Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.
Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 - Surat Perpisahan
Draft e-mail itu dikirim oleh Tari.
"Eyang
Terima kasih sudah memberi saya kesempatan mengenal dunia yang lebih besar dari yang pernah saya bayangkan. Saya akan memenuhi keinginan Eyang untuk memanggil Eyang sebagaimana mestinya.
Tapi saya memohon izin untuk memilih jalan hidup saya sendiri. Saya sudah membuktikan saya bisa, saya tidak mempermalukan Ibu dan juga Eyang tapi saya akan kembali ke Bandung. Ke Toko Bunga Dara. Ke tempat di mana hati saya benar-benar merasa pulang.Terima kasih untuk segalanya.
Saya menunggu Eyang di Bandung, menikmati udara yang lebih sejuk. Suasana yang lebih damai dan Saya akan memilihkan bunga terbaik untuk eyang.
Saya harap Eyang bisa berdamai dengan masalalu dan juga dengan Gilang.
Sampaikan salam pada Paman Gilang. Katakan aku menyayanginya.
Tari Sukma Dara."
Dan setelah itu... hidupnya akan benar-benar miliknya lagi.
Pagi itu, udara Jakarta terasa lebih dingin dari biasanya.
Tari menarik koper kecilnya keluar dari kamar, langkahnya sepelan mungkin. Di luar, rumah besar itu masih terlelap. Tak ada suara. Tak ada yang menyadari kepergiannya.
Ia melewati lorong panjang, memandangi satu persatu ruangan yang pernah mengukir kenangan singkat bersama Gilang. Jantungnya berat. Tapi langkahnya tetap maju. Sebuah taksi sudah menunggu di depan gerbang.Sopirnya menatap Tari sebentar, lalu membantu memasukkan koper kecil itu ke bagasi.
Dalam perjalanan menuju Stasiun Whoosh Halim, Tari hanya diam. Memandang jalanan Jakarta yang masih kosong, lampu-lampu jalanan yang perlahan padam digantikan cahaya mentari. Di genggamannya, ponsel bergetar lembut. Bukan pesan masuk, tapi ia yang membuka aplikasi banking, menyiapkan transfer.
160 juta.
Jumlah yang dulu Gilang berikan untuk membantu membayar hutangnya pada supplier bunga.
Tari mengetik angka itu perlahan. Lalu, di kolom pesan, ia menulis: “Terima kasih. Aku tidak berhutang lagi.”
Tanpa ragu, ia menekan tombol kirim.Sekejap kemudian, transaksi berhasil. Dengan itu, Tari tahu—semua keterikatannya dengan Gilang, setidaknya secara duniawi, telah putus.
Pagi di rumah besar.
Gilang bangun dengan rasa aneh. Ada ketegangan di udara. Sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Ia keluar dari kamarnya, memanggil nama Tari dalam hati. Tapi lorong sepi. Tidak ada suara piring beradu. Tidak ada aroma teh melati kesukaan Tari. Pelan-pelan, rasa tidak nyaman itu berubah menjadi kepanikan.
Ia mengetuk pintu kamar Tari. Tidak ada jawaban. Pelan-pelan, ia membuka pintunya.
Kosong.
Ranjang rapi. Lemari setengah kosong. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana. Saat ia hampir berbalik keluar, ponselnya berbunyi. Notifikasi transfer masuk. Ia membuka layarnya, dan di sana, tertera:
"Rp160.000.000 telah diterima dari: Tari Sukma Dara."
Pesan singkat:
"Terima kasih. Aku tidak berhutang lagi."
Untuk beberapa detik, dunia Gilang berhenti berputar.
Tangannya gemetar. Kakinya lemas. Tari pergi. Benar-benar pergi.
Dengan mobil, Gilang melaju cepat ke Stasiun Whoosh Halim. Jantungnya berpacu melawan waktu. Mungkin, mungkin saja ia masih bisa mengejarnya. Mungkin...
Tapi saat ia sampai di peron, kereta cepat tujuan Bandung sudah lama berangkat. Hanya sisa embusan angin yang menampar wajahnya. Gilang berdiri di sana. Koper Tari tidak ada. Langkah Tari sudah jauh meninggalkannya. Ia menatap rel panjang yang menghilang di kejauhan, seolah berharap bisa menarik kembali semua keputusan yang sudah diambil. Tapi waktu bukan sesuatu yang bisa diputar ulang. Dan kali ini, ia benar-benar kalah.
Dengan langkah gontai, Gilang kembali ke rumah. Matahari sudah naik tinggi, tapi rasanya semua cahaya itu tak mampu menembus gelap di hatinya. Di ruang tamu, Bu Tirta sudah menunggu. Wajahnya serius. Tangannya terlipat di pangkuan. Gilang menjatuhkan dirinya di sofa, tanpa tenaga.
“Aku sudah tahu,” katanya, suaranya nyaris tak terdengar. “Tari pergi.”
Bu Tirta menatapnya lama. "Aku juga harus jujur padamu, Lang," katanya pelan.
"Aku dulu mendapatkan kamu bukan lewat adopsi resmi. Ada surat... ada akta lahir... tapi tidak ada nama ibu."
Gilang hanya menatapnya, kosong. "Ada kemungkinan besar... kamu memang Paman Tari. Anak dari Ayah anakku... yang dulu sering bermain perempuan."
Suasana membeku. Semua rasa sakit, amarah, cinta, kehilangan, bercampur menjadi satu di dada Gilang. Ia tertawa kecil—pahit, getir. "Jadi dari awal... semuanya memang mustahil, ya?" bisiknya.
Bu Tirta hanya menunduk. Dan untuk pertama kalinya, Gilang benar-benar merasa sendirian. Benar-benar kehilangan.
Malam itu, Gilang duduk di ruang tamu, sendirian. Sebuah surat kecil dari Tari tergeletak di meja. Surat yang dulu ia abaikan, kini ia baca perlahan. Setiap kata terasa seperti pisau kecil, menyayat hati yang sudah remuk. Ia menutup surat itu, memejamkan mata. Di dalam gelap, hanya ada satu nama yang bergaung dalam hatinya.
Tari.
Dan kali ini, ia tidak tahu... apakah ia masih punya kesempatan untuk menebus semuanya.