Apa jadinya jika impian mu hancur di tangan orang yang paling kamu benci, tapi juga tak bisa kamu hindari?
"Satu tesis gagal, Karena seorang dosen menyebalkan, Semua hidup ku jadi berantakan"
Tapi siapa sangka semuanya bisa jadi awal kisah cinta?
Renatta Zephyra punya rencana hidup yang rapi: lulus kuliah, kerja di perusahaan impian, beli rumah, dan angkat kaki dari rumah tantenya yang lebih mirip ibu tiri. Tapi semua rencana itu ambyar karena satu nama: Zavian Alaric, dosen killer dengan wajah ganteng tapi hati dingin kayak lemari es.
Tesisnya ditolak. Ijazahnya tertunda. Pekerjaannya melayang. Dan yang paling parah... dia harus sering ketemu sama si perfeksionis satu itu.
Tapi hidup memang suka ngelawak. Di balik sikap jutek dan aturan kaku Zavian, ternyata ada hal-hal yang bikin Renatta bertanya-tanya: Mengapa harus dia? Dan kenapa jantungnya mulai berdetak aneh tiap kali mereka bertengkar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 32
Keesokan paginya, Renatta terbangun dengan mata yang sembab dan kepala yang berat.
Pandangannya masih kabur oleh sisa air mata semalam.
Handphonenya bergetar, deretan notifikasi pesan masuk terlihat jelas, namun ia bahkan tidak punya tenaga untuk membuka satu pun.
Ia hanya menarik selimutnya lagi, membenamkan wajahnya ke bantal.
Hatinya masih terasa sesak.
Sementara itu, di tempat lain Bastian duduk gelisah di dalam mobilnya, dengan wajah frustasi dan mata yang merah.
Sudah semalaman ia tidak tidur.
Beberapa kali ia menumbuk stir kemudi, menahan emosi yang tak kunjung reda.
Ia sudah mengirim puluhan pesan, tak satu pun dibalas.
Pagi itu, ayah dan ibunya memintanya segera bersiap.
Tiket penerbangannya sudah dipesan, koper sudah rapi di bagasi.
Namun Bastian hanya berdiri membeku.
"Aku harus ke rumah Renatta dulu," ucapnya sambil mengambil kunci mobil.
"Bastian! Ini sudah pagi! Kamu mau telat terbang?" teriak ibunya.
Namun Bastian tak menggubris, langkahnya cepat menuju mobil.
Tanpa menunggu restu siapa pun, ia langsung menyalakan mesin dan melaju menuju rumah Renatta.
Pikirannya hanya satu: aku nggak bisa ninggalin dia gini aja.
Bastian melaju dengan kecepatan penuh, dadanya terasa sesak sepanjang perjalanan. Setibanya di rumah Renatta, tanpa pikir panjang, ia langsung membuka gerbang dan berlari menuju pintu depan. Ia mengetuk dengan keras, berharap Renatta mendengarnya dan keluar.
"Renatta! Tolong buka pintunya... Aku cuma mau bicara sebentar aja..."
Tak ada jawaban. Hanya hening. Tapi Bastian tahu, Renatta ada di dalam. Ia bisa merasakannya.
"Ren... aku mohon... jangan lakuin ini ke aku. Jangan tinggalin aku gini..."
Di balik pintu, Renatta berdiri dengan tubuh gemetar. Matanya masih bengkak, hatinya kacau. Ia ingin membuka pintu. Tapi tubuhnya tidak bergerak. Seakan seluruh energinya habis hanya untuk menahan air mata.
Bastian tak menyerah. Ia tetap mengetuk, memohon, berbicara dengan suara parau, "Aku datang bukan buat maksa... Aku cuma pengen kamu tahu, aku serius sama kamu..."
Tiba-tiba dering handphone memecah suasana. Bastian mengambilnya dan melihat layar.
Dengan ragu, ia mengangkatnya.
"Bastian! Kamu di mana? Penerbanganmu tinggal dua jam lagi! Apa kamu mau kehilangan semua ini karena perempuan itu?!"
Bastian terdiam. Ia menatap pintu di depannya, lalu menjawab dengan nada tegas, "Aku nggak akan pergi kalau Ibu masih melarang aku sama Renatta."
"Bastian! Kamu sudah dijodohkan, kamu pikir kami pilihkan perempuan itu tanpa alasan?!"
"Aku nggak peduli siapa dia! Aku cuma mau Renatta, Bu... Kalau Ibu nggak bisa restui hubungan ini, aku nggak akan naik pesawat itu. Titik."
Ia mematikan panggilan. Tangannya gemetar, tapi keputusannya bulat. Ia kembali menatap pintu.
"Renatta... aku serius. Aku berani lawan siapa aja buat kamu. Aku cuma butuh kamu percaya itu..."
Bastian mendekatkan wajahnya ke pintu, menempelkan dahinya pelan pada permukaan kayu yang dingin.
“Aku mohon, Ren... Aku mohon... Aku sayang kamu... Aku butuh kamu...”
Kata-kata itu keluar dari bibirnya dalam bisikan yang nyaris putus asa. Suaranya parau, matanya basah. Kedua tangannya meraba permukaan pintu, seakan berharap bisa menyentuh sosok yang bersembunyi di baliknya. Lalu ia berjongkok, menundukkan kepala, dan menangis dalam diam yang pilu.
Hatinya bergetar. Rasanya seperti ada yang runtuh perlahan dalam dadanya.
Beberapa detik kemudian, terdengar bunyi *klik*. Pintu terbuka perlahan. Renatta berdiri di sana, wajahnya pucat, matanya bengkak. Tapi tatapannya tegas.
“Pergilah, Bastian…” ucapnya pelan, tapi cukup tajam untuk mengiris hati siapa pun yang mendengarnya.
Bastian mendongak, matanya langsung bertemu dengan mata Renatta. Tapi ia tak sanggup berdiri. Ia menyentuh kaki gadis itu dengan kedua tangannya, tubuhnya bergetar.
“Aku janji, Ren… Aku akan perjuangin kamu. Aku nggak akan ninggalin kamu lagi... Kasih aku kesempatan buat LDR kali ini… Aku mohon…”
Tangisnya pecah. Dengan kepala tertunduk, Bastian hampir mencium kaki Renatta sebagai bentuk penyesalan dan tekadnya. Tapi Renatta segera mundur, menahan dengan tangannya.
“Jangan... Jangan lakukan ini. Berdirilah, Bastian...”
“Aku nggak bisa... Aku nggak bisa kehilangan kamu, Ren...” bisiknya, nyaris seperti anak kecil yang ketakutan.
Renatta memejamkan matanya, menahan isak yang mulai muncul lagi.
“Pergilah, Bastian... Perjuangkan aku... Lalu kembalilah… kalau memang hatimu nggak berubah...”
Bastian mengangkat kepalanya, napasnya tercekat. “Kamu kasih aku kesempatan…?”
Renatta menggeleng pelan, air matanya kembali jatuh.
“Aku nggak tau… Aku nggak tau, Bastian. Kenapa kamu kembali lagi kalau pada akhirnya kamu bakal pergi lagi? Bahkan di saat semuanya mulai terasa baik...”
Bastian meraih tangan Renatta, menggenggamnya dengan erat.
“Aku janji, Renatta... Aku nggak akan kecewain kamu lagi. Kita mungkin jauh... Tapi hatiku nggak akan ke mana-mana. Komunikasi kita akan baik-baik aja... Aku akan buktiin itu…"
Renatta tak menjawab. Ia hanya membiarkan air matanya jatuh tanpa suara, berdiri di ambang pintu, menggenggam tangan Bastian yang dingin karena menunggu terlalu lama.
Dan pagi itu, bukan hanya tentang perpisahan. Tapi tentang hati yang tetap saling memilih... meski harus menunggu, meski harus berjuang dalam diam.