gue mohon!" Tiara merosot berusaha meraih kaki jenjang Alana yang sedang memakai sepatu baru pemberian daddynya. Katanya hadiah karena ia menyetujui pernikahan.
Tanpa belas kasihan Alana menyingkirkan tangan Tiara dari kakinya secara kasar. "Bersihkan nama gue apapun caranya dan buat diri lo di keluarkan dari sekolah secara nggak terhormat seperti yang gue rasakan!" perintah Alana dengan suara tegasnya.
"Bisa?" Alana menaikkan alisnya. Berjongkok di hadapan Tiara yang mulai tidak berdaya. "Sudahlah, gue nggak butuh janji. Gue tunggu pergerakan lo satu minggu. Setelah itu nama gue bersih dan nama lo buruk di mana siswa SMA Angkasa dan di mata calon suami gue."
Alana meninggalkan ruangan temarang cahaya itu karena kepalanya mulai pusing akibat bau amis yang tak tertahankan. Ia langsung menuju kamar mandi untuk mencuci tangannya yang ternoda oleh darah, begitupun dengan jaket dan sepatu putihnya. Setelah selesai dan membuka pintu, ia dikagetkan dengan kedatangan Gio yang bersedekap dada di depan kamar mandi.
"Gila banget ketua gue. Kece anjir," puji Gio sambil mengulum senyum. "Btw lo benaran akan menikah dengan Kara atau hanya sekedar membuat Tiara cemburu?" tanyanya.
"Dua-duanya, kenapa?"
"Jadi lo lebih memilih Kara daripada Avegas?"
mana dia nggak dkasih anak lagi
kasiaan banget,
seakan disini marwah dito dipertaruhkan