Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jebakan Pangeran Keempat
Beberapa hari berlalu.
Di istana pusat,
Festival Kue Bulan bersiap dirayakan dengan megah:
lilin digantung di aula utama,
wangi manisan dan teh baru mengalir di lorong-lorong Kediaman Dalam.
Namun jauh di utara,
di lembah kecil penuh kabut,
pertempuran lain sedang berlangsung—
bukan dengan pedang,
tapi dengan bisikan, kelaparan, dan serakah.
Di antara para pekerja baru yang mengangkat batu, mencampur semen, dan membangun pondasi,
seorang lelaki muda bermuka keras bergerak cekatan.
Ia memakai ikat kepala pekerja biasa.
Makan di dapur umum seperti orang lain.
Bercanda ringan, tertawa, bekerja keras.
Tapi di balik kerah bajunya,
terselip secarik kertas kecil berisi satu pesan:
“Dapatkan dukungan.
Goyahkan kepercayaan.
Jika perlu, bakar simpati mereka.”
Dia bukan rakyat biasa.
Dia agen penyusup.
Bayaran dari Hui Hui, bekerja atas saran licik komplotan pejabat pengkhianat lokal.
Setiap malam,
saat dapur umum sibuk membersihkan panci dan membagi makanan,
ia duduk di lingkaran api,
bersama para pekerja lain yang kelelahan.
"Kerja keras sekali," katanya suatu malam, mengaduk sup dengan ranting.
"Kita dibayar, iya... tapi apakah cukup?"
"Apakah ini semua cukup untuk membayar pajak mereka lagi tahun depan?"
Beberapa buruh mengangkat kepala.
Beberapa hanya mendengus lelah.
Ia tertawa kecil,
seolah bercanda,
tapi kata-katanya menetes seperti racun manis:
"Hari ini diberi makan.
Besok?
Mungkin kita dijual lagi seperti sapi."
Ia tidak menyerang langsung.
Hanya menanam bibit ragu.
Satu malam, satu kata.
Diam-diam... perlahan...
---
Malam berikutnya,
di dekat tumpukan kayu bakar,
lelaki bermuka keras itu kembali melingkar bersama beberapa pekerja.
Di tangannya, selembar kertas lusuh.
"Aku dengar," katanya sambil mengaduk bara api dengan ranting,
"di negeri Hui Hui...
tidak ada pajak seperti di sini."
"Mereka menghormati kerja keras rakyat kecil."
Beberapa orang mendengarkan dengan wajah kosong.
Ada yang pura-pura tertarik, ada yang tetap sibuk meniup api untuk menghangatkan roti mereka.
Melihat kurangnya reaksi, lelaki itu mendekatkan diri.
Ia mengeluarkan gulungan kecil—petisi yang sudah lama disiapkan.
"Ini... bukti.
Jika kita semua setuju menyerahkan wilayah ini,
negeri Hui Hui akan mengakui kita sebagai wilayah sah.
Memberi bantuan.
Memberi kemakmuran."
Ia melirik sekitar, lalu membisik:
"Kita tak perlu lagi mengemis pada istana pusat."
Suasana lingkaran api mengencang.
Semua mata mengarah padanya.
Namun yang ia temui bukan antusiasme—
melainkan tatapan dingin.
Seorang buruh tua berdiri perlahan, mengenakan jaket compang-camping, suaranya serak tapi tegas:
"Pangeran Keempat... memberi kami pekerjaan."
"Pangeran Keempat... menurunkan harga beras."
"Pangeran Keempat... menempatkan anakku yang lumpuh sebagai juru tulis kecil... tanpa memungut uang."
Suasana makin kaku.
Buruh lain bangkit, bersuara keras:
"Kau pikir kami buta?"
"Kami pernah lapar.
Kami tahu siapa yang memberi,
dan siapa yang hanya menjual janji! Kami juga tidak tahu negara asing itu."
Melihat peluangnya memudar,
si lelaki keras itu nekat.
Ia mengibaskan petisi di tangan.
"Ini kesempatan kita!" serunya.
"Hui Hui akan membebaskan kita!"
"Kalau terus bergantung pada pusat,
kita akan tetap miskin, anak-anak kita akan tetap makan bubur encer seumur hidup!"
Beberapa buruh memang terlihat goyah.
Tapi suara keras kembali menggema dari kerumunan:
"Kami lebih memilih miskin...
daripada menjadi budak negeri asing! Tidak ada jaminan akan lebih baik. Tapi lihat? Harapan sudah datang, kamu malah mau mencari yang tidak pasti di negeri asing."
"Kalau kau suka negeri Hui Hui...
kau saja pergi ke sana!"
"Kami... tetap setia pada pangeran kami!"
Buruh-buruh itu berdiri bersama-sama.
Wajah mereka keras, penuh tekad.
Gulungan petisi di tangan lelaki itu bergoyang
seperti nyala lilin di hembusan badai.
Ia mengepalkan tangan.
"Bodoh... kalian semua bodoh...!"
Namun tak ada lagi yang mendengarkannya.
Lingkaran api pecah.
Orang-orang bubar, meninggalkan dia sendiri di tengah kegelapan.
Tapi dia tidak sadar—
di sudut dapur yang gelap,
seorang lelaki lain,
dengan pakaian lusuh dan luka-luka bekas kerja kasar,
diam-diam memperhatikan.
Salah satu mata-mata Pangeran Keempat yang sengaja ditempatkan,
karena Jing Rui tahu:
pengkhianatan...
selalu datang dari dalam.
---
Sementara itu,
di balai cadangan kecil,
Lian He menatap laporan dari anak buahnya dengan wajah gelap.
"Mereka mulai bergerak, Yang Mulia," katanya saat menyerahkan dokumen ke Jing Rui.
"Mereka mencoba menghasut dari dalam."
Jing Rui menatap daftar laporan itu:
beberapa percakapan mencurigakan,
beberapa orang baru yang bergabung tanpa jelas asalnya.
Ia menutup dokumen perlahan,
matanya merenung.
"Tikus akan selalu datang ke lumbung yang baru dipenuhi."
Seorang mata-mata berlutut di hadapan Jing Rui dan Lian He.
"Yang Mulia," katanya pelan.
"Mereka sudah mengeluarkan petisi...
tapi ditolak oleh sebagian besar rakyat."
Lian He tersenyum tipis.
"Seperti harapan kita."
Di hadapannya, seorang pria lainnya datang dan berlutut setengah sambil menyerahkan gulungan laporan intel baru.
"Mereka bertemu malam ini di gudang tua dekat Sungai Kering, Yang Mulia."
"Surat perjanjian akan diserahkan kepada duta kecil dari Hui Hui."
Jing Rui menyipitkan mata.
"Pastikan mata-mata kita mendapatkan buktinya."
"Surat itu... adalah kepala ular ini."
"Beritahu aku rencana mereka selanjutnya. Aku ingin tahu, jika rakyat menolak, apa yang akan mereka lakukan."
"Aku harap, rencananya sesuai dugaanku," Jing Rui tersenyum tenang, telah mempersiapkan berbagai kemungkinan dan memasang jebakan.
---
Kabut menggantung tebal malam itu.
Sungai kecil di luar gudang tua berkelok seperti ular tidur.
Di dalam bangunan reyot itu,
beberapa pria duduk mengitari meja kayu kasar.
Lilin kecil bergoyang lemah, cahayanya seperti akan padam kapan saja.
Sang kepala komplotan—seorang pejabat lokal berbadan gempal dengan suara parau—memandang berkeliling, wajahnya tegang.
"Petisi ini... masih belum ditandatangani semua," desisnya. "Bodoh sekali mereka! Gara-gara pangeran itu, rakyat jadi percaya lagi pada istana!"
"Banyak yang bilang: ‘Pangeran Keempat membawa pekerjaan. Membawa roti ke rumah kami.’"
"Telinga mereka sudah disumbat nasi!"
Pria di sampingnya—seorang utusan kecil dari Hui Hui—mengernyitkan dahi.
"Kami sudah tunggu berbulan-bulan."
"Apakah kau ingin kami mencari tanah lain?"
Wajah kepala komplotan memucat.
"Tidak! Tanah ini kaya! Kaya sekali!"
"Emasnya... ladangnya... bahkan jalan dagangnya strategis!"
"Kalau berhasil, seluruh hidup kita berubah! Juga negara Hui"
"Tapi kalau pangeran itu makin kuat, kita akan habis," bisik seorang lagi, matanya liar.
Kepala komplotan menggertakkan gigi.
"Selesaikan malam ini."
"Kita tak butuh seluruh desa."
"Asal cukup tanda tangan orang berpengaruh, itu sudah sah!"
Sebagian besar rakyat sudah menolak tanda tangan karena percaya pada Jing Rui. Jadi mereka berencana untuk meminta tanda tangan setiap kepala desa saja.
"Baik!" mereka semua pergi diam-diam secara menyebar.
Masih trauma dengan kesalahan diri
Sudah pencet bintang 5 untuk seorang author
Begitu muncul hanya 3.
Dan akhirnya kena block.
Berasa berdosa sama sang author
Vote terimakasih untukmu
Sekalipun cara yg di tempuh salah.
Orang tak bersalahpun menjadi korban
Hingga menjatuhkan menjadi keharusan
Riwayat sebuah propinsi kaya yg rakyatnya menderita
Kesenjangan yg di sengaja
yang memaksakan kehendak lewat cara tetcela.
Demi keamanan dan kenyamanan Yu zhen
Semoga Yu Zhen tetap baik baik
Tolong jangan bermain dengan perasaan dulu..
Sebelum semua baik baik saja
Kalem tapi tegas
Tetaplah tumbuh dengan karaktermu
cerita bagus begini kenapa sedikit sekali peminatnya
Semoga rasa yg ada,tak berbuah petaka kedepannya